Falsafah Pendidikan dan Pengajaran R.A.
Kartini
Falsafah pendidikan dan
pengajaran Kartini tampaknya sangat penting untuk dicermati dan direnungkan,
terutama dalam era ketika pendidikan kita masih carut-marut di satu sisi, dan
di sisi lain justru melahirkan ekses-ekses buruk, terutama menyangkut peserta
didik. Kritikan-kritikan terhadap dunia sekolah dan pendidikan, dewasa ini,
seakan menenggelamkan perhatian pada subjek penting pendidikan itu sendiri,
yakni anak-anak sekolah. Kekerasan, kebebasan yang tanpa kendali, hingga
kerusakan moral melanda anak-anak di mana pun. Semakin maju dan berkembangnya
tingkat pendidikan dewasa ini, banyaknya perguruan-perguruan tinggi,
rupa-rupanya tak berbanding lurus dengan hilangnya kekerasan dan kerusakan
moral. Oleh perkara sepele dan remeh-temeh, pelajar-pelajar dan
mahasiswa-mahasiswa saling berkelahi, bahkan bunuh-membunuh.
Kartini, dengan kepekaan
nurani dan kecerdasan jiwanya, rupa-rupanya telah berbicara tentang sebab-sebab
yang bisa melahirkan akibat-akibat buruk tersebut.
‘Pendirianku,
pendidikan itu mendidik budi dan jiwa. Biarpun tidak ada orang yang bersenang
hati pada saya, sekali-kali saya tidak akan senang pada diri saya sendiri jika
sesudah jadi guru saya tidak sanggup melakukan kewajiban yang sepatutnya
diperbuat oleh pendidik yang baik, seperti yang saya kehendaki.
Rasa-rasa kewajiban
seorang pendidik belum selesai jika ia hanya baru mencerdaskan pikiran saja. Belum
boleh dikatakan selesai. Dia harus juga bekerja mendidik budi meskipun tidak
ada hukum yang nyata mewajibkan berbuat demikian.
Bagi saya hanya dua
macam bangsawan: bangsawan pikiran dan bangsawan budi. Tiada yang lebih gila
dan bodoh dalam pandangan saya daripada melihat orang yang membanggakan asal
keturunannya.’
Inilah konsepsi
pendidikan menurut Kartini: pendidikan pikiran dan pendidikan budi. Dalam bahasa
psikologi kontemporer tentang kecerdasan, pendidikan pikiran berkaitan dengan
kecerdasan intelektual, sementara pendidikan budi berkaitan dengan kecerdasan
emosional dan spiritual. Perkembangan ilmu psikologi memang sangat membantu
untuk menjelaskan makna dan maksud pendidikan menurut Kartini ini, sebab, tentu
saja di zamannya belum dikenal istilah “kecerdasan intelektual”, “kecerdasan
emosional”, dan “kecerdasan spiritual”.
Sesorang yang cerdas
secara intelektual belum tentu cerdas pula secara emosional dan spiritual. Begitu
pula sebaliknya. Sesorang yang cerdas secara emosional dan spiritual belum
tentu cerdas secara intelektual. Intelektualitas berkaitan dengan fungsi-fungsi
otak pada diri manusia. Hewan memiliki otak, tetapi tak punya intelektualitas. Sebab,
intelektualitas dihasilkan daya immaterial otak yang disebut sebagai “akal”.,
dan hewa tak memiliki akal (walau berotak). Dan orang yang akalnya cerdas belum
tentu hati dan perasaannya cerdas. Oleh sebab “kecerdasan” merupakan lawan dari
“kebodohan”, maka orang yang akalnya cerdas bisa jadi memiliki hati dan
perasaan yang bodoh. Hal yang demikian inilah yang telah dilihat Kartini dalam
pendidikan waktu itu.
‘Kerap kali aku
bertemu dengan orang kulit putih yang sekali-kali bukan bodoh, malahan
bangsawan pikiran, tetapi angkuhnya bukan main, tidak tertahan. Dan terlalu
banyak orang merasa bahwa kami orang Jawa sebenarnya bukanlah manusia. Bagaimana
orang Belanda hendak kami kasih sayangi apabila kami diperlakukan demikian? Cinta
membangkitkan balasan cinta, tetapi penghinaan selama-lamanya tak akan
menghidupkan rasa cinta.’
Sangat menarik ketika
Kartini menyebut bangsawan yang berpikiran cerdas tetapi tak memiliki cinta. Bangsawan
itu boleh saja otaknya cerdas, tetapi karena hatinya bodoh, maka sikapnya
menjadi angkuh. Dengan contoh itu, Kartini ingin mengatakan bahwa apabila si
bangsawan itu dididik juga dengan pendidikan budi, keangkuhan itu bisa
dilenyapkan dari sikapnya. Jangan lupa, persoalan hati adalah persoalan budi
pekerti, persoalan emosional dan spiritual. Dalam bahasa agama, budi pekerti
adalah persoalan akhlak manusia.
Sebagian orang
mengatakan, “Jika otak bisa dicerdaskan, tentu dengan sendirinya hati dan
perasaan pun bisa dicerdaskan.” Orang yang mengatakan demikian ini membuat
prasangka bahwa kecerdasan budi –dalam istilah Kartini- akan didapat dengan
sendirinya apabila pikiran sudah dicerdaskan.
Benarkah demikian?
‘Acap kali saya
dengar orang berkata bahwa kehalusan budi akan datang dengan sendirinya jika
pikiran sudah cerdas, bahwa melalui pendidikan akal budi dengan sendirinya akan
menjadi baik dan halus. Tetapi, setelah memperhatikan, saya benar-benar kecewa.
Tidak selamanya benar yang demikian itu. Pengetahuan tentang adab dan bahasa,
serta cerdas dan pikiran, tidak menjadi jaminan orang tersebut memiliki susila
dan budi pekerti.’
Benar, akal bisa memahami
cinta. Namun, bukan fungsi dari akal untuk bisa merasakan cinta, merasakan
kasih, merasakan sayang. Akal pun bisa memahami baik dan buruk, tetapi tempat
baik dan buruk itu ada pada hati dan perasaan manusia, bukan pada akalnya. Akal
bisa mengerti bahwa sombong, angkuh, pengecut, sikap merendahkan, lalim dan
sifat-sifat sejenis yang sejenis dengan ini semua adalah sifat yang buruk;
namun pengertian yang diketahui akal ini tidak serta merta membuat si pemilik
akal terhindar dari sifat-sifat yang buruk tadi, sebab ia berhubungan dengan
hati dan perasaannya.
Lihatlah, bahkan saat
zaman belum berbicara apa pun tentang tingkatan-tingkatan kecerdasan, Kartini
telah membagi kecerdasan menjadi dua, yakni kecerdasan pikiran (akal) dan
kecerdasan budi (hati dan perasaan). Istilah sekarang, kecerdasan pikiran
disebut sebagai “kecerdasan intelektual” (IQ), sedangkan kecerdasan perasaan
dan hati disebut sebagai “kecerdasan emosional” (EQ) dan “kecerdasan spiritual”
(SQ).
Kita memang tidak dapat
mendapatkan penjelasan lebih lanjut dari Kartini tentang apa dan bagaimana
mendidik atau mencerdaskan budi. Biarlah sejarah sendiri yang akan
menerjemahkan dalam konsep turunan dan praktiknya. Kita hanya tahu bahwa Kartinilah
peletak dasar pendidikan yang demikian bagi bangsa ini.
Lebih detailnya silahkan membaca novel
sejarah yang berjudul “Kartini, Kisah yang Tersembunyi”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar