Halaman

Sabtu, 11 Januari 2025

Memilih Kepala Daerah

 

Memilih Kepala Daerah

Abdul Gaffar Karim

Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan UGM

 

Bisakah kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)? Pertanyaan itu kembali muncul setelah Presiden Prabowo Subianto menyinggung kemungkinan kepala daerah dipilih oleh DPRD.

Biaya berpilkada langsung itu mahal, kata Presiden. Tak hanya negara, kandidat pun harus keluar modal besar. Tanya saja kepada para kandidat, habis berapa mereka dalam pilkada tanggal 27 November lalu?

Mereka akan menyebut angka puluhan miliar hingga ratusan miliar. Tidak salah, biaya pilkada memang fantastis. Jadi, mending kepala daerah dipilih oleh DPRD saja?

Terhadap pertanyaan itu, saya mengajukan tiga jawaban. Pertama, kepala daerah bisa dipilih oleh siapa pun, termasuk oleh DPRD, asal dia bisa meminta pertanggungjawaban dari yang dipilih.

Kedua, pemilihan kepala daerah adalah ujung saja dari sistem pemerintahan sehingga perubahannya harus dimulai dengan meninjau sistem pemerintahan secara menyeluruh.

Ketiga, kalaupun dilakukan, perubahan itu harus diawali dengan konsultasi publik yang sungguh-sungguh.

Mandat dan tanggung jawab

Kepala daerah bisa dipilih oleh DPRD. Akan tetapi, ada dua hal esensial yang perlu diperhatikan.

Pertama, ketika memilih kepala daerah, DPRD sedang mengalihkan mandat eksekutif kepada yang dipilih.

Artinya, kepala daerah harus menjalankan kebijakan dan pengambilan keputusan berdasarkan aspirasi masyarakat yang diwakili oleh anggota DPRD.

Kepala daerah tidak bisa sepenuhnya berpijak di atas visi-misinya sendiri.

Kedua, jika DPRD memilih kepala daerah, mereka juga berhak meminta pertanggungjawabannya. DPRD berfungsi sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan keputusan yang diambil kepala daerah.

Jika kepala daerah tidak memenuhi ekspektasi atau melanggar kebijakan yang telah disepakati, DPRD berhak meminta penjelasan dan pertanggungjawaban. DPRD harus punya kewenangan penuh untuk bertindak sebagai wakil rakyat, termasuk untuk memberhentikan kepala daerah dengan alasan teknokratik ataupun politik.

Pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD dapat berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintah daerah.

Pengawasan dari DPRD bisa mendorong kepala daerah untuk lebih transparan dan akuntabel dalam mengelola pemerintahan. Hubungan kepala daerah dan DPRD juga bisa lebih kolaboratif dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan.

Ujung sistem pemerintahan

Penting untuk diperhatikan bahwa pemilihan kepala daerah merupakan cerminan sistem pemerintahan.

Ini sangat terkait dengan mandat apa dan diberikan oleh siapa. Karena itu, tidak semua kepala daerah di Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Kabupaten/kota di DKI Jakarta adalah unit administratif sehingga tidak ada pilkada di sana. Mandat bupati/wali kota di DKI berasal dari gubernur.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sebuah unit pemerintahan monarki yang setara dengan provinsi, gubernur dijabat secara otomatis oleh sultan yang bertakhta, dengan mandat yang bersifat turun-temurun.

Terkait dengan mandat, ada perbedaan penting antara sistem pemerintahan parlementer dan presidensial.

Dalam sistem parlementer, rakyat memberi satu mandate, yakni mandate legislasi. Rakyat memilih anggota legislatif, tanpa memilih pimpinan eksekutif. Pemerintahan dipimpin oleh eksekutif yang berada di parlemen.

Dalam sistem ini, eksekutif bertanggung jawab kepada dewan lewat mekanisme penguasa-oposisi (istilah yang sering diterapkan dengan salah kaprah di Indonesia). Legitimasi eksekutif tidak hanya berasal dari publik (karena mereka adalah anggota parlemen yang dipilih rakyat), tetapi juga dari hubungan politik dengan para anggota dewan.

Dalam sistem presidensial, pimpinan eksekutif, termasuk kepala daerah, dipilih terpisah dari anggota legislatif, sebab rakyat memberikan dua jenis mandat: satu untuk eksekutif (presiden, gubernur, atau wali kota) dan satu untuk legislatif (anggota dewan).

Sistem ini memungkinkan kepala daerah memiliki legitimasi yang lebih langsung karena posisi mereka didukung oleh suara rakyat. Dalam konteks ini, kepala daerah bertanggung jawab kepada pemilih, tanpa terikat langsung pada keinginan legislatif.

Perubahan menyeluruh

Karena pemilihan kepala daerah adalah refleksi dari sistem pemerintahan, perubahan mekanisme pemilihannya harus dipahami sebagai perubahan terhadap mekanisme pemerintahan secara keseluruhan.

Analoginya, kalau Anda mau mengubah tuas rem di setang kiri motor matic menjadi tuas kopling seperti di motor manual, seluruh transmisinya harus diubah. Perubahan cara pemilihan kepala daerah akan membuka kebutuhan perubahan secara keseluruhan tata cara pemerintahan.

Di ranah regulasi, banyak undang-undang (UU) yang harus ditinjau.

Pertama, UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. UU ini mengatur tentang pemilihan kepala daerah dan perlu ditinjau untuk mencerminkan perubahan dari pemilihan langsung menjadi pemilihan oleh DPRD.

Kedua, UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum. UU ini juga perlu disesuaikan untuk memastikan bahwa proses pemilu sejalan dan harmonis.

Ketiga, yang paling inti, UU No 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. UU ini menjelaskan tentang mekanisme pemilihan, yang harus disesuaikan dengan cara pemilihan yang baru.

Selain itu, perubahan sistem pemilihan kepala daerah mungkin memerlukan penyesuaian pada aturan yang berkaitan dengan pencalonan oleh partai politik, baik dalam hal proses maupun syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Karena itu, UU kepartaian juga memerlukan peninjauan ulang. Begitu pula UU tentang lembaga-lembaga perwakilan. Banyak yang mungkin harus disesuaikan di sana.

Konsultasi publik

Singkatnya, ini adalah urusan serius. Transformasi pemilihan kepala daerah harus dilihat sebagai bagian dari proses reformasi yang lebih besar dalam sistem pemerintahan. Jika tak dikelola dengan baik, perubahan itu bisa menyebabkan ketidakpuasan dan konflik politik.

Penting untuk melakukan analisis mendalam dan mendengarkan aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat sebelum menyusun kebijakan baru.

Proses ini harus transparan dan inklusif sehingga masyarakat merasa dilibatkan dalam setiap tahapnya. Karena itu, pengelolaannya memerlukan pelibatan publik seluas-luasnya, termasuk organisasi-organisasi masyarakat sipil, media massa, akademisi, partai politik, dan lembaga pemerintah.

Dialog publik yang luas akan membantu memastikan bahwa perubahan yang diusulkan dapat diterima oleh semua pihak. Diskusi terbuka dapat menciptakan pemahaman yang lebih baik mengenai kebutuhan dan harapan masyarakat, serta meningkatkan legitimasi perubahan yang diimplementasikan.

Jika perlu, pemerintah dapat melakukan referendum sebelum memulai proses perubahan ini.

 

KOMPAS, SENIN, 23 DESEMBER 2024

Tidak ada komentar: