Halaman

Rabu, 01 Maret 2017

Alya

Alya

Ada panggilan masuk lagi. Entah sudah ke sekian kali siang itu ia mendapat telpon tidak jelas. Alya masih mencoba bersabar mengangkatnya, berharap yang menelpon kali ini benar-benar orang yang ia kenal. Bukan orang asing seperti sebelum-sebelumnya yang pertanyaannya juga seasing orangnya, pada ngelantur.
“Selamat siang, apa benar ini nomornya alya yang dulu pernah sekolah di SD Harapan?” Tanya seseorang yang jauh di sana, entah dimana tepatnya.
“Syukurlah, bukan orang asing sepertinya. Tapi siapa?” Ucap alya dalam hati dengan perasaan lega bercampur penasaran.
“Hallo, apakah benar ini nomornya alya yang dulu pernah sekolah SD di SD Harapan?” Seorang lelaki mengulangi pertanyaannya dengan sedikit lebih keras karena tidak terdengar jawaban sama sekali sebelumnya, juga memastikan apakah yang ditelpon mendengar suaranya apa tidak.
“Eh iya, maaf. Benar ini dengan alya.” Jawab alya agak gugup.
“Syukurlah akhirnya dapat berbicara dengan kamu juga al, meski tidak bicara secara langsung face to face, hanya via telpon.” Lelaki itu mencoba membuka pembicaraan seakrabnya dengan alya.
“Maaf ini siapa ya?” alya masih belum tahu siapa lelaki yang menelponnya itu.
“Masak kamu nggak ngenalin suaraku el? Coba tebak siapa?”
“Maaf aku nggak bisa.” Jawab alya.
“Hallo. Hallo. Al.. .”
Entah apa yang merasuki pikiran alya. Ia menutup telponnya begitu saja setelah ia menjawab tidak bisa. Sebenarnya ia juga penasaran siapa yang tadi meneponnya dan merasa ia mengenalnya. Tapi ada satu hal yang membuatnya tidak suka. Ia tidak suka diminta menebak-nebak seseorang yang ia hanya bisa mendengar suaranya, dan itu bagi alya sangat membuang waktunya dan membuatnya jenuh. Mungkin niat lelaki itu baik, ia ingin mengakrabkan diri dengan alya dengan membuat pembicaraan pertama yang berkesan. Namun ternyata ia malah membuat alya bosan dan malas untuk meladeni lebih lanjut pertanyaan lelaki itu.
Belum juga ada satu menit terdengar telpon berdering lagi. Alya hanya melihat sekilas lantas mengabaikannya. Paling juga lelaki tadi yang menelponnya. Begitu pikirnya. Siang itu ia memutuskan untuk tidak menjawab telpon dari siapapun.
“Alya, kamu tadi kemana saja sih? Ibuk telpon kok nggak diangkat-angkat? Lupa ya kalau kamu mestinya menjemput ibuk dua jam yang lalu?” Ucap ibu alya setelah ia pulang ke rumah dari jualan di pasar kecamatan.
“Astaga! Maaf buk, alya tadi lupa banget tidak menjemput ibuk. Ibuk jadinya pulang sama siapa?” Alya yang sedari tadi asyik menonton televisi tersadar bahwa ia harusnya menjemput ibunya di pasar dua jam yang lalu.
“Ah iya nggak papa. Sebenernya ibu tadi udah nelpon kamu berkali-kali. Tapi nggak ada jawaban dari kamu, kirain kamu ketiduran. Ya udah. Tadi ibu bareng bu likmu. Kebetulan bu likmu lewat pasar habis ngurus KTP terbarunya yang salah nama di kantor kecamatan.” Jelas ibu alya.
“Syukurlah buk. Tadi ada orang-orang asing yang nelpon ke nomor alya berkali-kali buk. Jadi karena alya males dan jenuh ngeladeninnya, alya memutuskan untuk tidak mengangkat telpon berikutnya. Paling juga orang asing lagi yang nelpon, menganggu terus. Begitu pikir alya tadi buk. Akhirnya HP alya tak tinggal di kamar buk.” Alya menjelaskan kejadian siang tadi pada ibunya.
Aroma jajanan pasar terdeteksi oleh indra penciuman alya yang sangat tajam hingga hafal makanan apa yang kiranya dibawa ibunya itu. Benar sekali. Setelah membuka plastik kresek yang dibawa ibunya alya menemukan jajanan pasar kesukaannya. “Buk, alya ngambil satu ya.” Alya langsung mengambil jajanan pasar kesukaannya itu, lantas beranjak kembali ke ruang keluarga untuk menonton televisi.
Sementara alya sedang terbawa sinetron yang ditontonnya, ibunya sendiri sedang kerepotan menyiapkan jamuan untuk acara arisan sore nanti. Untuk menjamu teman-teman arisannya, ibu alya biasa membuat jajanan sendiri ala kadarnya. Agar lebih hemat dan juga bisa mengasah ketrampilan memasak. Begitu jawab ibu alya ketika suatu kali alya menanyakan kepada ibunya kenapa ibunya tidak pesan saja makanannya agar lebih praktis.
“Al, lagi ngapain? Sini gih ke dapur bantuin ibuk nyiapin makanan!”
“Iya buk.”
Tidak menunggu lama ibu alya melihat alya sudah ada di dapur. Alya memang selalu bisa diandalkan ibunya. Selain menjadi gadis cerdas di sekolah, ia juga punya sifat yang sangat disukai ibunya, juga orang lain kebanyakan yaitu menjadi gadis yang suka membantu ibunya tanpa diperintah dua kali. Ia selalu mengiyakan saja kalau diminta ibunya untuk membantunya.
“Al, kamu masih ingat dengan pak haris, teman bapak yang sering kesini dulu?” Tanya ibu alya ketika mereka berdua lagi sibuk membuat kue.
“Iya, alya masih ingat bu, yang punya anak nakal banget itu kan buk?” Alya menjawab sambil cengengesan, mengingat anak dari teman bapaknya yang dulu juga ia kenal sebagai anak yang nakal.
Husshh jangan ngomong gitu. Kamu nggak tahu ya al kalau anaknya pak haris sekarang sudah berubah total.” Ibu alya menjelaskan seperti ia baru saja bertemu anaknya pak haris.
“Emangnya anak yang super nakal seperti dulu itu bisa berubah buk?” Tanya alya setengah meragukan ibunya yang menganggap teman SD yang dulu sempat sekelas dengannya itu bisa berubah.
“Ya semuanya pasti bisa berubah al, termasuk anaknya pak haris itu. Senakal-nakalnya anak pasti ada sisi baiknya, dan bila sisi baik itu ditumbuhkan terus-menerus lama kelamaan kan akan terlihat perubahannya. Mungkin itu yang dilakukannya. Sebenarnya tidak hanya anaknya pak haris al yang patut berubah. Semua orang patut berubah. Bagaimanapun juga kita juga dituntut untuk selalu berubah menyesuaikan keadaan, tentunya menyesuaikan kepada keadaan yang lebih baik dan tentunya tidak meninggalkan identitas kita sebagai makhluk ciptaan-Nya dan juga sebagai kawan ciptaan-Nya yang lain.” Jelas ibu alya.
Alya pun mengiyakan dan membenarkan perkataan ibunya, “setiap orang patut berubah.”
“Buk, alya kok jadi kepikiran kejadian tadi siang ya buk?”
“Tentang telpon tadi siang itu al?” Tanya ibu alya memahami apa yang ada di pikiran anaknya.
“Iya buk, alya merasa bersalah dengan mengabaikan dan menutup telpon begitu saja ketika ada telpon yang alya rasa hanya menganggu saja dan tidak mengindahkan ucapan dengan semestinya.” Jawab alya dengan penyesalan yang tampak pada raut wajahnya yang terlihat sayu.
“Sudah al, jangan terlalu dipikirin. Yang penting ingat satu kata ini, “berubah”. Kalau alya rasa yang tadi siang itu adalah suatu kesalahan berarti alya tak boleh seperti itu lagi, kalau ada yang nelpon mestinya diangkat dengan baik, jangan tiba-tiba dimatiin telponnya.”
“Hmm.. Iya buk. Sebenernya hidup sesederhana itu ya buk teorinya. Kalau belum benar tinggal dibenarkan.”
“Anak ibuk yang cantik ini emang pinter ternyata.” Canda ibu alya pada anak kebanggaannya sambil mencubit pipi alya.

Yogyakarta, 02 Maret 2017