Halaman

Sabtu, 20 April 2024

Memimpikan Kurikulum Inklusif

 

Memimpikan Kurikulum Inklusif

IDI SUBANDY IBRAHIM

Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi; Pengajar Pascasarjana Universitas Pasundan

 

Sejak kita merdeka, berbagai kebijakan pendidikan telah dibuat, berbagai kurikulum telah dicoba. Jika kita selisik lebih dalam, muara dari tujuan pendidikan nasional dalam garis besarnya sudah terang benderang: mendidik manusia merdeka, meningkatkan kapabilitas dan kemandirian individu, dan melahirkan manusia beradab!

Bukankah konstitusi mengamanatkan pemerintah “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Kemudian, “mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Sayangnya, dalam implementasinya, proses untuk mencapai tujuan tersebut tidak seperti membalik telapak tangan. Menghadapi kerumitan persoalan pendidikan, beberapa kalangan mencoba memilih skala prioritas; mana yang seharusnya didahulukan dan mana yang dikemudiankan. Kemudian, mengalokasikan dana pendidikan secara tepat penting bagi negara yang memiliki anggaran terbatas untuk mencapai hasil yang maksimal seperti Indonesia.

Dalam dua decade terakhir, lembaga-lembaga pendidikan tinggi di sejumlah negara, termasuk Indonesia, sedang di posisi yang sangat rentan. Universitas-universitas sedang dilanda merosotnya keuangan publik, bangkitnya budaya politik yang anti-intelektualitas, dan dominasi tatanan neoliberal yang membutuhkan justifikasi finansial sebagai tolok ukur kemajuan pengetahuan dibandingkan dengan manfaat ekologis, sosial, atau kultural yang mungkin disumbangkan universitas.

Justifikasi finansial disertai merosotnya anggaran pendidikan menjadi salah satu alasan munculnya komersialisasi bahkan McDonaldinasi dunia pendidikan karena logika efisiensi. Penurunan anggaran penelitian dan pengurangan staf bahkan hingga insentif dan gaji adalah konsekuensi lanjutan yang ikut ditingkatkan dengan digitalisasi dunia pendidikan. Gejala birokratisasi kampus dan budaya akademis instan yang ikut memandulkan sikap ilmiah dan tradisi penelitian di Tanah Air juga bisa dilihat kaitannya di sini.

Sejauh ini, hidup juga obsesi berlebihan untuk menjadi universitas kelas dunia. Obsesi yang sesungguhnya hanya realistis untuk segelintir universitas di Indonesia. Ini mengingat keterbatasan sumber daya dan prasarana yang dimiliki. Meskipun upaya-upaya dilakukan, seperti kebijakan meningkatkan belanja pemerintah dan memberikan otonomi lebih besar kepada perguruan tinggi, mempertahankan standar melalui proses akreditasi, bahkan menyerahkan ke pasar bebas dengan mengizinkan pendirian kampus cabang universitas asing, tujuan yang terlihat hebat tersebut tidak selalu seirama dengan amanat konstitusi.

Undang-undang, misalnya, mengamanatkan, “sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaruan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan”.

Jika frasa “harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan” dijadikan pijakan, bagaimana kita seharusnya menanggapinya? Secara jujur harus diakui, kampus-kampus PTN (juga PTS) hanya bisa diakses oleh golongan kelas menengah ke atas. Ini seperti paradoks ketika biaya untuk menjadi manusia merdeka seperti memasuki alam penjajah! Perguruan tinggi menjelma menjadi kampus elite yang sama sekali tak ramah kantong rakyat. Apakah rakyat sebagai subyek pajak tidak berhak mempertanyakan penggunaan anggaran negara dalam pengelolaan pendidikan tinggi?

Kita memang mulai menerapkan Kurikulum Merdeka yang diklaim bisa mendukung penguatan karakter moral, termasuk spiritual, sosial, dan emosional peserta didik. Menurut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim, pembelajaran pun agar lebih fleksibel dan kontekstual. Penerapannya di sekolah bisa disesuaikan dengan dengan karakteristik sekolah dan murid serta konteks sosial budaya setempat (Kompas, 28/3/2024). Pemerintah juga memberi beasiswa bagi anak-anak dari keluarga berekonomi lemah meski terbatas dan dan tidak selalu tepat sasaran. Namun, kebijakan bersifat filantropis ini masih memerlukan perubahan sistemis dan struktural agar biaya kuliah di perguruan tinggi terakses dan terjangkau sebagian besar warga negara kendati tanpa beasiswa.

Sembari mengejar obsesi world class university yang terkesan keren itu, ada baiknya kita mulai memfokuskan pada warga negara yang sekian lama diabaikan, yakni penyandang disabilitas. Ironisnya, dalam UU Sisdiknas tidak ada satu pun memuat kata “disabilitas” dan sekali kata “inklusif”, yang menunjukkan pengabaiannya dalam wacana dokumen resmi negara yang begitu strategis!

Kurikulum Inklusif harus didukung oleh UU Sisdiknas yang inklusif. Memimpikan Kurikulum Inklusif guna melengkapi Kurikulum Merdeka bukanlah impian kosong. Kurikulum Inklusif berbasis Pancasila sehingga filosofinya menentang penyeragaman kurikulum sebagai hegemoni politik pendidikan yang bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Secara umum, Kurikulum Inklusif adalah kurikulum berorientasi menampung keanekaragaman potensi peserta didik. Setiap manusia dianugerahi bakat berbeda dan unik. Kurikulum Inklusif juga merupakan kurikulum berorientasi keragaman budaya dan terikat konteks permasalahan wilayah peserta didik yang tinggal di 38 provinsi (416 kabupaten, 98 kota) (kota besar dan kecil; kota dan desa; industri, pertanian, nelayan).

Secara khusus, Kurikulum Inklusif adalah kurikulum ramah penyandang disabilitas. Lembaga pendidikan harus memberi akses dengan persentase tertentu bagi mahasiswa, dosen, staf, karyawan, dan bahkan petugas kebersihan dari disabilitas.

 

ANALISIS BUDAYA

KOMPAS, SABTU, 20 APRIL 2024

Tidak ada komentar: