Emak dan Calon Perantau
“Kau lihat Akib,” kata emak, “kemampuan-kemampuan
diri adalah harta pribadi kita yang tidak kelihatan. Ia tersimpan di dalam
pikiran dan perasaan, di akal dan hati kita masing-masing. Bila kita tidak
menyadarinya, apalagi tidak mengolahnya atau tidak mengaktifkannya, tidak ada
satu kekayaan pun di bumi yang dapat mengimbangi ketidakhadirannya atau
ketidurannya itu.”
Sewaktu berkata begitu, emak melirik
kepadaku. Aku tahu bahwa ucapannya itu dialamatkannya juga kepadaku. Menyadari betapa
besarnya minatku untuk belajar, betapa besar hausku akan ilmu pengetahuan, emak
pernah berkata akan mengikhlaskan aku bila memang mau merantau ke Jawa guna
menuntut ilmu pengetahuan tersebut. Lagi pula, menurut emak, ada empat jenis
perjalanan yang sangat dipujikan dalam ajaran keislaman. Pertama, hijrah, yaitu bepergian untuk bermukim
di lingkungan muslim. Kedua, alhaj,
yaitu bepergian ke Tanah Suci Mekah. Ketiga, Ziyarah, yaitu mengunjungi orang-orang suci dan tempat
pengajiannya. Keempat, rihlah, yaitu
bepergian guna menuntut ilmu pengetahuan.
Sejak itu kalimat “lagu merantau”
yang diajarkan kepadakau di sekolah dasar, berbunyi “selamat tinggal kampung halaman,
aku ‘ndak pergi mencari nafkah”, aku ubah menjadi “selamat tinggal kampung halaman,
aku ‘ndak pergi mencari ilmu”. Emak tersenyum-senyum saja bila mendengar aku
menyanyikan lagu ini. Kini dia memintaku supaya turut serta kalau dia mengajari
Bang Akib beberapa keterampilan tangan yang kiranya bisa membantu hidup di
perantauan. Yang diajarkan dan dilatih emak adalah menambal baju, menisik
pakaian, memasang kancing, menanak nasi dan membuat beberapa macam gulai. Ketika
bapak mendapat pesanan dari tetangga untuk dibuatkan lemari dan meja, emak
memintanya supaya kami berdua diikutkan serta sekalian dilatih kerja kayu dan
mengenal alat-alat pertukangannya. Emak juga menitipkan kami beberapa hari pada
pandai besi di kampung untuk magang. “Jangan sekali-kali meremehkan kerja
dengan tanganmu,” katanya terutama kepadaku. “Kerja dengan tangan tidak mengharamkan
penggunaan otak.”
Sementara itu tabungan Bang Akib yang
disimpan emak sudah bisa dianggap cukup
untuk hidup di Malaya selama paling sedikitnya delapan bulan tanpa pekerjaan. Bang
Akib beruntung karena selama tiga tahun ini ada lima kali perkawinan di
kampungku hingga penjualan kayunya meningkat sekali. Di samping itu kebutuhan akan
kayu memang bertambah besar selama bulan Puasa dan menjelang hari raya. Sebelum
berangkat ke Malaya emak meminta kesediaan Babah Sin untuk mengantar Bang Akib
menukar uang gulden dengan strait dollar di bank yang dipercayai oleh si babah.
Bapak memberikan kepada Bang Akib beberapa nama dan alamat orang Malaya yang
dahulu pernah dikenalnya selama merantau di Johor, Klang, dan Penang.
Bang Akib masih sempat menanyakan
apakah ada pesan-pesan emak yang belum disampaikannya guna dipakai sebagai
pegangan kelak di rantau orang. Setelah merenung sejenak emak berkata, “Akib,
hal yang kau impi-impikan sejak lama insya Allah, segera terwujud. Saat kau
pergi merantau ke negeri orang sudah tiba. Kata orang, di mana bumi dipijak di
situ langit dijunjung. Sebagai rumus umum pepatah ini ada benarnya. Namun bukan
sekali-kali berarti kau harus begitu saja mengikuti kehendak orang-orang, harus
selalu menyesuaikan pendapatmu dengan apa yang dipikirkan orang banyak. Sebab imbalan
dari penyesuaian diri ini adalah bahwa semua orang akan suka kepadamu kecuali
kau sendiri, artinya pribadi yang serapuh itu tak akan kau sukai.”
Dari lirikannya, kali ini pun aku
tahu supaya aku turut pula mempertimbangkan pendapatnya itu. Aku paham bahwa
emak menghendaki aku tidak takut menjadi non-conformist
karena sebelum ini dia sering melontarkan kalimat-kalimat yang mencerminkan
keinginan seperti ini.
“Sebelum mengambil keputusan atau
menyetujui pendapat orang lain,” katanya dulu, “tanyakan lebih dahulu nuranimu.
Kau boleh membantah siapa saja kecuali nuranimu, Nak.”
“Mengapa Mak?”, tanyaku.
“Karena nuranimu itu merupakan tempat
persemayaman Tuhan dalam dirimu,” jawab emak tanpa ragu-ragu.
Kisah lengkapnya dapat dibaca pada buku
yang berjudul “Emak, Penuntunku dari Kampung Darat sampai Sorbonne”, yang
ditulis oleh Daoed JOESOEF (mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun
1978-1983)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar