Alya
Ada panggilan masuk lagi.
Entah sudah ke sekian kali siang itu ia mendapat telpon tidak jelas. Alya masih
mencoba bersabar mengangkatnya, berharap yang menelpon kali ini benar-benar
orang yang ia kenal. Bukan orang asing seperti sebelum-sebelumnya yang
pertanyaannya juga seasing orangnya, pada ngelantur.
“Selamat siang, apa benar
ini nomornya alya yang dulu pernah sekolah di SD Harapan?” Tanya seseorang yang
jauh di sana, entah dimana tepatnya.
“Syukurlah, bukan orang
asing sepertinya. Tapi siapa?” Ucap alya dalam hati dengan perasaan lega
bercampur penasaran.
“Hallo, apakah benar ini
nomornya alya yang dulu pernah sekolah SD di SD Harapan?” Seorang lelaki
mengulangi pertanyaannya dengan sedikit lebih keras karena tidak terdengar
jawaban sama sekali sebelumnya, juga memastikan apakah yang ditelpon mendengar
suaranya apa tidak.
“Eh iya, maaf. Benar ini
dengan alya.” Jawab alya agak gugup.
“Syukurlah akhirnya dapat
berbicara dengan kamu juga al, meski tidak bicara secara langsung face to face, hanya via telpon.” Lelaki
itu mencoba membuka pembicaraan seakrabnya dengan alya.
“Maaf ini siapa ya?” alya
masih belum tahu siapa lelaki yang menelponnya itu.
“Masak kamu nggak
ngenalin suaraku el? Coba tebak siapa?”
“Maaf aku nggak bisa.”
Jawab alya.
“Hallo. Hallo. Al.. .”
Entah apa yang merasuki
pikiran alya. Ia menutup telponnya begitu saja setelah ia menjawab tidak bisa.
Sebenarnya ia juga penasaran siapa yang tadi meneponnya dan merasa ia
mengenalnya. Tapi ada satu hal yang membuatnya tidak suka. Ia tidak suka
diminta menebak-nebak seseorang yang ia hanya bisa mendengar suaranya, dan itu
bagi alya sangat membuang waktunya dan membuatnya jenuh. Mungkin niat lelaki
itu baik, ia ingin mengakrabkan diri dengan alya dengan membuat pembicaraan
pertama yang berkesan. Namun ternyata ia malah membuat alya bosan dan malas
untuk meladeni lebih lanjut
pertanyaan lelaki itu.
Belum juga ada satu menit
terdengar telpon berdering lagi. Alya hanya melihat sekilas lantas
mengabaikannya. Paling juga lelaki tadi yang menelponnya. Begitu pikirnya.
Siang itu ia memutuskan untuk tidak menjawab telpon dari siapapun.
“Alya, kamu tadi kemana
saja sih? Ibuk telpon kok nggak diangkat-angkat? Lupa ya kalau kamu mestinya
menjemput ibuk dua jam yang lalu?” Ucap ibu alya setelah ia pulang ke rumah
dari jualan di pasar kecamatan.
“Astaga! Maaf buk, alya
tadi lupa banget tidak menjemput ibuk. Ibuk jadinya pulang sama siapa?” Alya
yang sedari tadi asyik menonton televisi tersadar bahwa ia harusnya menjemput
ibunya di pasar dua jam yang lalu.
“Ah iya nggak papa.
Sebenernya ibu tadi udah nelpon kamu berkali-kali. Tapi nggak ada jawaban dari
kamu, kirain kamu ketiduran. Ya udah. Tadi ibu bareng bu likmu. Kebetulan bu
likmu lewat pasar habis ngurus KTP terbarunya yang salah nama di kantor
kecamatan.” Jelas ibu alya.
“Syukurlah buk. Tadi ada
orang-orang asing yang nelpon ke nomor alya berkali-kali buk. Jadi karena alya
males dan jenuh ngeladeninnya, alya
memutuskan untuk tidak mengangkat telpon berikutnya. Paling juga orang asing
lagi yang nelpon, menganggu terus. Begitu pikir alya tadi buk. Akhirnya HP alya
tak tinggal di kamar buk.” Alya menjelaskan kejadian siang tadi pada ibunya.
Aroma jajanan pasar
terdeteksi oleh indra penciuman alya yang sangat tajam hingga hafal makanan apa
yang kiranya dibawa ibunya itu. Benar sekali. Setelah membuka plastik kresek yang dibawa ibunya alya menemukan
jajanan pasar kesukaannya. “Buk, alya ngambil satu ya.” Alya langsung mengambil
jajanan pasar kesukaannya itu, lantas beranjak kembali ke ruang keluarga untuk menonton
televisi.
Sementara alya sedang
terbawa sinetron yang ditontonnya, ibunya sendiri sedang kerepotan menyiapkan
jamuan untuk acara arisan sore nanti. Untuk menjamu teman-teman arisannya, ibu
alya biasa membuat jajanan sendiri ala kadarnya. Agar lebih hemat dan juga bisa
mengasah ketrampilan memasak. Begitu jawab ibu alya ketika suatu kali alya
menanyakan kepada ibunya kenapa ibunya tidak pesan saja makanannya agar lebih
praktis.
“Al, lagi ngapain? Sini
gih ke dapur bantuin ibuk nyiapin makanan!”
“Iya buk.”
Tidak menunggu lama ibu
alya melihat alya sudah ada di dapur. Alya memang selalu bisa diandalkan
ibunya. Selain menjadi gadis cerdas di sekolah, ia juga punya sifat yang sangat
disukai ibunya, juga orang lain kebanyakan yaitu menjadi gadis yang suka membantu
ibunya tanpa diperintah dua kali. Ia selalu mengiyakan saja kalau diminta
ibunya untuk membantunya.
“Al, kamu masih ingat
dengan pak haris, teman bapak yang sering kesini dulu?” Tanya ibu alya ketika
mereka berdua lagi sibuk membuat kue.
“Iya, alya masih ingat
bu, yang punya anak nakal banget itu kan buk?” Alya menjawab sambil cengengesan, mengingat anak dari teman
bapaknya yang dulu juga ia kenal sebagai anak yang nakal.
“Husshh jangan ngomong gitu. Kamu nggak tahu ya al kalau anaknya pak
haris sekarang sudah berubah total.” Ibu alya menjelaskan seperti ia baru saja
bertemu anaknya pak haris.
“Emangnya anak yang super
nakal seperti dulu itu bisa berubah buk?” Tanya alya setengah meragukan ibunya
yang menganggap teman SD yang dulu sempat sekelas dengannya itu bisa berubah.
“Ya semuanya pasti bisa
berubah al, termasuk anaknya pak haris itu. Senakal-nakalnya anak pasti ada
sisi baiknya, dan bila sisi baik itu ditumbuhkan terus-menerus lama kelamaan
kan akan terlihat perubahannya. Mungkin itu yang dilakukannya. Sebenarnya tidak
hanya anaknya pak haris al yang patut berubah. Semua orang patut berubah.
Bagaimanapun juga kita juga dituntut untuk selalu berubah menyesuaikan keadaan,
tentunya menyesuaikan kepada keadaan yang lebih baik dan tentunya tidak meninggalkan
identitas kita sebagai makhluk ciptaan-Nya dan juga sebagai kawan ciptaan-Nya
yang lain.” Jelas ibu alya.
Alya pun mengiyakan dan
membenarkan perkataan ibunya, “setiap orang patut berubah.”
“Buk, alya kok jadi
kepikiran kejadian tadi siang ya buk?”
“Tentang telpon tadi
siang itu al?” Tanya ibu alya memahami apa yang ada di pikiran anaknya.
“Iya buk, alya merasa
bersalah dengan mengabaikan dan menutup telpon begitu saja ketika ada telpon
yang alya rasa hanya menganggu saja dan tidak mengindahkan ucapan dengan
semestinya.” Jawab alya dengan penyesalan yang tampak pada raut wajahnya yang
terlihat sayu.
“Sudah al, jangan terlalu
dipikirin. Yang penting ingat satu kata ini, “berubah”. Kalau alya rasa yang
tadi siang itu adalah suatu kesalahan berarti alya tak boleh seperti itu lagi,
kalau ada yang nelpon mestinya diangkat dengan baik, jangan tiba-tiba dimatiin
telponnya.”
“Hmm.. Iya buk.
Sebenernya hidup sesederhana itu ya buk teorinya. Kalau belum benar tinggal
dibenarkan.”
“Anak ibuk yang cantik
ini emang pinter ternyata.” Canda ibu alya pada anak kebanggaannya sambil
mencubit pipi alya.
Yogyakarta, 02 Maret 2017