Soalnya Bukan Iman Lagi
Ketika
naik kereta senja dari Jogja ke Jakarta, Anda membutuhkan kepercayaan bahwa
kereta sungguh-sungguh berangkah ke Jakarta. Tidak ke Bandung atau Banyuwangi. Kereta
itu harus menuju arah tertentu sehingga Anda memiliki kepercayaan bahwa ia ke
Jakarta. Kereta itu juga harus membuktikan bahwa ia punya lokomotif sehingga
Anda benar-benar percaya bahwa Anda akan dibawa pergi. Kalau tidak, Anda tak
akan memercayainya. Dan, kalau Anda tak percaya, Anda tak akan bersedia
mengeluarkan uang untuk membeli tiket.
Akan
tetapi, begitu tiba dan mengnjakkan kaki di Stasiun Gambir, Anda tak lagi
memerlukan kepercayaan itu. Anda sudah tiba, di luar “percaya” atau “tak
percaya”.
Di
Jakarta, Anda tak memerlukan kepercayaan untuk sampai di Jakarta. Jakarta sudah
haq bagi Anda.
Juga
ketika Anda naik pesawat. Sesungguhnya Anda sedang menempuh perjalanan dari maqam
di antara percaya dan tak percaya, menuju kondisi atau kedudukan di luar
keduanya itu.
Akan
tetapi, perolehan kepercayaan dalam kasus pesawat jauh lebih mahal dibandingkan
kereta. Sebab tingkat risiko jika apa yang dipercaya itu tidak terbukti –
misalnya sang pesawat melorot ke lereng gunung – jauh lebih riskan dan bahaya.
Akan
tetapi, dengan pesawat Anda bisa lebih nyaman. Tingkat “kenikmatan” dan “gengsi”-nya
juga lebih tinggi.
Dengan
kata lain, makin mahal harga kepercayaan, makin nikmat, tetapi juga penuh
risiko. Makin mahal harga tiket kendaraan, makin spektakuler pencapaiannya
sekaligus makin tinggi kemungkinan kecelakaannya.
Kalau
dunia diibaratkan sebagai “Stasiun Tugu” dan akhirat sebagai “Gambir”,
kebiasaan kita membeli tiket kepercayaan semurah mungkin karena kita ingin
risiko yang kita hadapi kalau bisa juga sekecil mungkin. Itulah sebabnya
tradisi berpikir, tradisi mencari, tradisi ijtihad, tradisi kreatif dalam agama
cenderung lemah. Kita dididik untuk menghindari risiko.
Kita
berumah tangga dengan kepercayaan bahwa istri kita dan suami kita menyeleweng. Kepercayaan
itu mutlak karena kita tak bisa tiap detik membuntuti suami dan istri pergi ke
kantor dan pasar. Namun, kelak ketika sudah sama-sama meninggal, yaitu tiba di
puncak bukit bahwa kita tidak saling menyeleweng, kepercayaan itu tak
diperlukan lagi.
Demikian
juga ketika mengerjakan segala kegiatan, membangun negara, bersekolah, berdagang,
menarik becak, atau jualan kapur barus, kita memerlukan kepercayaan. Kalau kita
tak percaya pada apa yang kita kerjakan, pada arah yang kita tuju, serta pada
segala hal terkait dengan itu makan kita tak bahagia dan tak bertenaga untuk
mengerjakannya.
Landasan
dari kepercayaan adalah bahwa kita belum tahu, tetapi kita percaya. Kalau sudah
tahu, kita tak butuh percaya atau tak percaya. Kalau Anda melepas suami tugas
di luar kota karena Anda tak tahu kemungkinan apa yang bisa dihasilkan suami
Anda maka satu-satunya yang harus kita “beli” adalah kepercayaan.
Demikian
pun iman dalam beragama.
“Iman adalah daya hidup selama
Anda menempuh perjalanan.”
Iman adalah sandaran Anda di tengah
ketidaktahuan atau kebelumtahuan atas suatu hal yang kita tuju. Namun, kalau
Anda sudah sampai di “Jakarta”, kalau “Jakarta” sudah menjadi al-Haq
bagi Anda maka yang Anda perlukan bukan lagi iman…
Itu
paralel dengan taqarrub alias pendekatan yang dibutuhkan dan dikerjakan
oleh orang yang masih jauh….[]
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam
bukunya: “Tidak. Jibril Tidak Pensiun!”