Bubur
Merah
“Am, maaf ya pemandangannya kurang mengenakkan
soalnya bibi yang biasanya membantu beres-beres rumah lagi pulang kampung.”
Asri dengan santai menjawab keheranan amri ketika baru saja sampai di depan
rumahnya.
Kalau dilihat sekilas
rumah asri memang terlihat kotor sekali, apalagi bagian depan rumah karena ada
banyak sekali daun-daun yang sudah beberapa hari tidak tersapu sehingga nampak tak
sedap dipandang. Padahal sebenarnya di halaman tersebutlah kesejukan amat
sangat terasa karena dinaungi oleh pohon mangga yang sudah berumur dan kadang
diambil saja oleh orang yang lewat ketika sudah berbuah.
“Ya harusnya kan kamu
sebagai pemilik rumah yang bersihin As, kan kamu yang punya rumah. Jangan tergantung
terus sama bibi yang biasa bantu di sini. Jadi kotor gini kan kalau tidak ada
tangan yang tergerak membersihkannya.” Amri menjawab sambil memandang
sekeliling.
Asri kurang begitu
tertarik dengan apa yang barusan disampaikan amri padanya. Ia langsung saja
membuka pintu rumah. Sebelum masuk, ia menoleh ke belakang. “Jadi mau masuk
nggak Am?” Tanyanya sambil melepas sepatu sekolahnya.
“Iya As.” Amri langsung
mengikuti asri masuk ke rumahnya dan duduk di kursi ruang tamu yang
kelihatannya sudah lama tidak ada yang mendudukinya.
Amri masih menunggu di
ruang tamu, sementara asri sedang menyiapkan minuman di dapur. Tetapi asri
tidak menemukan gula, teh, kopi atau jenis bahan minuman apapun yang biasanya
digunakan untuk menyuguh tamu. Ia tidak terbiasa membuatnya, sehingga tempat
dimana bahan tersebut disimpan pun ia tak tahu. Akhirnya ia hanya menemukan air
mineral yang ada di kulkas, dan itulah yang jadi suguhan untuk tamunya sore itu.
“As, bapak ibumu belum
pulang?” Tanya amri ketika asri datang dengan air mineralnya.
“Belum Am, kalau hari jum’at
biasanya pulang cepat. Tapi nggak tahu kok sampai sekarang belum pulang. Mungkin
ada urusan lain di luar.” Jawab asri.
Sebagai teman yang biasa
dimintai tolong oleh asri, terutama masalah pelajaran yang asri rasa kesulitan, amri
termasuk anak yang ringan tangan. Jarang sekali ia menolak ketika dimintai
tolong untuk mengajari beberapa mapel yang dirasa sulit oleh temannya itu,
khususnya matematika. Pelajaran hitung-hitungan memang seperti momok mengerikan
bagi umumnya siswa, termasuk asri. Apalagi guru yang mengajar terkenal sekali
dengan ketegasannya, “salah menjawab berarti berdiri di depan kelas sampai jam
pelajaran tersebut habis” begitu ancamannya. Sehingga bukan main banyak sekali
siswa yang lebih banyak berdiri di depan dari pada duduk di bangkunya.
“Sudah siap untuk belajar
As?”
“Eh, iya siap Am. Yuk
langsung saja dimulai.”
“Siap kok nggak bawa
bukunya.”
“Ya ampun kelupaan Am,
bukunya ada di kamar. Wait.”
Beberapa menit kemudian
asri keluar dengan membawa dua buku, satu buku paket matematika, kedua buku LKS
yang biasa menyajikan ringkasan materi dan juga soal-soal. “Kali ini sudah
benar-benar siap Am. Hehe.” Asri sudah sangat bersemangat untuk belajar.
“Mau belajar bab apa As?”
Tanya amri pada asri yang terlihat membuka dan membolak-balik halaman buku
paketnya.
“Bab untuk ujian matematika
besok senin Am. Duh, nama babnya apa ya?”
“Nah, ketahuan nggak
merhatiin guru pas nerangin di kelas ya, sampai nama bab yang baru saja diajarin
sudah lupa.” Spontan amri menanggapi. Asri hanya senyum-senyum menjawabnya,
seakan mengiyakan.
“Ujiannya bab matriks As.”
Amri langsung saja menjawab karena tahu asri paling susah mengingat pelajaran
itu, termasuk nama babnya.
“Iya itu Am. Hehe. Kenapa
ya kalau dapat pelajaran matematika di kelas aku jadi down semangatnya?”
Ia seolah bertanya pada dirinya sendiri.
“Mungkin kamu butuh dido’ain
pakai bubur merah As.” Amri asal menjawab sambil bergurau melihat kegelisahan
temannya.
“Apa iya Am, kayaknya aku
memang jarang dido’ain pakai gituan sih sama bapak ibuku.” Asri menjawab
gurauan amri dengan agak serius.
“Ahaha. Nah, itu sadar.” Semakin
terlihat puas tawa yang diluapkan oleh amri.
“Iya deh, ntar tak coba
minta bapak sama ibuk dido’ain pakai bubur merah biar ces pleng otakku
kalau mikirin matematika.” Asri menanggapi dan mengiyakan sambil
ngangguk-ngangguk. “Ada saran lagi nggak Am?” Tanyanya lagi.
“Ada dong. Tak kasih satu
lagi ya, penting ini.”
“Apa Am?” Tanya asri yang
sudah tidak sabar dengan jawabannya.
“Ketika kamu menginginkan
sesuatu, kamu harus bersusah payah mendapatkannya. Semakin mudah mendapatkannya
biasanya mudah sekali lepas atau hilang. Nah, kalau belajar, apapun itu, kurang
lebih sama As, kalau mau dapat ilmunya ya harus bersusah payah sampai bisa, perhatikan
yang mengajar, paham atau tidak pokoknya tidak boleh mengabaikan guru.”
“Aku kayaknya banyak cengengesan
di kelas Am, jadi nggak nyantol-nyantol. Hehe”
“Sayang seribu sayang,
itu benar As. Wkwk.”
Tawa mereka pun memenuhi
seisi rumah hingga tak sadar di luar ada yang sudah salam berkali-kali.
Pati, 16 Mei 2019