Halaman

Sabtu, 14 Maret 2020

Soalnya Bukan Iman Lagi


Soalnya Bukan Iman Lagi

            Ketika naik kereta senja dari Jogja ke Jakarta, Anda membutuhkan kepercayaan bahwa kereta sungguh-sungguh berangkah ke Jakarta. Tidak ke Bandung atau Banyuwangi. Kereta itu harus menuju arah tertentu sehingga Anda memiliki kepercayaan bahwa ia ke Jakarta. Kereta itu juga harus membuktikan bahwa ia punya lokomotif sehingga Anda benar-benar percaya bahwa Anda akan dibawa pergi. Kalau tidak, Anda tak akan memercayainya. Dan, kalau Anda tak percaya, Anda tak akan bersedia mengeluarkan uang untuk membeli tiket.
            Akan tetapi, begitu tiba dan mengnjakkan kaki di Stasiun Gambir, Anda tak lagi memerlukan kepercayaan itu. Anda sudah tiba, di luar “percaya” atau “tak percaya”.
            Di Jakarta, Anda tak memerlukan kepercayaan untuk sampai di Jakarta. Jakarta sudah haq bagi Anda.
            Juga ketika Anda naik pesawat. Sesungguhnya Anda sedang menempuh perjalanan dari maqam di antara percaya dan tak percaya, menuju kondisi atau kedudukan di luar keduanya itu.
            Akan tetapi, perolehan kepercayaan dalam kasus pesawat jauh lebih mahal dibandingkan kereta. Sebab tingkat risiko jika apa yang dipercaya itu tidak terbukti – misalnya sang pesawat melorot ke lereng gunung – jauh lebih riskan dan bahaya.
            Akan tetapi, dengan pesawat Anda bisa lebih nyaman. Tingkat “kenikmatan” dan “gengsi”-nya juga lebih tinggi.
            Dengan kata lain, makin mahal harga kepercayaan, makin nikmat, tetapi juga penuh risiko. Makin mahal harga tiket kendaraan, makin spektakuler pencapaiannya sekaligus makin tinggi kemungkinan kecelakaannya.
            Kalau dunia diibaratkan sebagai “Stasiun Tugu” dan akhirat sebagai “Gambir”, kebiasaan kita membeli tiket kepercayaan semurah mungkin karena kita ingin risiko yang kita hadapi kalau bisa juga sekecil mungkin. Itulah sebabnya tradisi berpikir, tradisi mencari, tradisi ijtihad, tradisi kreatif dalam agama cenderung lemah. Kita dididik untuk menghindari risiko.
            Kita berumah tangga dengan kepercayaan bahwa istri kita dan suami kita menyeleweng. Kepercayaan itu mutlak karena kita tak bisa tiap detik membuntuti suami dan istri pergi ke kantor dan pasar. Namun, kelak ketika sudah sama-sama meninggal, yaitu tiba di puncak bukit bahwa kita tidak saling menyeleweng, kepercayaan itu tak diperlukan lagi.
            Demikian juga ketika mengerjakan segala kegiatan, membangun negara, bersekolah, berdagang, menarik becak, atau jualan kapur barus, kita memerlukan kepercayaan. Kalau kita tak percaya pada apa yang kita kerjakan, pada arah yang kita tuju, serta pada segala hal terkait dengan itu makan kita tak bahagia dan tak bertenaga untuk mengerjakannya.
            Landasan dari kepercayaan adalah bahwa kita belum tahu, tetapi kita percaya. Kalau sudah tahu, kita tak butuh percaya atau tak percaya. Kalau Anda melepas suami tugas di luar kota karena Anda tak tahu kemungkinan apa yang bisa dihasilkan suami Anda maka satu-satunya yang harus kita “beli” adalah kepercayaan.
            Demikian pun iman dalam beragama.
Iman adalah daya hidup selama Anda menempuh perjalanan.”
Iman adalah sandaran Anda di tengah ketidaktahuan atau kebelumtahuan atas suatu hal yang kita tuju. Namun, kalau Anda sudah sampai di “Jakarta”, kalau “Jakarta” sudah menjadi al-Haq bagi Anda maka yang Anda perlukan bukan lagi iman…
            Itu paralel dengan taqarrub alias pendekatan yang dibutuhkan dan dikerjakan oleh orang yang masih jauh….[]

Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam bukunya: “Tidak. Jibril Tidak Pensiun!”

Khadijah Adalah Rumah Kita


Khadijah Adalah Rumah Kita

Setiap wanita menyimpan rumahnya dalam hati mereka
Baik ketika hidup di tenda kecil yang dibangun di padang pasir atau di gunung-gunung maupun gedung-gedung dan istana
Di rumah atau di belakang dusun
Tersesat atau tak ada harapan
Pendatang atau pengembara
Tawanan atau terantai
Kepala yang bermahkota atau kaki yang terbelenggu
Tiada bedanya
Setiap ruang wanita penuh dengan kesunyian
Kekuatan dahsyat untuk membangun ruangan itu akan terus menyelimuti sekitarnya bahkan sampai mereka mati dan tulang-tulang menjadi tanah
Karena wanita adalah bumi
Wanita adalah dunia
Kehidupan bukan hanya tempat melahirkan, tapi juga tempat mereka dikubur. Mereka berhati lembut layaknya serbuk bunga atau orang yang melakukan kebaikan dengan rendah hati, seperti tangan yang tekun atau lembut selembut bulu burung
Kekuatan wanita seperti kekuatan gaib yang menopang dunia
Semua hal ini tak tertulis di buku legenda
Hidup ditemani dengan air, sabun, dan tungku, bukan dengan pedang. Pengetahuan tentang kehidupan rumah tangganya layaknya detak-detak jantung
Detak-detak jantung itu tidak mudah didengar dari luar… tapi detik-detik kecil itu adalah sumber kehidupan.
Yang mendendangkan dengan runtutan simfoni dan semesta yang harmonis, sebuah rutinitas yang tidak akan bisa dibedakan dengan aliran air
Selincah-lincahnya kucing bergerak adalah wanita
Para wanita selalu bergerak, selalu bergerak maju tanpa beralih arah di setiap napasnya. Seperti suara, seperti napas, di setiap udara yang dihirup dan di setiap waktu yang terlewati, di setiap langkah mereka membawa rumah mereka.
Setiap suara yang keluar, mereka membangun dan menatanya
Setiap suara yang terdengar, mereka membangun dan menatanya
Tanpa merasa bosan, mereka membangun rumah secepa kecepatan suara
Rumah para wanita dibangun di atas suara-suara
Kita bisa berpikir mereka tak memiliki rumah jika dilihat dari luar
Padahal, wanita adalah rumah pertama ketika anak laki-laki lahir
Rumah yang mereka tuju pula ketika akan kembali
Mereka tahu bahwa tempat itu bersembunyi di dalam hati para wanita
Wanita adalah rumah
Tempat bernaung
Aktif, memiliki visi, dan kreatif adalah kemampuan yang dimiliki para wanita dalam membangun rumah tangganya
Untuk orang-orang yang memahami, ini semua seperti sebuah ruh
Seperti ingatan, kenangan, dan acuan
Ketika kita lebih berhati-hati dalam melihat, semua yang berada di alam semesta ini saling melengkapi dengan kasih sayang dan gairah
Saling tarik di lingkaran besar, dan pada saat itu kita akan melihat betapa pentingnya sumber kehidupan yang diungkapkan dengan kata ‘nisa’
Wanita adalah simfoni megah
Setiap wanita mempunyai kunci rahasia mengenai rumahnya
Setiap waita memiliki pengetahuan tentang rumah yang luas
Begitulah takdirnya
Wanita adalah bagian dari batin kebenaran.
Wanita, seseorang yang setiap kata-katanya tak terbahas, dilupakan, dan hilang identitasnya
Kita semua bergantung pada dunia, pada hidup, yang bertumpukan cerita hidup, dongeng-dongeng para wanita
Kehidupan diturunkan ke dunia dengan dititipkan kekasih-Nya kepada Khadijah terus mengalir dari bumi ke langit
Khadijah adalah istri Nabi Muhammad, ibu yang mengandung anak-anaknya, rumah untuk dirinya.
Atap Khadijah terbuka menghadap langit. Itu sebabnya huruf Kha menghadap ke langit.
Tempat terjadinya Mikraj
Tempat berkumpulnya semua rahasia
Kasih sayang Khadijah adalah dunia yang diberikan kepada kekasih-Nya.
Oleh karena itu, dia adalah ‘Kubra’
Khadijah yang pertama dan terakhir.
Kasih sayang Khadijah adalah kerajaan Rasulullah
(Salawat dan Salam untuknya)
Khadijah adalah ibu untuk rumah para umat Nabi Muhammad yang penuh berkah
(Salawat dan Salam untuknya)


Khadijah: Ketika Rahasia Mim Tersingkap - A Novel by Sibel Eraslan