Memimpikan Kurikulum Inklusif
IDI SUBANDY IBRAHIM
Peneliti Budaya, Media, dan
Komunikasi; Pengajar Pascasarjana Universitas Pasundan
Sejak kita merdeka,
berbagai kebijakan pendidikan telah dibuat, berbagai kurikulum telah dicoba. Jika
kita selisik lebih dalam, muara dari tujuan pendidikan nasional dalam garis
besarnya sudah terang benderang: mendidik manusia merdeka, meningkatkan
kapabilitas dan kemandirian individu, dan melahirkan manusia beradab!
Bukankah konstitusi
mengamanatkan pemerintah “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Kemudian, “mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Sayangnya, dalam
implementasinya, proses untuk mencapai tujuan tersebut tidak seperti membalik
telapak tangan. Menghadapi kerumitan persoalan pendidikan, beberapa kalangan
mencoba memilih skala prioritas; mana yang seharusnya didahulukan dan mana yang
dikemudiankan. Kemudian, mengalokasikan dana pendidikan secara tepat penting
bagi negara yang memiliki anggaran terbatas untuk mencapai hasil yang maksimal
seperti Indonesia.
Dalam dua decade terakhir,
lembaga-lembaga pendidikan tinggi di sejumlah negara, termasuk Indonesia,
sedang di posisi yang sangat rentan. Universitas-universitas sedang dilanda
merosotnya keuangan publik, bangkitnya budaya politik yang
anti-intelektualitas, dan dominasi tatanan neoliberal yang membutuhkan
justifikasi finansial sebagai tolok ukur kemajuan pengetahuan dibandingkan
dengan manfaat ekologis, sosial, atau kultural yang mungkin disumbangkan
universitas.
Justifikasi finansial
disertai merosotnya anggaran pendidikan menjadi salah satu alasan munculnya
komersialisasi bahkan McDonaldinasi dunia pendidikan karena logika efisiensi. Penurunan
anggaran penelitian dan pengurangan staf bahkan hingga insentif dan gaji adalah
konsekuensi lanjutan yang ikut ditingkatkan dengan digitalisasi dunia
pendidikan. Gejala birokratisasi kampus dan budaya akademis instan yang ikut
memandulkan sikap ilmiah dan tradisi penelitian di Tanah Air juga bisa dilihat
kaitannya di sini.
Sejauh ini, hidup juga
obsesi berlebihan untuk menjadi universitas kelas dunia. Obsesi yang
sesungguhnya hanya realistis untuk segelintir universitas di Indonesia. Ini mengingat
keterbatasan sumber daya dan prasarana yang dimiliki. Meskipun upaya-upaya
dilakukan, seperti kebijakan meningkatkan belanja pemerintah dan memberikan
otonomi lebih besar kepada perguruan tinggi, mempertahankan standar melalui
proses akreditasi, bahkan menyerahkan ke pasar bebas dengan mengizinkan
pendirian kampus cabang universitas asing, tujuan yang terlihat hebat tersebut
tidak selalu seirama dengan amanat konstitusi.
Undang-undang, misalnya,
mengamanatkan, “sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, serta relevansi dan efisiensi
manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan
perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan
pembaruan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan”.
Jika frasa “harus mampu
menjamin pemerataan kesempatan pendidikan” dijadikan pijakan, bagaimana kita
seharusnya menanggapinya? Secara jujur harus diakui, kampus-kampus PTN (juga
PTS) hanya bisa diakses oleh golongan kelas menengah ke atas. Ini seperti paradoks
ketika biaya untuk menjadi manusia merdeka seperti memasuki alam penjajah!
Perguruan tinggi menjelma menjadi kampus elite yang sama sekali tak ramah
kantong rakyat. Apakah rakyat sebagai subyek pajak tidak berhak mempertanyakan
penggunaan anggaran negara dalam pengelolaan pendidikan tinggi?
Kita memang mulai
menerapkan Kurikulum Merdeka yang diklaim bisa mendukung penguatan karakter
moral, termasuk spiritual, sosial, dan emosional peserta didik. Menurut Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim, pembelajaran
pun agar lebih fleksibel dan kontekstual. Penerapannya di sekolah bisa
disesuaikan dengan dengan karakteristik sekolah dan murid serta konteks sosial
budaya setempat (Kompas, 28/3/2024). Pemerintah juga memberi beasiswa
bagi anak-anak dari keluarga berekonomi lemah meski terbatas dan dan tidak
selalu tepat sasaran. Namun, kebijakan bersifat filantropis ini masih
memerlukan perubahan sistemis dan struktural agar biaya kuliah di perguruan
tinggi terakses dan terjangkau sebagian besar warga negara kendati tanpa
beasiswa.
Sembari mengejar obsesi world
class university yang terkesan keren itu, ada baiknya kita mulai memfokuskan
pada warga negara yang sekian lama diabaikan, yakni penyandang disabilitas. Ironisnya,
dalam UU Sisdiknas tidak ada satu pun memuat kata “disabilitas” dan sekali kata
“inklusif”, yang menunjukkan pengabaiannya dalam wacana dokumen resmi negara
yang begitu strategis!
Kurikulum Inklusif harus
didukung oleh UU Sisdiknas yang inklusif. Memimpikan Kurikulum Inklusif guna
melengkapi Kurikulum Merdeka bukanlah impian kosong. Kurikulum Inklusif
berbasis Pancasila sehingga filosofinya menentang penyeragaman kurikulum
sebagai hegemoni politik pendidikan yang bertentangan dengan semangat Bhinneka
Tunggal Ika.
Secara umum, Kurikulum
Inklusif adalah kurikulum berorientasi menampung keanekaragaman potensi peserta
didik. Setiap manusia dianugerahi bakat berbeda dan unik. Kurikulum Inklusif juga
merupakan kurikulum berorientasi keragaman budaya dan terikat konteks
permasalahan wilayah peserta didik yang tinggal di 38 provinsi (416 kabupaten,
98 kota) (kota besar dan kecil; kota dan desa; industri, pertanian, nelayan).
Secara khusus, Kurikulum
Inklusif adalah kurikulum ramah penyandang disabilitas. Lembaga pendidikan
harus memberi akses dengan persentase tertentu bagi mahasiswa, dosen, staf,
karyawan, dan bahkan petugas kebersihan dari disabilitas.
ANALISIS BUDAYA
KOMPAS, SABTU, 20 APRIL 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar