Halaman

Minggu, 29 Januari 2017

Anak Teladan

Anak Teladan

“Apa aku tidak salah dengar, hah?” Arin memastikan apa yang disampaikan inna, teman satu kelas yang baru saja memberitahu hasil ulangan pelajaran matematika yang ditempel di papan pengumuman.
“Benar rin, kalau kamu tidak percaya lihat saja sendiri! Kamu dapat nilai tertinggi. Aku juga heran sih, hehe kamu kan jarang sekali serius kalau belajar. Kok tiba-tiba bisa dapat nilai paling tinggi satu kelas. Kamu lihat gih, biar rasa penasaranmu hilang dan terbayarkan!” Inna berseru lantang menjelaskan dengan tanpa ada rasa pekewuh sedikitpun pada temannya itu.
Rasa penasaran itu membuat arin semakin bertanya-tanya. Langsung saja dia berlalu dari anni menuju papan pengumuman yang biasa dipakai untuk menempel hasil ulangan. Ia sebenarnya sangat tidak menyangka dengan apa yang ia lihat sendiri, namanya tertera di barisan paling atas, yang menunjukkan ia mendapat peringkat tertinggi dari pada teman-temannya yang lain. Tidak masuk akal bagi arin. Baru kali ini ia bisa dapat nilai begitu baiknya, mengalahkan temannya yang biasa juara dalam bidang mapel tersebut. “Mesti ada kekeliruan dalam mengoreksi jawabannya.” Begitu pikirnya.
Suasana gaduh terjadi di kelas arin. Teman-teman arin saling meributkan hasil ulangan matematika yang barusan ditempel. Ada yang merasa tidak puas dengan hasil yang ditempel karena menurut yang bersangkutan, ia yakin dapat nilai yang lebih dari yang tertera di papan karena ia dapat mengerjakan semua soal kecuali hanya satu soal saja yang tidak bisa ia kerjakan dari sepuluh soal yang ada. Sebagian lagi ada yang berseru senang karena merasa beruntung mendapat nilai yang tidak ia duga seperti halnya arin. Rasa-rasanya ia hanya yakin dengan jawabannya tidak lebih dari separuh soal yang ia kerjakan, tapi hasil yang tertera mengejutkan. Menjadi surprise baginya, juga bagi arin.
Kegaduhan yang terjadi di kelas berakhir setelah ada guru piket yang masuk. Seperti biasanya, kalau guru yang bersangkutan mengajar berhalangan untuk hadir maka kelas akan diisi oleh guru yang sedang tidak mengajar dan memang sudah mendapat jadwal mengisi jika ada kelas yang kosong.
Pak adi masuk dengan semangat seperti biasanya. Biasanya ia langsung menanyakan terakhir pelajarannya sampai mana. Namun kali ini berbeda. Entah apa muasal sebabnya tiba-tiba ia memanggil arin untuk maju ke depan kelas.
“Adik-adik,” begitu beliau menyapa murid-murid sekolah kami, “Mari kita ucapkan selamat kepada arin yang telah mendapatkan peringkat tertinggi pada ulangan matematika. Semoga dapat memberi contoh dan memberi semangat yang lain agar senantiasa belajar untuk mendapatkan hasil terbaik.” Arin menjadi tersipu dengan sambutan hangat dari gurunya tersebut. Teman-temannya dengan kompak memberi ucapan selamat kepada arin secara serentak.
“Rin, coba jelaskan padaku kok kamu bisa sampai dapat nilai wow begitu gimana caranya? Kamu nggak nyogok gurunya kan?” Anni bertanya pada arin yang sedari tadi sibuk dengan buku matematikanya, dan mencoba memahami rumus-rumus cepat yang diajarkan pak adi.
“Enak saja kalau ngomong. Tak ada dalam kamusku yang namanya sogok-menyogok.” Jawab arin spontan mendengar kata yang sangat menusuk tersebut. Meski ia tahu temannya hanya bergurau mengatakan hal tersebut.
Suatu ketika, guru matematika yang memang sudah pada jadwalnya mengajar masuk kelas sesuai waktunya, tak ada waktu molor sedikitpun. Sikapnya yang berwibawa, mengajar tanpa menggurui membuat semua murid-murid enggan untuk saling gojek di dalam kelas. Kelas sepertinya sudah dalam tangan pak ali, begitu beliau biasanya dipanggil. Saat pelajaran berlangsung, pelajaran matematika yang beliau ampu materi yang diberikannya hanya beberapa menit saja, tak pernah lebih dari separuh waktu yang semestinya. Sisa waktu yang ada biasanya beliau isi dengan materi yang lain. Kadang cerita tentang masanya dulu waktu masih bersekolah, berbagi cerita tentang keadaan sekolah dari masa ke masa, juga termasuk menerima curhatan murid-muridnya yang sedang punya masalah.
Namun, waktu itu serba berbeda. Entah apa gerangan sebabnya, tiba-tiba seorang guru yang sebelumnya tidak pernah membahas hasil ulangan, tidak peduli siapa yang mendapat nilai tertinggi, siapa yang mendapat nilai terendah,  kini tiba-tiba membahasnya. Kali ini, untuk kedua kali setelah nilai itu diumumkan di papan pengumuman, arin diminta untuk maju ke kelas lagi.
“Inilah anak teladan yang patut kita contoh.” Beliau mengucapkannya sambil menjabat jangan arin dan mengucapkan selamat kepadanya.
“Kalian tahu, kenapa arin dapat nilai paling tinggi pada ulangan mapel matematika yang bapak ampu?”
Semua siswa menggeleng tanda tidak tahu. Namun tidak ada yang bersuara.
“Baiklah, akan kujelaskan pada kalian.” Beliau berkata demikian dan selanjutnya mempersilahkan arin untuk duduk kembali.
Seperti biasanya, kalau ada pesan-pesan yang mau disampaikan, pak ali biasanya memperbaiki letak kaca matanya, kemudian menatap lamat-lamat muridnya satu per satu.
“Sebenarnya jawaban arin bukanlah benar semua sehingga dia dapat nilai tertinggi.” Semua siswa masih menyimak dengan tenang, meskipun masih belum mengerti maksud gurunya tersebut.
“Kalian tahu kenapa?” Tanyanya lagi. Dan semua siswa menggeleng lagi seperti sebelumnya, tanda tidak tahu.
“Itu semua karena proses selama mengerjakannya sesuai aturan. Ia mengerjakan dengan sangat runtut menurut cara-cara yang berlaku. Bukan dengan cara instan.” Beliau menjelaskan dengan lugas. Kemudian beliau melanjutkan lagi, “Meskipun hasilnya ada yang keliru. Namun itu hanya kesalahan perhitungan, jadi bukan kesalahan yang fatal.”
“Jadi, cara cepat yang diajarkan pak adi itu keliru pak?” Salah seorang murid bertanya.
“Bukan salah, tapi kurang tepat. Kalian hanya boleh menggunakannya pada saat-saat yang sangat genting dan mendesak.” Begitu jawab beliau.
“Selama masih ada waktu untuk mengerjakan dengan cara yang benar dan sesuai aturan, kerjakanlah sebaik-baiknya sesuai dengan cara yang benar dan runtut. Jangan suka mengambil jalan pintas yang menyalahi aturan.” Tambahnya.
“Tapi kan hasilnya sama saja pak?” Murid yang lain bertanya.
“Gini nak,” Kata ‘nak’ adalah sapaan hangat untuk kami. “kalau kita hanya mementingkan hasil, tanpa peduli akan proses bisa jadi bahaya. Matematika bukan hanya mengajarkan orang pandai akan hitung-hitungan, ia juga mengajarkan kita untuk mempunyai pemahaman yang benar akan proses untuk mencapai sesuatu. Bukankah dalam pelajaran agama kalian sudah mengetahui berapa lama Tuhan menciptakan langit dan bumi? Padahal dengan ‘kun fayakun’-Nya Tuhan bisa saja menciptakannya seketika itu juga?”
“teett.. . teettt.. . teettt… .” Bel tanda pergantian jam pelajaran terdengar di seluruh penjuru sekolah. Pak ali menyudahi pelajaran di kelas kami dengan mengingatkan kami akan PR yang diberikannya tadi dan selanjutnya mengucapkan salam dengan mantap.

Yogyakarta, 29 Januari 2017


Minggu, 22 Januari 2017

Emak dan Calon Perantau

Emak dan Calon Perantau

“Kau lihat Akib,” kata emak, “kemampuan-kemampuan diri adalah harta pribadi kita yang tidak kelihatan. Ia tersimpan di dalam pikiran dan perasaan, di akal dan hati kita masing-masing. Bila kita tidak menyadarinya, apalagi tidak mengolahnya atau tidak mengaktifkannya, tidak ada satu kekayaan pun di bumi yang dapat mengimbangi ketidakhadirannya atau ketidurannya itu.”
Sewaktu berkata begitu, emak melirik kepadaku. Aku tahu bahwa ucapannya itu dialamatkannya juga kepadaku. Menyadari betapa besarnya minatku untuk belajar, betapa besar hausku akan ilmu pengetahuan, emak pernah berkata akan mengikhlaskan aku bila memang mau merantau ke Jawa guna menuntut ilmu pengetahuan tersebut. Lagi pula, menurut emak, ada empat jenis perjalanan yang sangat dipujikan dalam ajaran keislaman. Pertama, hijrah, yaitu bepergian untuk bermukim di lingkungan muslim. Kedua, alhaj, yaitu bepergian ke Tanah Suci Mekah. Ketiga, Ziyarah, yaitu mengunjungi orang-orang suci dan tempat pengajiannya. Keempat, rihlah, yaitu bepergian guna menuntut ilmu pengetahuan.
Sejak itu kalimat “lagu merantau” yang diajarkan kepadakau di sekolah dasar, berbunyi “selamat tinggal kampung halaman, aku ‘ndak pergi mencari nafkah”, aku ubah menjadi “selamat tinggal kampung halaman, aku ‘ndak pergi mencari ilmu”. Emak tersenyum-senyum saja bila mendengar aku menyanyikan lagu ini. Kini dia memintaku supaya turut serta kalau dia mengajari Bang Akib beberapa keterampilan tangan yang kiranya bisa membantu hidup di perantauan. Yang diajarkan dan dilatih emak adalah menambal baju, menisik pakaian, memasang kancing, menanak nasi dan membuat beberapa macam gulai. Ketika bapak mendapat pesanan dari tetangga untuk dibuatkan lemari dan meja, emak memintanya supaya kami berdua diikutkan serta sekalian dilatih kerja kayu dan mengenal alat-alat pertukangannya. Emak juga menitipkan kami beberapa hari pada pandai besi di kampung untuk magang. “Jangan sekali-kali meremehkan kerja dengan tanganmu,” katanya terutama kepadaku. “Kerja dengan tangan tidak mengharamkan penggunaan otak.”
Sementara itu tabungan Bang Akib yang disimpan emak sudah  bisa dianggap cukup untuk hidup di Malaya selama paling sedikitnya delapan bulan tanpa pekerjaan. Bang Akib beruntung karena selama tiga tahun ini ada lima kali perkawinan di kampungku hingga penjualan kayunya meningkat sekali. Di samping itu kebutuhan akan kayu memang bertambah besar selama bulan Puasa dan menjelang hari raya. Sebelum berangkat ke Malaya emak meminta kesediaan Babah Sin untuk mengantar Bang Akib menukar uang gulden dengan strait dollar di bank yang dipercayai oleh si babah. Bapak memberikan kepada Bang Akib beberapa nama dan alamat orang Malaya yang dahulu pernah dikenalnya selama merantau di Johor, Klang, dan Penang.
Bang Akib masih sempat menanyakan apakah ada pesan-pesan emak yang belum disampaikannya guna dipakai sebagai pegangan kelak di rantau orang. Setelah merenung sejenak emak berkata, “Akib, hal yang kau impi-impikan sejak lama insya Allah, segera terwujud. Saat kau pergi merantau ke negeri orang sudah tiba. Kata orang, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Sebagai rumus umum pepatah ini ada benarnya. Namun bukan sekali-kali berarti kau harus begitu saja mengikuti kehendak orang-orang, harus selalu menyesuaikan pendapatmu dengan apa yang dipikirkan orang banyak. Sebab imbalan dari penyesuaian diri ini adalah bahwa semua orang akan suka kepadamu kecuali kau sendiri, artinya pribadi yang serapuh itu tak akan kau sukai.”
Dari lirikannya, kali ini pun aku tahu supaya aku turut pula mempertimbangkan pendapatnya itu. Aku paham bahwa emak menghendaki aku tidak takut menjadi non-conformist karena sebelum ini dia sering melontarkan kalimat-kalimat yang mencerminkan keinginan seperti ini.
“Sebelum mengambil keputusan atau menyetujui pendapat orang lain,” katanya dulu, “tanyakan lebih dahulu nuranimu. Kau boleh membantah siapa saja kecuali nuranimu, Nak.”
“Mengapa Mak?”, tanyaku.
“Karena nuranimu itu merupakan tempat persemayaman Tuhan dalam dirimu,” jawab emak tanpa ragu-ragu.


Kisah lengkapnya dapat dibaca pada buku yang berjudul “Emak, Penuntunku dari Kampung Darat sampai Sorbonne”, yang ditulis oleh Daoed JOESOEF (mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1978-1983)

Jumat, 06 Januari 2017

Maaf, Aku Hanya Mengagumi

Maaf, Aku Hanya Mengagumi

Musim telah berganti. Meski belum juga senormal seperti yang seharusnya, tapi paling tidak sudah menunjukkan pergantiannya yang ditandai dengan intensitas hujan yang semakin sering dari pada biasanya. Musim hujan telah meramaikan daerah tropis tempat kita saling mengenal tawa. Tahun juga telah menunjukkan perubahannya, dengan angka yang nominalnya semakin besar, menandakan bahwa dunia telah berumur cukup tua. Eits, cerita ini bukan hanya akan membahas mengenai waktu yang terus saja bergulir dan berlalu begitu saja, bahkan tidak terasa bahwa waktu berjalan dengan begitu cepatnya, menyisakan perihal yang tiba-tiba saja ada dan seolah-olah pantas disebut sebagai kenangan. Namun, disadari atau tidak, waktu selalu mempunyai peranan penting akan semuanya. Karenanya, prolog cerita ini akan sedikit membahas tentang waktu.
Lebih tepatnya mengapa waktu sedikit perlu dibicarakan adalah karena waktu adalah bagian dari sketsa perjalanan yang kita alami. Dari waktu, kita dibedakan, tua-muda dibedakan karena kelahirannya menurut waktu memang berbeda. Disebut tua karena ia terlahir di waktu yang lebih dulu dari pada yang muda. Begitu juga seterusnya, disebut muda karena ia terlahir lebih dulu dari pada yang kecil, bayi, ataupun balita. Semua hal tersebut terpengaruh oleh yang namanya waktu. Dengan adanya waktu, kita menjadi terbantu mengelompokkan usia-usia tersebut menjadi beberapa kategori menurut jenjangnya masing-masing.
Ada yang sudah berterimakasih pada adanya waktu? Atau malah kalian banyak yang mencelanya karena penyesalan juga terkait waktu? Sulit memang kalau sudah membahas penyesalan akan suatu hal yang tidak sesuai dengan keinginan ataupun harapan yang dicanangkan di awal. Tapi bagaimana lagi, masak kita akan melabrak waktu agar ia memulainya kembali agar kita bisa mereka-reka ulang agar sesuai dengan harapan? Tentu tidak. Kita hanya bisa menerima yang sudah berlalu. Dalam hal apapun, janganlah menyalahkan waktu, salahkan dirimu sendiri yang tak bisa membersamai waktu dengan baik. Kita hanya bisa berencana akan suatu hal, selebihnya berdo’alah agar semesta juga mengamini rencana tersebut agar berhasil apa yang kita rencanakan, dan berdo’alah agar sang waktu memberikan spacenya untukmu. Mendekapmu hangat menemanimu menunaikan rencana.
Maaf sebelumnya kalau prolog tentang waktunya terlalu berpanjang lebar dan tidak begitu jelas. Biarlah kejelasan hanya terbaca bagi yang iklas menerima waktu sebagai bagian dari hidupnya, yang membersamainya kapanpun dan dimanapun, selama hidup masih bersedia bersanding dengan jasad segar manusia. Memang manusia adalah ibarat jasad segar, dimana tanpa adanya nyawa kehidupan yang menyertainya, tentu ia akan hanya menjadi daging yang akan segera membusuk.
Setiap yang bernafas dan diberi kehidupan, sekecil apapun kapasitas memori yang membekalinya, asalkan ia masih dalam keadaan sadar dan waras tentu ia punya kenangan yang boleh jadi tersimpan rapi dalam ingatan, atau mungkin juga hanya kenangan yang sebatas serpihan-serpihan ingatan yang sudah tak begitu lengkap. Namun yang pasti mereka masih menyimpannya sebagai pengingat paling tidak bagi dirinya sendiri bahwa ia pernah menjadi bagian dari kenangan itu.
Kenangan akan waktu masih terukir jelas dalam ingatan yang mungkin tak lama lagi akan segera memudar, bahkan mungkin sebentar lagi hilang. Hilang bersama bertambahnya umur dan juga banyaknya muatan memori lain. Seperti kita tahu, keterbatasan memori otak manusia adalah untuk mengingat. Untuk mengingatnya, menulisnya sekarang kiranya lebih baik daripada membiarkannya meluap dengan sendirinya tanpa ada rekaman yang menyaksikan bahwa aku mengagumi kepiawaianmu.
Kepiawaian adalah seni, dan seni adalah keindahan. Begitulah aku memahami apa arti kepiawaian. Setiap orang punya kepiawaian. Yang muncul di televisi kata mereka adalah manusia-manusia yang piawai. Piawai memainkan lidahnya dan gerak tubuhnya untuk menghibur penonton. Yang sering muncul di koran, yang menjadi pejabat negara mereka bilang juga manusia-manusia piawai. Piawai memberikan solusi dalam mengatasi permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan menelurkan kata-kata manis untuk menenangkan masyarakatnya. Mereka yang acap kali tampil di panggung kesenian juga piawai. Ada yang piawai memainkan gitar, piano, drum, dan juga alat musik yang lain yang membuat penonton terlena akan tampilannya. Para dokter dan semua jajaran stafnya bukankah mereka piawai juga? Mereka piawai menangani problem kesehatan yang pasien keluhkan. Bukankah terlalu banyak yang piawai dalam bidangnya? Tapi kurasa hanya sebagian kecil dari sejumlah komunal manusia yang piawai seperti dirimu.
Entah kapan tepatnya, maaf jika aku sudah benar-benar lupa tepatnya. Terlalu lemah ingatan ini mengingat tepatnya waktu pertama aku menjadi saksi kepiawaianmu. Tapi yakinlah, aku masih menyimpan pelajaran darimu, tentang kepiawaian. Kepiawaian seperti yang ada padamu mungkinkah dapat diperoleh dengan mengenyam pendidikan setinggi mungkin hingga mendapat gelar profesor sekalipun? Kurasa tidak. Setahuku, bukan dengan itu kau mendapatkan kepiawaian itu. Jujur, aku mengagumimu, seseorang yang mempunyai kepiawaian membawa diri.
Jika suatu saat aku bertemu dengan yang sepertimu, do’akan aku agar dengan itu aku  selalu bisa mengingatmu, seseorang yang mempunyai kepiawaian membawa diri.
Jika waktu memungkinkan kita untuk bertemu lagi, do’akan semoga waktu benar-benar mempertemukan, agar dengan itu aku  dapat belajar lebih darimu, seseorang yang mempunyai kepiawaian membawa diri.
Jika pada masanya ada yang berubah darimu, do’akan aku agar aku tetap mencontoh kamu yang dulu, seseorang yang mempunyai kepiawaian membawa diri.
Jika tak ada yang percaya kepiawaianmu, izinkanlah dia untuk menemuiku, yang masih mengagumimu, seseorang yang mempunyai kepiawaian membawa diri.
Jika sang waktu memisahkan dirimu dari kefanaan dunia menuju dimensi lain, do’akan aku agar bisa meneruskanmu, seseorang yang mempunyai kepiawaian membawa diri.
            Cukup dulu sampai di sini. Semoga yang singkat dapat dipahami dengan sebaik-baiknya. Kalau masih belum, semoga waktu segera menyegerakan pemahaman itu. Karena sesungguhnya waktu juga turut andil dalam memberikan pemahaman. Terkadang kita dapat memahami tanpa harus mengalami. Terkadang pula kita harus mengalami dahulu baru dapat memahami. Biarlah waktu dan dirimu mengalir bersama, seperti embun yang setia membasahi, tanpa kenal musim dan cuaca.


Yogyakarta, 07 Januari 2017