Tiada Mendendam
Aku tak lagi sanggup
membendung air mataku. Kini kubiarkan air mataku menetes. Tak kutahan sama
sekali. Kuijinkan ia membasahi tempat sujudku agar kelak menjadi saksi bahwa
aku pernah menangisimu.
“Masih perlukah
penjelasan itu?” Tanyanya suatu waktu ketika aku meminta penjelasan darinya.
Aku pun hanya terdiam.
Percuma menjawab seseorang yang dari awal bertemu sudah tidak ada tanda-tanda
adanya keramahan darinya.
“Iya, karena kamu belum
menjawabnya.” Entah kekuatan dari mana yang menggerakkan lisan ini untuk
berbicara.
“Ooo, jadi kamu mau tahu
jawabannya apa mau tahu penjelasannya?” Tanyanya kembali dengan rona wajah yang
semakin merah karena emosi. Tapi dengan tatapan seperti itu pun aku masih
mengaguminya. Ia masih terlihat elok seperti biasanya. Tak berkurang
sedikitpun.
Dari kejauhan terlihat
rombongan sekawanan ayam sedang berebut padi yang baru saja dijemur di
pelataran rumahku. ‘Akhirnya aku punya alasan untuk menghindar dari tatapan
itu.’ Pikirku lega dalam hati.
Tanpa menghiraukan tatapan
mengerikan sekaligus mempesona itu aku pun meninggalkannya mematung di bawah
pohon yang biasa digunakan anak-anak kecil untuk mengikat tali layangan di
waktu senja tiba dan juga ketika angin mendukung untuk menerbangkan
layang-layang mereka.
“Hei, mau kemana?”
Teriaknya ketika aku sudah berlari jauh darinya.
“Ke rumah bentar.”
Jawabku keras hingga terdengar suara gaung yang menggema.
Semakin dekat ke arah
rumah, langkah kakiku yang tadi kupaksa berlari secepat mungkin kini sudah
kupelankan secara perlahan. Dengan nafas yang masih ngos-ngosan aku berjalan ke teras rumah untuk mengambil sapu ijuk
yang biasa dipakai untuk mengusir ayam-ayam yang biasa berebut untuk mengambil
padi yang sedang dijemur. Sebenarnya nggak tega juga mengusir ayam-ayam itu.
Toh meskipun kenyatannya ayam-ayam tersebut merugikan karena mengambil
padi-padi bapak, ayam-ayam tersebut juga berjasa memalingkanku dari tatapan
galaknya sehingga aku punya alasan untuk menghindarinya.
Apa boleh buat, dari pada
padi-padi yang dijemur bapak semakin berkurang banyak aku harus mengusir
ayam-ayam itu karena memang hari itu adalah tugasku menjaga padi-padi yang
dijemur sampai bapak pulang dari ladang. “Hushh, hush,” teriakku sambil menyabet-nyabetkan sapu ke arah
ayam-ayam tersebut.
Dari kejauhan, masih
berada di tempat semula, kulihat ia melihat ke arahku sambil
mengangguk-anggukkan kepala tanda bahwa ia mafhum kenapa aku tiba-tiba pergi
meninggalkannya.
Sambil duduk di teras
depan rumah menunggui ayam-ayam agar tidak kembali memakan padi-padi yang
dijemur, aku melihatnya lagi. Meski dari tempat yang cukup jauh darinya, aku
masih bisa melihat dengan seyakin-yakinnya bahwa dia yang di sana, yang masih
berada di bawah pohon tempat mengaitkan tali layangan anak-anak itu, masih
mengharapkan aku untuk segera kembali menemuinya.
Setelah ayam-ayam tadi
sudah menjauh dari pelataran rumahku, aku memantapkan diri untuk menemuinya
lagi, berharap ia akan memberi penjelasan yang bisa membuatku lega. Meski masih
agak berat rasanya kaki ini untuk melangkah cepat, tapi dengan sedikit
berprasangka baik saja membuat langkah ini semakin mantap untuk menemuinya.
“Kirain mau nungguin di
depan rumah sampai sore.” Katanya dengan halus.
“Nggak kok, kan aku tadi
bilangnya cuma bentar.” Jawab sekenaku.
“Oh ya, tadi sampai mana
ya?” Gantian aku yang bertanya padanya. Entah kenapa tiba-tiba aku bisa
basa-basi yang sama sekali bukan tipeku.
“Oh, yang tadi tentang
kamu yang minta penjelasan dariku. Aku juga masih belum paham dengan
pertanyaanmu sih, sebenarnya kamu mau minta jawaban atau minta penjelasan.”
Jawabnya santai.
“Dua-duanya. Hehe. Kalau
berkenan menjawab sih.” Jawabku agak kikuk, sambil menyunggingkan senyum
terbaikku.
“Jawabannya karena kurasa
aku sudah menang, jadi tidak perlu membalasnya seperti yang ia lakukan
kepadaku. Sebenarnya, aku bisa membalasnya, toh waktu itu peluang untuk
membalasnya sangat besar sekali. Bahkan aku pun mungkin bisa membalasnya lebih
dari yang ia perbuat kepadaku. Itu karena waktu itu ia hanya sendiri. Sedangkan
di sampingku ada kamu dan teman-teman yang lain yang siap membantuku. Bahkan
kamu dan teman-teman sepertinya sudah siap melebihi kesiapanku.” Jawabnya semakin halus.
“Tapi kenapa?” Tanyaku
mendesak.
“Jika keburukan dibalas
dengan keburukan, lantas bagaimana akan selesai masalahnya?” Begitu jawabnya, dan
aku pun membenarkannya.
“Jadi, karena itu kamu
tidak membalasnya?”Tanyaku lagi penasaran.
“Kamu pernah dengar
kalimat bijak ibu kita, ibu kita Kartini?” Ia malah balik bertanya kepadaku
tentang sosok yang aku hanya tahu namanya dan perjuangan utamanya sebagai tokoh
yang memperjuangkan nasib kaum perempuan pribumi.
“Kalimat bijak yang
mana?” Tanyaku pura-pura tahu banyak kalimat-kalimat bijak Ibu Kartini.
“Lebih banyak kita
maklum, lebih kurang rasa dendam dalam hati kita. Semakin adil pertimbangan
kita dan semakin kokoh dasar rasa kasih sayang. Tiada mendendam, itulah
bahagia.”
Itulah yang membuatku
menangisimu. Menangis karena mengagumi kebaikan hatimu, yang telah
menyadarkanku bahwa tak semuanya harus dibalas sesuai porsi yang adil menurut
akal. Adakalanya kita harus mengalah untuk menundukkan lawan kita nantinya,
menundukkan dengan cara yang elegan dengan cara memaafkannya.
Yogyakarta, 22 April 2017