Halaman

Senin, 22 April 2024

Kartini

 

UDAR RASA

Kartini

ALISSA WAHID

 

Hari ini adalah Hari Kartini, satu-satunya hari besar Indonesia yang dinisbatkan kepada sosok individu. Tetapi, tampaknya bagi anak-anak muda Indonesia, inspirasi sosok Kartini semakin pudar karena dianggap tidak lagi relevan.

Oleh Bung Karno, Kartini diangkat menjadi pahlawan karena kesadaran dan semangat revolusioner yang langka dimiliki perempuan di masanya. Kartini bukan satu-satunya perempuan penggerak perubahan dalam sejarah Indonesia, tetapi catatan pergumulan batin dan nalar kritisnya yang kuat membuat gagasan Kartini lebih mudah ditelusuri.

Di zaman Presiden Soeharto, sosoknya kemudian diperhalus dengan gambaran konde dan kebaya, selaras dengan ideologi ibuisme Orde Baru. Padahal, Kartini adalah sosok pendekar yang melawan konsep wanita, yang bagi sementara masyarakat dimaknai sebagai wani ditata (berani/mau diatur). Sebaliknya, ia justru menghidupi konsep awal perempuan sebelum mengalami degradasi makna, yang menurut filsuf Damardjati Supadjar bersumber dari kata empu (sang bijak, pakar, cendekia).

Kartini menjadi sosok pejuang yang nalar kritisnya berpijak pada keadilan hakiki dan pembebasan sehingga ia melawan sistem patriarki yang hanya memberi satu jalan kehidupan bagi perempuan: menikah dengan praktik poligami. Ia terus menelaah dan membuat catatan tentang sistem sosial yang dikecamnya.

Ia akhirnya harus menyerah pada realita sistem sosial yang dilawannya ketika kondisi kesehatan sang ayah membuatnya memutuskan menerima lamaran Adipati Rembang untuk dijadikan istri keempat dengan negosiasi untuk dapat mengembangkan sekolah perempuan yang telah dirintisnya. Sayang Kartini tidak berumur panjang, ia meninggal dunia pada usia 25 tahun.

Sejak Orde Baru, Kartini dikenang dengan parade penampilan keibuan dan festival domestik. Sosoknya yang progresif dan kritis baru muncul kembali semenjak masa Reformasi ketika sejarah alternatif mulai mewarnai diskursus sejarah Indonesia.

Walaupun memiliki ikon seperti Kartini dan banyak pahlawan perempuan lainnya, pada kenyataannya kita masih jauh dari kondisi harapan tentang kemaslahatan perempuan. Bahkan, beberapa problem masih belum dapat kita selesaikan meskipun sudah banyak mengalami kemajuan.

Seratus dua puluh tahun lalu, Kartini meninggal empat hari setelah melahirkan.dan, sampai saat ini, angka kematian ibu (AKI) selama dan setelah persalinan masih menjadi persoalan besar. Dalam laporan kependudukan Indonesia 2023, AKI masih 189 kematian per 100.000 kelahiran. Indonesia berada di posisi kedua tertinggi  di ASEAN dan sangat jauh dari target SDGs, yaitu 70 per 100.000.

Praktik berbahaya (harmful practices) bagi perempuan juga masih sulit kita atasi, di antaranya kekerasan berbasis jender, terutama kekerasan berbasis jender secara online, perkawinan anak, poligami, dan perkawinan tidak tercatat.

Penurunan angka perkawinan anak berlangsung sangat lambat. Angka kekerasan berbasis jender juga meningkat dengan modus yang semakin keji sebagaimana kita baca dalam liputan kasus-kasus di media massa. Ini menyebabkan perempuan menjadi rentan terhadap kemiskinan, problem kesehatan, kualitas mental, dan berbagai persoalan sistemik lainnya.

Dalam ruang pengambilan keputusan kebijakan publik, mulai dari level nasional sampai level desa, kehadiran perempuan pun masih rendah. Akibatnya, suara dan perspektif perempuan kurang mewarnai kebijakan publik yang dihasilkan. Faktor utamanya pun tetap sama: tradisi patriarkal yang belum sepenuhnya dapat kita transformasikan. Pandangan tentang posisi laki-laki dan perempuan, relasi kuasa yang terus dilestarikan, serta hilangnya nalar kritis menyebabkan tradisi patriarkal masih bertahan, bahkan cenderung menguat.

Tradisi ini terekam dalam candaan seksis dan misoginis yang masih terus membanjiri ruang kehidupan kita. Para lelaki direndahkan dengan guyonan tentang ikatan suami takut istri (ISTI) seakan-akan ini adalah hal yang nista karena perempuan derajatnya di bawah lelaki sehingga tidak selayaknya para lelaki ini takut kepada istrinya.

Di saat yang sama, setiap istri diidealkan taat dan takut pada suami. Kita tidak pernah menemukan guyonan merendahkan para istri dengan tema ikatan istri takut suami (IITS). Bahkan, sebaliknya, perempuan menjadi salah ketika ia memiliki posisi lebih tinggi atau mendominasi suaminya.

Seorang calon pengantin yang sedang mengurus pendaftaran di KUA bersama calon istrinya curhat ke media sosial. Tulisnya, petugas pencatatan mengomentari si calon istri yang berpendidikan lebih tinggi dari calon suami dengan kalimat, “Ini pasti mbak enggak nurut, ya, dengan mas calon suaminya.”

Demikian juga pandangan-pandangan yang merendahkan perempuan atau yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Walaupun disembunyikan dalam bingkai demi kebaikan perempuan atau memuliakan perempuan, di ujungnya perempuan kehilangan hak hakikinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berbeda, tetapi setara dengan para lelaki.

Banyak lelaki dan perempuan yang berpikir bahwa perjuangan Kartini sudah selesai karena saat ini perempuan tampak sudah mendapatkan segalanya. Tetapi, data dan fakta yang ada tidak mendukung pandangan ini.

Remaja masa kini barangkali menganggap Kartini sudah tidak relevan bagi kehidupan mereka. Tetapi, sesungguhnya, isu yang diperjuangkannya masih subur di tengah masyarakat dan kita masih perlu berjuang mewujudkannya demi masa depan kaum muda Indonesia.

Dan, yang terpenting, sosok dan perjuangannya adalah sumber inspirasi bagi kaum muda. Indonesia membutuhkan kaum muda yang memiliki nalar kritis yang kuat, progresif, dan revolusioner. Apalagi, saat ini kita tengah mengalami kemunduran peradaban demokratis Indonesia yang egaliter. Kartini adalah salah satu sumber belajar yang baik tentang perjuangan dan perlawanan kritis.

Hari ini, Hari Kartini, menjadi relevan, bukan hanya untuk perempuan, melainkan juga untuk peradaban bangsa. Selamat hari perlawanan.

 

UDAR RASA

KOMPAS, MINGGU, 21 APRIL 2024

Sabtu, 20 April 2024

Memimpikan Kurikulum Inklusif

 

Memimpikan Kurikulum Inklusif

IDI SUBANDY IBRAHIM

Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi; Pengajar Pascasarjana Universitas Pasundan

 

Sejak kita merdeka, berbagai kebijakan pendidikan telah dibuat, berbagai kurikulum telah dicoba. Jika kita selisik lebih dalam, muara dari tujuan pendidikan nasional dalam garis besarnya sudah terang benderang: mendidik manusia merdeka, meningkatkan kapabilitas dan kemandirian individu, dan melahirkan manusia beradab!

Bukankah konstitusi mengamanatkan pemerintah “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Kemudian, “mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Sayangnya, dalam implementasinya, proses untuk mencapai tujuan tersebut tidak seperti membalik telapak tangan. Menghadapi kerumitan persoalan pendidikan, beberapa kalangan mencoba memilih skala prioritas; mana yang seharusnya didahulukan dan mana yang dikemudiankan. Kemudian, mengalokasikan dana pendidikan secara tepat penting bagi negara yang memiliki anggaran terbatas untuk mencapai hasil yang maksimal seperti Indonesia.

Dalam dua decade terakhir, lembaga-lembaga pendidikan tinggi di sejumlah negara, termasuk Indonesia, sedang di posisi yang sangat rentan. Universitas-universitas sedang dilanda merosotnya keuangan publik, bangkitnya budaya politik yang anti-intelektualitas, dan dominasi tatanan neoliberal yang membutuhkan justifikasi finansial sebagai tolok ukur kemajuan pengetahuan dibandingkan dengan manfaat ekologis, sosial, atau kultural yang mungkin disumbangkan universitas.

Justifikasi finansial disertai merosotnya anggaran pendidikan menjadi salah satu alasan munculnya komersialisasi bahkan McDonaldinasi dunia pendidikan karena logika efisiensi. Penurunan anggaran penelitian dan pengurangan staf bahkan hingga insentif dan gaji adalah konsekuensi lanjutan yang ikut ditingkatkan dengan digitalisasi dunia pendidikan. Gejala birokratisasi kampus dan budaya akademis instan yang ikut memandulkan sikap ilmiah dan tradisi penelitian di Tanah Air juga bisa dilihat kaitannya di sini.

Sejauh ini, hidup juga obsesi berlebihan untuk menjadi universitas kelas dunia. Obsesi yang sesungguhnya hanya realistis untuk segelintir universitas di Indonesia. Ini mengingat keterbatasan sumber daya dan prasarana yang dimiliki. Meskipun upaya-upaya dilakukan, seperti kebijakan meningkatkan belanja pemerintah dan memberikan otonomi lebih besar kepada perguruan tinggi, mempertahankan standar melalui proses akreditasi, bahkan menyerahkan ke pasar bebas dengan mengizinkan pendirian kampus cabang universitas asing, tujuan yang terlihat hebat tersebut tidak selalu seirama dengan amanat konstitusi.

Undang-undang, misalnya, mengamanatkan, “sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaruan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan”.

Jika frasa “harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan” dijadikan pijakan, bagaimana kita seharusnya menanggapinya? Secara jujur harus diakui, kampus-kampus PTN (juga PTS) hanya bisa diakses oleh golongan kelas menengah ke atas. Ini seperti paradoks ketika biaya untuk menjadi manusia merdeka seperti memasuki alam penjajah! Perguruan tinggi menjelma menjadi kampus elite yang sama sekali tak ramah kantong rakyat. Apakah rakyat sebagai subyek pajak tidak berhak mempertanyakan penggunaan anggaran negara dalam pengelolaan pendidikan tinggi?

Kita memang mulai menerapkan Kurikulum Merdeka yang diklaim bisa mendukung penguatan karakter moral, termasuk spiritual, sosial, dan emosional peserta didik. Menurut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim, pembelajaran pun agar lebih fleksibel dan kontekstual. Penerapannya di sekolah bisa disesuaikan dengan dengan karakteristik sekolah dan murid serta konteks sosial budaya setempat (Kompas, 28/3/2024). Pemerintah juga memberi beasiswa bagi anak-anak dari keluarga berekonomi lemah meski terbatas dan dan tidak selalu tepat sasaran. Namun, kebijakan bersifat filantropis ini masih memerlukan perubahan sistemis dan struktural agar biaya kuliah di perguruan tinggi terakses dan terjangkau sebagian besar warga negara kendati tanpa beasiswa.

Sembari mengejar obsesi world class university yang terkesan keren itu, ada baiknya kita mulai memfokuskan pada warga negara yang sekian lama diabaikan, yakni penyandang disabilitas. Ironisnya, dalam UU Sisdiknas tidak ada satu pun memuat kata “disabilitas” dan sekali kata “inklusif”, yang menunjukkan pengabaiannya dalam wacana dokumen resmi negara yang begitu strategis!

Kurikulum Inklusif harus didukung oleh UU Sisdiknas yang inklusif. Memimpikan Kurikulum Inklusif guna melengkapi Kurikulum Merdeka bukanlah impian kosong. Kurikulum Inklusif berbasis Pancasila sehingga filosofinya menentang penyeragaman kurikulum sebagai hegemoni politik pendidikan yang bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Secara umum, Kurikulum Inklusif adalah kurikulum berorientasi menampung keanekaragaman potensi peserta didik. Setiap manusia dianugerahi bakat berbeda dan unik. Kurikulum Inklusif juga merupakan kurikulum berorientasi keragaman budaya dan terikat konteks permasalahan wilayah peserta didik yang tinggal di 38 provinsi (416 kabupaten, 98 kota) (kota besar dan kecil; kota dan desa; industri, pertanian, nelayan).

Secara khusus, Kurikulum Inklusif adalah kurikulum ramah penyandang disabilitas. Lembaga pendidikan harus memberi akses dengan persentase tertentu bagi mahasiswa, dosen, staf, karyawan, dan bahkan petugas kebersihan dari disabilitas.

 

ANALISIS BUDAYA

KOMPAS, SABTU, 20 APRIL 2024