Halaman

Selasa, 04 April 2017

Falsafah Pendidikan dan Pengajaran R.A. Kartini

Falsafah Pendidikan dan Pengajaran R.A. Kartini

Falsafah pendidikan dan pengajaran Kartini tampaknya sangat penting untuk dicermati dan direnungkan, terutama dalam era ketika pendidikan kita masih carut-marut di satu sisi, dan di sisi lain justru melahirkan ekses-ekses buruk, terutama menyangkut peserta didik. Kritikan-kritikan terhadap dunia sekolah dan pendidikan, dewasa ini, seakan menenggelamkan perhatian pada subjek penting pendidikan itu sendiri, yakni anak-anak sekolah. Kekerasan, kebebasan yang tanpa kendali, hingga kerusakan moral melanda anak-anak di mana pun. Semakin maju dan berkembangnya tingkat pendidikan dewasa ini, banyaknya perguruan-perguruan tinggi, rupa-rupanya tak berbanding lurus dengan hilangnya kekerasan dan kerusakan moral. Oleh perkara sepele dan remeh-temeh, pelajar-pelajar dan mahasiswa-mahasiswa saling berkelahi, bahkan bunuh-membunuh.
Kartini, dengan kepekaan nurani dan kecerdasan jiwanya, rupa-rupanya telah berbicara tentang sebab-sebab yang bisa melahirkan akibat-akibat buruk tersebut.

‘Pendirianku, pendidikan itu mendidik budi dan jiwa. Biarpun tidak ada orang yang bersenang hati pada saya, sekali-kali saya tidak akan senang pada diri saya sendiri jika sesudah jadi guru saya tidak sanggup melakukan kewajiban yang sepatutnya diperbuat oleh pendidik yang baik, seperti yang saya kehendaki.
Rasa-rasa kewajiban seorang pendidik belum selesai jika ia hanya baru mencerdaskan pikiran saja. Belum boleh dikatakan selesai. Dia harus juga bekerja mendidik budi meskipun tidak ada hukum yang nyata mewajibkan berbuat demikian.
Bagi saya hanya dua macam bangsawan: bangsawan pikiran dan bangsawan budi. Tiada yang lebih gila dan bodoh dalam pandangan saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya.’

Inilah konsepsi pendidikan menurut Kartini: pendidikan pikiran dan pendidikan budi. Dalam bahasa psikologi kontemporer tentang kecerdasan, pendidikan pikiran berkaitan dengan kecerdasan intelektual, sementara pendidikan budi berkaitan dengan kecerdasan emosional dan spiritual. Perkembangan ilmu psikologi memang sangat membantu untuk menjelaskan makna dan maksud pendidikan menurut Kartini ini, sebab, tentu saja di zamannya belum dikenal istilah “kecerdasan intelektual”, “kecerdasan emosional”, dan “kecerdasan spiritual”.
Sesorang yang cerdas secara intelektual belum tentu cerdas pula secara emosional dan spiritual. Begitu pula sebaliknya. Sesorang yang cerdas secara emosional dan spiritual belum tentu cerdas secara intelektual. Intelektualitas berkaitan dengan fungsi-fungsi otak pada diri manusia. Hewan memiliki otak, tetapi tak punya intelektualitas. Sebab, intelektualitas dihasilkan daya immaterial otak yang disebut sebagai “akal”., dan hewa tak memiliki akal (walau berotak). Dan orang yang akalnya cerdas belum tentu hati dan perasaannya cerdas. Oleh sebab “kecerdasan” merupakan lawan dari “kebodohan”, maka orang yang akalnya cerdas bisa jadi memiliki hati dan perasaan yang bodoh. Hal yang demikian inilah yang telah dilihat Kartini dalam pendidikan waktu itu.

‘Kerap kali aku bertemu dengan orang kulit putih yang sekali-kali bukan bodoh, malahan bangsawan pikiran, tetapi angkuhnya bukan main, tidak tertahan. Dan terlalu banyak orang merasa bahwa kami orang Jawa sebenarnya bukanlah manusia. Bagaimana orang Belanda hendak kami kasih sayangi apabila kami diperlakukan demikian? Cinta membangkitkan balasan cinta, tetapi penghinaan selama-lamanya tak akan menghidupkan rasa cinta.’

Sangat menarik ketika Kartini menyebut bangsawan yang berpikiran cerdas tetapi tak memiliki cinta. Bangsawan itu boleh saja otaknya cerdas, tetapi karena hatinya bodoh, maka sikapnya menjadi angkuh. Dengan contoh itu, Kartini ingin mengatakan bahwa apabila si bangsawan itu dididik juga dengan pendidikan budi, keangkuhan itu bisa dilenyapkan dari sikapnya. Jangan lupa, persoalan hati adalah persoalan budi pekerti, persoalan emosional dan spiritual. Dalam bahasa agama, budi pekerti adalah persoalan akhlak manusia.
Sebagian orang mengatakan, “Jika otak bisa dicerdaskan, tentu dengan sendirinya hati dan perasaan pun bisa dicerdaskan.” Orang yang mengatakan demikian ini membuat prasangka bahwa kecerdasan budi –dalam istilah Kartini- akan didapat dengan sendirinya apabila pikiran sudah dicerdaskan.
Benarkah demikian?

‘Acap kali saya dengar orang berkata bahwa kehalusan budi akan datang dengan sendirinya jika pikiran sudah cerdas, bahwa melalui pendidikan akal budi dengan sendirinya akan menjadi baik dan halus. Tetapi, setelah memperhatikan, saya benar-benar kecewa. Tidak selamanya benar yang demikian itu. Pengetahuan tentang adab dan bahasa, serta cerdas dan pikiran, tidak menjadi jaminan orang tersebut memiliki susila dan budi pekerti.’

Benar, akal bisa memahami cinta. Namun, bukan fungsi dari akal untuk bisa merasakan cinta, merasakan kasih, merasakan sayang. Akal pun bisa memahami baik dan buruk, tetapi tempat baik dan buruk itu ada pada hati dan perasaan manusia, bukan pada akalnya. Akal bisa mengerti bahwa sombong, angkuh, pengecut, sikap merendahkan, lalim dan sifat-sifat sejenis yang sejenis dengan ini semua adalah sifat yang buruk; namun pengertian yang diketahui akal ini tidak serta merta membuat si pemilik akal terhindar dari sifat-sifat yang buruk tadi, sebab ia berhubungan dengan hati dan perasaannya.
Lihatlah, bahkan saat zaman belum berbicara apa pun tentang tingkatan-tingkatan kecerdasan, Kartini telah membagi kecerdasan menjadi dua, yakni kecerdasan pikiran (akal) dan kecerdasan budi (hati dan perasaan). Istilah sekarang, kecerdasan pikiran disebut sebagai “kecerdasan intelektual” (IQ), sedangkan kecerdasan perasaan dan hati disebut sebagai “kecerdasan emosional” (EQ) dan “kecerdasan spiritual” (SQ).
Kita memang tidak dapat mendapatkan penjelasan lebih lanjut dari Kartini tentang apa dan bagaimana mendidik atau mencerdaskan budi. Biarlah sejarah sendiri yang akan menerjemahkan dalam konsep turunan dan praktiknya. Kita hanya tahu bahwa Kartinilah peletak dasar pendidikan yang demikian bagi bangsa ini.


Lebih detailnya silahkan membaca novel sejarah yang berjudul “Kartini, Kisah yang Tersembunyi”

Tidak ada komentar: