Memilih Kepala Daerah
Abdul Gaffar Karim
Kepala Departemen Politik dan
Pemerintahan UGM
Bisakah kepala daerah
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)? Pertanyaan itu kembali
muncul setelah Presiden Prabowo Subianto menyinggung kemungkinan kepala daerah
dipilih oleh DPRD.
Biaya berpilkada langsung
itu mahal, kata Presiden. Tak hanya negara, kandidat pun harus keluar modal
besar. Tanya saja kepada para kandidat, habis berapa mereka dalam pilkada
tanggal 27 November lalu?
Mereka akan menyebut angka
puluhan miliar hingga ratusan miliar. Tidak salah, biaya pilkada memang
fantastis. Jadi, mending kepala daerah dipilih oleh DPRD saja?
Terhadap pertanyaan itu,
saya mengajukan tiga jawaban. Pertama, kepala daerah bisa dipilih oleh siapa
pun, termasuk oleh DPRD, asal dia bisa meminta pertanggungjawaban dari yang
dipilih.
Kedua, pemilihan kepala
daerah adalah ujung saja dari sistem pemerintahan sehingga perubahannya harus
dimulai dengan meninjau sistem pemerintahan secara menyeluruh.
Ketiga, kalaupun dilakukan,
perubahan itu harus diawali dengan konsultasi publik yang sungguh-sungguh.
Mandat dan tanggung jawab
Kepala daerah bisa
dipilih oleh DPRD. Akan tetapi, ada dua hal esensial yang perlu diperhatikan.
Pertama, ketika memilih
kepala daerah, DPRD sedang mengalihkan mandat eksekutif kepada yang dipilih.
Artinya, kepala daerah
harus menjalankan kebijakan dan pengambilan keputusan berdasarkan aspirasi
masyarakat yang diwakili oleh anggota DPRD.
Kepala daerah tidak bisa
sepenuhnya berpijak di atas visi-misinya sendiri.
Kedua, jika DPRD memilih
kepala daerah, mereka juga berhak meminta pertanggungjawabannya. DPRD berfungsi
sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan keputusan yang
diambil kepala daerah.
Jika kepala daerah tidak
memenuhi ekspektasi atau melanggar kebijakan yang telah disepakati, DPRD berhak
meminta penjelasan dan pertanggungjawaban. DPRD harus punya kewenangan penuh
untuk bertindak sebagai wakil rakyat, termasuk untuk memberhentikan kepala
daerah dengan alasan teknokratik ataupun politik.
Pertanggungjawaban kepala
daerah kepada DPRD dapat berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintah daerah.
Pengawasan dari DPRD bisa
mendorong kepala daerah untuk lebih transparan dan akuntabel dalam mengelola
pemerintahan. Hubungan kepala daerah dan DPRD juga bisa lebih kolaboratif dalam
merumuskan dan melaksanakan kebijakan.
Ujung sistem pemerintahan
Penting untuk
diperhatikan bahwa pemilihan kepala daerah merupakan cerminan sistem
pemerintahan.
Ini sangat terkait dengan
mandat apa dan diberikan oleh siapa. Karena itu, tidak semua kepala daerah di
Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Kabupaten/kota di DKI Jakarta adalah
unit administratif sehingga tidak ada pilkada di sana. Mandat bupati/wali kota
di DKI berasal dari gubernur.
Di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), sebuah unit pemerintahan monarki yang setara dengan provinsi,
gubernur dijabat secara otomatis oleh sultan yang bertakhta, dengan mandat yang
bersifat turun-temurun.
Terkait dengan mandat,
ada perbedaan penting antara sistem pemerintahan parlementer dan presidensial.
Dalam sistem parlementer,
rakyat memberi satu mandate, yakni mandate legislasi. Rakyat memilih anggota
legislatif, tanpa memilih pimpinan eksekutif. Pemerintahan dipimpin oleh
eksekutif yang berada di parlemen.
Dalam sistem ini,
eksekutif bertanggung jawab kepada dewan lewat mekanisme penguasa-oposisi
(istilah yang sering diterapkan dengan salah kaprah di Indonesia). Legitimasi
eksekutif tidak hanya berasal dari publik (karena mereka adalah anggota
parlemen yang dipilih rakyat), tetapi juga dari hubungan politik dengan para
anggota dewan.
Dalam sistem
presidensial, pimpinan eksekutif, termasuk kepala daerah, dipilih terpisah dari
anggota legislatif, sebab rakyat memberikan dua jenis mandat: satu untuk
eksekutif (presiden, gubernur, atau wali kota) dan satu untuk legislatif
(anggota dewan).
Sistem ini memungkinkan
kepala daerah memiliki legitimasi yang lebih langsung karena posisi mereka
didukung oleh suara rakyat. Dalam konteks ini, kepala daerah bertanggung jawab
kepada pemilih, tanpa terikat langsung pada keinginan legislatif.
Perubahan menyeluruh
Karena pemilihan kepala
daerah adalah refleksi dari sistem pemerintahan, perubahan mekanisme
pemilihannya harus dipahami sebagai perubahan terhadap mekanisme pemerintahan
secara keseluruhan.
Analoginya, kalau Anda
mau mengubah tuas rem di setang kiri motor matic menjadi tuas kopling
seperti di motor manual, seluruh transmisinya harus diubah. Perubahan cara
pemilihan kepala daerah akan membuka kebutuhan perubahan secara keseluruhan
tata cara pemerintahan.
Di ranah regulasi, banyak
undang-undang (UU) yang harus ditinjau.
Pertama, UU No 23/2014
tentang Pemerintah Daerah. UU ini mengatur tentang pemilihan kepala daerah dan
perlu ditinjau untuk mencerminkan perubahan dari pemilihan langsung menjadi
pemilihan oleh DPRD.
Kedua, UU No 7/2017
tentang Pemilihan Umum. UU ini juga perlu disesuaikan untuk memastikan bahwa
proses pemilu sejalan dan harmonis.
Ketiga, yang paling inti,
UU No 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. UU ini menjelaskan tentang
mekanisme pemilihan, yang harus disesuaikan dengan cara pemilihan yang baru.
Selain itu, perubahan
sistem pemilihan kepala daerah mungkin memerlukan penyesuaian pada aturan yang
berkaitan dengan pencalonan oleh partai politik, baik dalam hal proses maupun
syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Karena itu, UU kepartaian
juga memerlukan peninjauan ulang. Begitu pula UU tentang lembaga-lembaga
perwakilan. Banyak yang mungkin harus disesuaikan di sana.
Konsultasi publik
Singkatnya, ini adalah
urusan serius. Transformasi pemilihan kepala daerah harus dilihat sebagai
bagian dari proses reformasi yang lebih besar dalam sistem pemerintahan. Jika tak
dikelola dengan baik, perubahan itu bisa menyebabkan ketidakpuasan dan konflik
politik.
Penting untuk melakukan
analisis mendalam dan mendengarkan aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat
sebelum menyusun kebijakan baru.
Proses ini harus
transparan dan inklusif sehingga masyarakat merasa dilibatkan dalam setiap
tahapnya. Karena itu, pengelolaannya memerlukan pelibatan publik
seluas-luasnya, termasuk organisasi-organisasi masyarakat sipil, media massa,
akademisi, partai politik, dan lembaga pemerintah.
Dialog publik yang luas
akan membantu memastikan bahwa perubahan yang diusulkan dapat diterima oleh
semua pihak. Diskusi terbuka dapat menciptakan pemahaman yang lebih baik
mengenai kebutuhan dan harapan masyarakat, serta meningkatkan legitimasi
perubahan yang diimplementasikan.
Jika perlu, pemerintah
dapat melakukan referendum sebelum memulai proses perubahan ini.
KOMPAS, SENIN, 23 DESEMBER 2024