Halaman

Minggu, 22 Januari 2017

Emak dan Calon Perantau

Emak dan Calon Perantau

“Kau lihat Akib,” kata emak, “kemampuan-kemampuan diri adalah harta pribadi kita yang tidak kelihatan. Ia tersimpan di dalam pikiran dan perasaan, di akal dan hati kita masing-masing. Bila kita tidak menyadarinya, apalagi tidak mengolahnya atau tidak mengaktifkannya, tidak ada satu kekayaan pun di bumi yang dapat mengimbangi ketidakhadirannya atau ketidurannya itu.”
Sewaktu berkata begitu, emak melirik kepadaku. Aku tahu bahwa ucapannya itu dialamatkannya juga kepadaku. Menyadari betapa besarnya minatku untuk belajar, betapa besar hausku akan ilmu pengetahuan, emak pernah berkata akan mengikhlaskan aku bila memang mau merantau ke Jawa guna menuntut ilmu pengetahuan tersebut. Lagi pula, menurut emak, ada empat jenis perjalanan yang sangat dipujikan dalam ajaran keislaman. Pertama, hijrah, yaitu bepergian untuk bermukim di lingkungan muslim. Kedua, alhaj, yaitu bepergian ke Tanah Suci Mekah. Ketiga, Ziyarah, yaitu mengunjungi orang-orang suci dan tempat pengajiannya. Keempat, rihlah, yaitu bepergian guna menuntut ilmu pengetahuan.
Sejak itu kalimat “lagu merantau” yang diajarkan kepadakau di sekolah dasar, berbunyi “selamat tinggal kampung halaman, aku ‘ndak pergi mencari nafkah”, aku ubah menjadi “selamat tinggal kampung halaman, aku ‘ndak pergi mencari ilmu”. Emak tersenyum-senyum saja bila mendengar aku menyanyikan lagu ini. Kini dia memintaku supaya turut serta kalau dia mengajari Bang Akib beberapa keterampilan tangan yang kiranya bisa membantu hidup di perantauan. Yang diajarkan dan dilatih emak adalah menambal baju, menisik pakaian, memasang kancing, menanak nasi dan membuat beberapa macam gulai. Ketika bapak mendapat pesanan dari tetangga untuk dibuatkan lemari dan meja, emak memintanya supaya kami berdua diikutkan serta sekalian dilatih kerja kayu dan mengenal alat-alat pertukangannya. Emak juga menitipkan kami beberapa hari pada pandai besi di kampung untuk magang. “Jangan sekali-kali meremehkan kerja dengan tanganmu,” katanya terutama kepadaku. “Kerja dengan tangan tidak mengharamkan penggunaan otak.”
Sementara itu tabungan Bang Akib yang disimpan emak sudah  bisa dianggap cukup untuk hidup di Malaya selama paling sedikitnya delapan bulan tanpa pekerjaan. Bang Akib beruntung karena selama tiga tahun ini ada lima kali perkawinan di kampungku hingga penjualan kayunya meningkat sekali. Di samping itu kebutuhan akan kayu memang bertambah besar selama bulan Puasa dan menjelang hari raya. Sebelum berangkat ke Malaya emak meminta kesediaan Babah Sin untuk mengantar Bang Akib menukar uang gulden dengan strait dollar di bank yang dipercayai oleh si babah. Bapak memberikan kepada Bang Akib beberapa nama dan alamat orang Malaya yang dahulu pernah dikenalnya selama merantau di Johor, Klang, dan Penang.
Bang Akib masih sempat menanyakan apakah ada pesan-pesan emak yang belum disampaikannya guna dipakai sebagai pegangan kelak di rantau orang. Setelah merenung sejenak emak berkata, “Akib, hal yang kau impi-impikan sejak lama insya Allah, segera terwujud. Saat kau pergi merantau ke negeri orang sudah tiba. Kata orang, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Sebagai rumus umum pepatah ini ada benarnya. Namun bukan sekali-kali berarti kau harus begitu saja mengikuti kehendak orang-orang, harus selalu menyesuaikan pendapatmu dengan apa yang dipikirkan orang banyak. Sebab imbalan dari penyesuaian diri ini adalah bahwa semua orang akan suka kepadamu kecuali kau sendiri, artinya pribadi yang serapuh itu tak akan kau sukai.”
Dari lirikannya, kali ini pun aku tahu supaya aku turut pula mempertimbangkan pendapatnya itu. Aku paham bahwa emak menghendaki aku tidak takut menjadi non-conformist karena sebelum ini dia sering melontarkan kalimat-kalimat yang mencerminkan keinginan seperti ini.
“Sebelum mengambil keputusan atau menyetujui pendapat orang lain,” katanya dulu, “tanyakan lebih dahulu nuranimu. Kau boleh membantah siapa saja kecuali nuranimu, Nak.”
“Mengapa Mak?”, tanyaku.
“Karena nuranimu itu merupakan tempat persemayaman Tuhan dalam dirimu,” jawab emak tanpa ragu-ragu.


Kisah lengkapnya dapat dibaca pada buku yang berjudul “Emak, Penuntunku dari Kampung Darat sampai Sorbonne”, yang ditulis oleh Daoed JOESOEF (mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1978-1983)

Tidak ada komentar: