Anak Teladan
“Apa aku tidak salah dengar, hah?”
Arin memastikan apa yang disampaikan inna, teman satu kelas yang baru saja
memberitahu hasil ulangan pelajaran matematika yang ditempel di papan pengumuman.
“Benar rin, kalau kamu tidak percaya
lihat saja sendiri! Kamu dapat nilai tertinggi. Aku juga heran sih, hehe kamu
kan jarang sekali serius kalau belajar. Kok tiba-tiba bisa dapat nilai paling
tinggi satu kelas. Kamu lihat gih, biar rasa penasaranmu hilang dan
terbayarkan!” Inna berseru lantang menjelaskan dengan tanpa ada rasa pekewuh sedikitpun pada temannya itu.
Rasa penasaran itu membuat arin semakin
bertanya-tanya. Langsung saja dia berlalu dari anni menuju papan pengumuman
yang biasa dipakai untuk menempel hasil ulangan. Ia sebenarnya sangat tidak
menyangka dengan apa yang ia lihat sendiri, namanya tertera di barisan paling
atas, yang menunjukkan ia mendapat peringkat tertinggi dari pada teman-temannya
yang lain. Tidak masuk akal bagi arin. Baru kali ini ia bisa dapat nilai begitu
baiknya, mengalahkan temannya yang biasa juara dalam bidang mapel tersebut.
“Mesti ada kekeliruan dalam mengoreksi jawabannya.” Begitu pikirnya.
Suasana gaduh terjadi di kelas arin.
Teman-teman arin saling meributkan hasil ulangan matematika yang barusan
ditempel. Ada yang merasa tidak puas dengan hasil yang ditempel karena menurut
yang bersangkutan, ia yakin dapat nilai yang lebih dari yang tertera di papan
karena ia dapat mengerjakan semua soal kecuali hanya satu soal saja yang tidak
bisa ia kerjakan dari sepuluh soal yang ada. Sebagian lagi ada yang berseru
senang karena merasa beruntung mendapat nilai yang tidak ia duga seperti halnya
arin. Rasa-rasanya ia hanya yakin dengan jawabannya tidak lebih dari separuh
soal yang ia kerjakan, tapi hasil yang tertera mengejutkan. Menjadi surprise baginya, juga bagi arin.
Kegaduhan yang terjadi di kelas
berakhir setelah ada guru piket yang masuk. Seperti biasanya, kalau guru yang
bersangkutan mengajar berhalangan untuk hadir maka kelas akan diisi oleh guru
yang sedang tidak mengajar dan memang sudah mendapat jadwal mengisi jika ada
kelas yang kosong.
Pak adi masuk dengan semangat seperti
biasanya. Biasanya ia langsung menanyakan terakhir pelajarannya sampai mana.
Namun kali ini berbeda. Entah apa muasal sebabnya tiba-tiba ia memanggil arin
untuk maju ke depan kelas.
“Adik-adik,” begitu beliau menyapa
murid-murid sekolah kami, “Mari kita ucapkan selamat kepada arin yang telah
mendapatkan peringkat tertinggi pada ulangan matematika. Semoga dapat memberi
contoh dan memberi semangat yang lain agar senantiasa belajar untuk mendapatkan
hasil terbaik.” Arin menjadi tersipu dengan sambutan hangat dari gurunya
tersebut. Teman-temannya dengan kompak memberi ucapan selamat kepada arin secara
serentak.
“Rin, coba jelaskan padaku kok kamu
bisa sampai dapat nilai wow begitu
gimana caranya? Kamu nggak nyogok
gurunya kan?” Anni bertanya pada arin yang sedari tadi sibuk dengan buku
matematikanya, dan mencoba memahami rumus-rumus cepat yang diajarkan pak adi.
“Enak saja kalau ngomong. Tak ada
dalam kamusku yang namanya sogok-menyogok.”
Jawab arin spontan mendengar kata yang sangat menusuk tersebut. Meski ia tahu
temannya hanya bergurau mengatakan hal tersebut.
Suatu ketika, guru matematika yang
memang sudah pada jadwalnya mengajar masuk kelas sesuai waktunya, tak ada waktu
molor sedikitpun. Sikapnya yang berwibawa, mengajar tanpa menggurui membuat
semua murid-murid enggan untuk saling gojek
di dalam kelas. Kelas sepertinya sudah dalam tangan pak ali, begitu beliau
biasanya dipanggil. Saat pelajaran berlangsung, pelajaran matematika yang
beliau ampu materi yang diberikannya hanya beberapa menit saja, tak pernah
lebih dari separuh waktu yang semestinya. Sisa waktu yang ada biasanya beliau
isi dengan materi yang lain. Kadang cerita tentang masanya dulu waktu masih
bersekolah, berbagi cerita tentang keadaan sekolah dari masa ke masa, juga
termasuk menerima curhatan murid-muridnya yang sedang punya masalah.
Namun, waktu itu serba berbeda. Entah
apa gerangan sebabnya, tiba-tiba seorang guru yang sebelumnya tidak pernah
membahas hasil ulangan, tidak peduli siapa yang mendapat nilai tertinggi, siapa
yang mendapat nilai terendah, kini
tiba-tiba membahasnya. Kali ini, untuk kedua kali setelah nilai itu diumumkan
di papan pengumuman, arin diminta untuk maju ke kelas lagi.
“Inilah anak teladan yang patut kita
contoh.” Beliau mengucapkannya sambil menjabat jangan arin dan mengucapkan
selamat kepadanya.
“Kalian tahu, kenapa arin dapat nilai
paling tinggi pada ulangan mapel matematika yang bapak ampu?”
Semua siswa menggeleng tanda tidak
tahu. Namun tidak ada yang bersuara.
“Baiklah, akan kujelaskan pada kalian.”
Beliau berkata demikian dan selanjutnya mempersilahkan arin untuk duduk
kembali.
Seperti biasanya, kalau ada
pesan-pesan yang mau disampaikan, pak ali biasanya memperbaiki letak kaca
matanya, kemudian menatap lamat-lamat muridnya satu per satu.
“Sebenarnya jawaban arin bukanlah
benar semua sehingga dia dapat nilai tertinggi.” Semua siswa masih menyimak
dengan tenang, meskipun masih belum mengerti maksud gurunya tersebut.
“Kalian tahu kenapa?” Tanyanya lagi.
Dan semua siswa menggeleng lagi seperti sebelumnya, tanda tidak tahu.
“Itu semua karena proses selama
mengerjakannya sesuai aturan. Ia mengerjakan dengan sangat runtut menurut
cara-cara yang berlaku. Bukan dengan cara instan.” Beliau menjelaskan dengan
lugas. Kemudian beliau melanjutkan lagi, “Meskipun hasilnya ada yang keliru.
Namun itu hanya kesalahan perhitungan, jadi bukan kesalahan yang fatal.”
“Jadi, cara cepat yang diajarkan pak
adi itu keliru pak?” Salah seorang murid bertanya.
“Bukan salah, tapi kurang tepat.
Kalian hanya boleh menggunakannya pada saat-saat yang sangat genting dan
mendesak.” Begitu jawab beliau.
“Selama masih ada waktu untuk
mengerjakan dengan cara yang benar dan sesuai aturan, kerjakanlah sebaik-baiknya
sesuai dengan cara yang benar dan runtut. Jangan suka mengambil jalan pintas
yang menyalahi aturan.” Tambahnya.
“Tapi kan hasilnya sama saja pak?”
Murid yang lain bertanya.
“Gini nak,” Kata ‘nak’ adalah sapaan
hangat untuk kami. “kalau kita hanya mementingkan hasil, tanpa peduli akan
proses bisa jadi bahaya. Matematika bukan hanya mengajarkan orang pandai akan
hitung-hitungan, ia juga mengajarkan kita untuk mempunyai pemahaman yang benar
akan proses untuk mencapai sesuatu. Bukankah dalam pelajaran agama kalian sudah
mengetahui berapa lama Tuhan menciptakan langit dan bumi? Padahal dengan ‘kun fayakun’-Nya Tuhan bisa saja
menciptakannya seketika itu juga?”
“teett.. . teettt.. . teettt… .” Bel
tanda pergantian jam pelajaran terdengar di seluruh penjuru sekolah. Pak ali
menyudahi pelajaran di kelas kami dengan mengingatkan kami akan PR yang
diberikannya tadi dan selanjutnya mengucapkan salam dengan mantap.
Yogyakarta, 29 Januari 2017