Jangan Berlebih-lebihan
Ahmad Mustofa Bisri
Kiai dan Penyair
Dengan segala kelebihan
dan kekurangannya, sistem demokrasi yang sedang berlaku di negeri ini jelas
perlu disyukuri.
Yang kurang dalam sistem
ini, perlu terus disempurnakan. Praktik-praktik politik yang dianggap menyimpang,
kurang etis atau menyalahi aturan, tentu perlu dikritik.
Sementara, yang sudah
berjalan baik, perlu terus ditingkatkan. Kritik adalah pupuk bagi kemajuan
sistem apa pun, termasuk sistem politik. Jika kritik dihambat, maka hilanglah
kesempatan bagi sistem itu untuk memperbaiki diri sendiri.
Meski demikian, kita
tidak boleh terjerembap dalam detail pohon, lalu lupa pada keluasan hutan. Kita
tidak boleh lupa pada gambar besar, bahwa kita hidup di negeri yang relatif demokratis.
Berkat demokrasi inilah kita dianugerahi nikmat yang luar biasa, yaitu pemilu
yang dilangsungkan secara rutin setiap lima tahun.
Tujuan besar dan tujuan kecil
Dengan segala
kekurangannya, jelas pemilu yang kita miliki saat ini jauh lebih baik dari segi
kualitasnya dibandingkan dengan pemilu-pemilu lampau di zaman Orde Baru.
Kita tahu semua, fungsi
pemilu pada saat itu hanya sebatas “stempel politik” saja bagi kekuasaan. Tak lebih,
tak kurang. Jangan sampai pemilu kita hari ini terjatuh pada kesalahan serupa. Jangan
sampai pemilu dimerosotkan kembali sebagai stempel saja.
Akan tetapi, di sisi
lain, pemilu harap dilihat bukan semata-mata sebagai pemilu saja,, dilepaskan
dari gambar besarnya.
Pemilu hanyalah wasilah
atau sarana saja untuk meraih al-maqshad al-a’dzam alias tujuan besar:
yaitu negara Indonesia yang bineka, melindungi semua, keadilan, dan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Ada bahkan mungkin banyak
politisi yang terlibat dalam kompetisi politik, terkurung dalam tujuan-tujuan
kecil untuk memenangkan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, seraya
melupakan gambar besar ini.
Bahasa pesantrennya: al-ghayah
tubarrir al-wasa’il, tujuan menghalalkan segala cara. Ini adalah tindakan
politik yang kerdil.
Tindakan politisi yang
kerdil seperti ini, aneh bin ajaibnya, diikuti pula oleh sebagian para
pendukung dan penyorak politik dengan cara memberikan dukungan yang kerdil
pula.
Pentingnya sikap moderat
Dukungan kerdil itu
tampak jelas dalam perilaku sebagian kalangan yang mendukung tokoh-tokoh
tertentu secara berlebih-lebihan sehingga lupa pada gambar besar.
Dukungan yang berlebihan
ini kemudian menimbulkan dampak-dampak yang kurang baik dalam hubungan-hubungan
sosial. Dampak yang paling serius adalah anggapan bahwa kalau bukan calon saya
yang menang, maka akan hancurlah negeri ini. Inilah sikap mutlak-mutlakan.
Hubungan-hubungan sosial
bisa pecah karena sikap mutlak-mutlakan dan berlebih-lebihan semacam ini.
Indonesia sebagai rumah
besar bisa rubuh dengan sikap mutlak-mutlakan seperti ini. Dari sono-nya,
proses-proses politik itu memang cenderung “lunyu” atau licin. Setiap perubahan
gampang terjadi di sana. Perubahannya tidak sekadar tahun, tapi bisa bulan
bahkan hari.
Politik sifatnya dinamis.
Apa yang terjadi hari ini belum tentu sama esok harinya. Mereka yang
memberlakukan politik seperti barang padat yang “keset” akan mudah kewirangan
(malu) dan kecelik (kecele).
Oleh karena itu, mereka
yang mati-matian mendukung tokoh tertentu secara berlebihan akan gampang kecele
di kemudian hari.
Konon, kata para ahli,
politik adalah seni segala kemungkinan. Tetapi, sebagian para penyorak dan
pendukung dalam kompetisi politik malah memperlakukannya sebagai sebuah seni
sebuah kepastian.
Sikap moderat dan sak
madya, karena itu, adalah sikap yang paling baik dan tepat. Sikap ini tepat
bukan saja dalam konteks pemilu saja, melainkan untuk segala hal. Ini adalah
kaidah sederhana yang telah diajarkan oleh para kaum bijak dari segala tradisi
agama sejak dahulu kala.
Di tengah riuh-rendahnya
kompetisi politik, kita tidak boleh lupa pada kaidah sederhana ini. Kita perlu
bersikap moderat dan sedang-sedang saja dalam segala hal. Jangan sampai kita
berlebih-lebihan.
Ketika mendukung sosok
tertentu, sisakanlah ruang, walau hanya secuil saja, untuk sebuah keragu-raguan
bahwa tokoh yang kita dukung ini jangan-jangan tidaklah seperti yang kita
persangkakan selama ini. Keragu-raguan ini diperlukan untuk mengendalikan sikap
yang berlebih-lebihan itu.
Yang patut terus diingat
oleh semua pihak, politik pilpres hanyalah peristiwa rutin lima tahunan. Sementara
urusan merawat Indonesia adalah kepentingan jangka panjang yang jauh lebih
penting.
Jangan sampai peristiwa
singkat ini dibesarkan melebihi proporsinya sehingga menenggelamkan tujuan
jangka panjang itu. Inilah yang kewarasan dalam berpolitik. Kita perlu menjaga
kewarasan ini secara bersama-sama, antara lain dengan menghindari sikap
berlebih-lebihan dalam urusan kompetisi politik.
Godaan untuk tidak waras
hari-hari ini memang sangatlah besar. Godaan ini ada pada kedua belah pihak
sekaligus; pada pemain politik, dan juga pada penyorak politik. Masing-masing
pihak mesti mengendalikan diri. Negeri ini akan bermasalah jika masing-masing
pihak bertindak melebihi batas-batas kepantasan.
Para pendiri negara ini
telah meninggalkan warisan penting bagi generasi sekarang, yaitu sikap-sikap
politik yang selalu menempatkan kepentingan negara dan rakyat di atas
segala-galanya. Inilah kebalikan dari kekerdilan politik yang kita lihat di
sebagian kalangan hari-hari ini.
Generasi pendiri negara
ini memang tidak mewariskan negeri dengan kelimpahan materi. Tetapi, mereka
mewariskan sebuah sikap dan perilaku yang bersifat teladan. Warisan ini perlu
terus dijaga agar kita tetap bisa waras sebagai bangsa.
RENUNGAN PEMILU
KOMPAS, MINGGU, 28 JANUARI 2024