Halaman

Kamis, 16 Mei 2019

Bubur Merah


Bubur Merah

 “Am, maaf ya pemandangannya kurang mengenakkan soalnya bibi yang biasanya membantu beres-beres rumah lagi pulang kampung.” Asri dengan santai menjawab keheranan amri ketika baru saja sampai di depan rumahnya.
Kalau dilihat sekilas rumah asri memang terlihat kotor sekali, apalagi bagian depan rumah karena ada banyak sekali daun-daun yang sudah beberapa hari tidak tersapu sehingga nampak tak sedap dipandang. Padahal sebenarnya di halaman tersebutlah kesejukan amat sangat terasa karena dinaungi oleh pohon mangga yang sudah berumur dan kadang diambil saja oleh orang yang lewat ketika sudah berbuah.
“Ya harusnya kan kamu sebagai pemilik rumah yang bersihin As, kan kamu yang punya rumah. Jangan tergantung terus sama bibi yang biasa bantu di sini. Jadi kotor gini kan kalau tidak ada tangan yang tergerak membersihkannya.” Amri menjawab sambil memandang sekeliling.
Asri kurang begitu tertarik dengan apa yang barusan disampaikan amri padanya. Ia langsung saja membuka pintu rumah. Sebelum masuk, ia menoleh ke belakang. “Jadi mau masuk nggak Am?” Tanyanya sambil melepas sepatu sekolahnya.
“Iya As.” Amri langsung mengikuti asri masuk ke rumahnya dan duduk di kursi ruang tamu yang kelihatannya sudah lama tidak ada yang mendudukinya.
Amri masih menunggu di ruang tamu, sementara asri sedang menyiapkan minuman di dapur. Tetapi asri tidak menemukan gula, teh, kopi atau jenis bahan minuman apapun yang biasanya digunakan untuk menyuguh tamu. Ia tidak terbiasa membuatnya, sehingga tempat dimana bahan tersebut disimpan pun ia tak tahu. Akhirnya ia hanya menemukan air mineral yang ada di kulkas, dan itulah yang jadi suguhan untuk tamunya sore itu.
“As, bapak ibumu belum pulang?” Tanya amri ketika asri datang dengan air mineralnya.
“Belum Am, kalau hari jum’at biasanya pulang cepat. Tapi nggak tahu kok sampai sekarang belum pulang. Mungkin ada urusan lain di luar.” Jawab asri.
Sebagai teman yang biasa dimintai tolong oleh asri, terutama masalah pelajaran yang asri  rasa kesulitan, amri termasuk anak yang ringan tangan. Jarang sekali ia menolak ketika dimintai tolong untuk mengajari beberapa mapel yang dirasa sulit oleh temannya itu, khususnya matematika. Pelajaran hitung-hitungan memang seperti momok mengerikan bagi umumnya siswa, termasuk asri. Apalagi guru yang mengajar terkenal sekali dengan ketegasannya, “salah menjawab berarti berdiri di depan kelas sampai jam pelajaran tersebut habis” begitu ancamannya. Sehingga bukan main banyak sekali siswa yang lebih banyak berdiri di depan dari pada duduk di bangkunya.
“Sudah siap untuk belajar As?”
“Eh, iya siap Am. Yuk langsung saja dimulai.”
“Siap kok nggak bawa bukunya.”
“Ya ampun kelupaan Am, bukunya ada di kamar. Wait.”
Beberapa menit kemudian asri keluar dengan membawa dua buku, satu buku paket matematika, kedua buku LKS yang biasa menyajikan ringkasan materi dan juga soal-soal. “Kali ini sudah benar-benar siap Am. Hehe.” Asri sudah sangat bersemangat untuk belajar.
“Mau belajar bab apa As?” Tanya amri pada asri yang terlihat membuka dan membolak-balik halaman buku paketnya.
“Bab untuk ujian matematika besok senin Am. Duh, nama babnya apa ya?”
“Nah, ketahuan nggak merhatiin guru pas nerangin di kelas ya, sampai nama bab yang baru saja diajarin sudah lupa.” Spontan amri menanggapi. Asri hanya senyum-senyum menjawabnya, seakan mengiyakan.
“Ujiannya bab matriks As.” Amri langsung saja menjawab karena tahu asri paling susah mengingat pelajaran itu, termasuk nama babnya.
“Iya itu Am. Hehe. Kenapa ya kalau dapat pelajaran matematika di kelas aku jadi down semangatnya?” Ia seolah bertanya pada dirinya sendiri.
“Mungkin kamu butuh dido’ain pakai bubur merah As.” Amri asal menjawab sambil bergurau melihat kegelisahan temannya.
“Apa iya Am, kayaknya aku memang jarang dido’ain pakai gituan sih sama bapak ibuku.” Asri menjawab gurauan amri dengan agak serius.
“Ahaha. Nah, itu sadar.” Semakin terlihat puas tawa yang diluapkan oleh amri.
“Iya deh, ntar tak coba minta bapak sama ibuk dido’ain pakai bubur merah biar ces pleng otakku kalau mikirin matematika.” Asri menanggapi dan mengiyakan sambil ngangguk-ngangguk. “Ada saran lagi nggak Am?” Tanyanya lagi.
“Ada dong. Tak kasih satu lagi ya, penting ini.”
“Apa Am?” Tanya asri yang sudah tidak sabar dengan jawabannya.
“Ketika kamu menginginkan sesuatu, kamu harus bersusah payah mendapatkannya. Semakin mudah mendapatkannya biasanya mudah sekali lepas atau hilang. Nah, kalau belajar, apapun itu, kurang lebih sama As, kalau mau dapat ilmunya ya harus bersusah payah sampai bisa, perhatikan yang mengajar, paham atau tidak pokoknya tidak boleh mengabaikan guru.”
“Aku kayaknya banyak cengengesan di kelas Am, jadi nggak nyantol-nyantol. Hehe”
“Sayang seribu sayang, itu benar As. Wkwk.”
Tawa mereka pun memenuhi seisi rumah hingga tak sadar di luar ada yang sudah salam berkali-kali.


Pati, 16 Mei 2019