Halaman

Jumat, 21 April 2017

Tiada Mendendam

Tiada Mendendam

Aku tak lagi sanggup membendung air mataku. Kini kubiarkan air mataku menetes. Tak kutahan sama sekali. Kuijinkan ia membasahi tempat sujudku agar kelak menjadi saksi bahwa aku pernah menangisimu.
“Masih perlukah penjelasan itu?” Tanyanya suatu waktu ketika aku meminta penjelasan darinya.
Aku pun hanya terdiam. Percuma menjawab seseorang yang dari awal bertemu sudah tidak ada tanda-tanda adanya keramahan darinya.
“Iya, karena kamu belum menjawabnya.” Entah kekuatan dari mana yang menggerakkan lisan ini untuk berbicara.
“Ooo, jadi kamu mau tahu jawabannya apa mau tahu penjelasannya?” Tanyanya kembali dengan rona wajah yang semakin merah karena emosi. Tapi dengan tatapan seperti itu pun aku masih mengaguminya. Ia masih terlihat elok seperti biasanya. Tak berkurang sedikitpun.
Dari kejauhan terlihat rombongan sekawanan ayam sedang berebut padi yang baru saja dijemur di pelataran rumahku. ‘Akhirnya aku punya alasan untuk menghindar dari tatapan itu.’ Pikirku lega dalam hati.
Tanpa menghiraukan tatapan mengerikan sekaligus mempesona itu aku pun meninggalkannya mematung di bawah pohon yang biasa digunakan anak-anak kecil untuk mengikat tali layangan di waktu senja tiba dan juga ketika angin mendukung untuk menerbangkan layang-layang mereka.
“Hei, mau kemana?” Teriaknya ketika aku sudah berlari jauh darinya.
“Ke rumah bentar.” Jawabku keras hingga terdengar suara gaung yang menggema.
Semakin dekat ke arah rumah, langkah kakiku yang tadi kupaksa berlari secepat mungkin kini sudah kupelankan secara perlahan. Dengan nafas yang masih ngos-ngosan aku berjalan ke teras rumah untuk mengambil sapu ijuk yang biasa dipakai untuk mengusir ayam-ayam yang biasa berebut untuk mengambil padi yang sedang dijemur. Sebenarnya nggak tega juga mengusir ayam-ayam itu. Toh meskipun kenyatannya ayam-ayam tersebut merugikan karena mengambil padi-padi bapak, ayam-ayam tersebut juga berjasa memalingkanku dari tatapan galaknya sehingga aku punya alasan untuk menghindarinya.
Apa boleh buat, dari pada padi-padi yang dijemur bapak semakin berkurang banyak aku harus mengusir ayam-ayam itu karena memang hari itu adalah tugasku menjaga padi-padi yang dijemur sampai bapak pulang dari ladang. “Hushh, hush,” teriakku sambil menyabet-nyabetkan sapu ke arah ayam-ayam tersebut.
Dari kejauhan, masih berada di tempat semula, kulihat ia melihat ke arahku sambil mengangguk-anggukkan kepala tanda bahwa ia mafhum kenapa aku tiba-tiba pergi meninggalkannya.
Sambil duduk di teras depan rumah menunggui ayam-ayam agar tidak kembali memakan padi-padi yang dijemur, aku melihatnya lagi. Meski dari tempat yang cukup jauh darinya, aku masih bisa melihat dengan seyakin-yakinnya bahwa dia yang di sana, yang masih berada di bawah pohon tempat mengaitkan tali layangan anak-anak itu, masih mengharapkan aku untuk segera kembali menemuinya.
Setelah ayam-ayam tadi sudah menjauh dari pelataran rumahku, aku memantapkan diri untuk menemuinya lagi, berharap ia akan memberi penjelasan yang bisa membuatku lega. Meski masih agak berat rasanya kaki ini untuk melangkah cepat, tapi dengan sedikit berprasangka baik saja membuat langkah ini semakin mantap untuk menemuinya.
“Kirain mau nungguin di depan rumah sampai sore.” Katanya dengan halus.
“Nggak kok, kan aku tadi bilangnya cuma bentar.” Jawab sekenaku.
“Oh ya, tadi sampai mana ya?” Gantian aku yang bertanya padanya. Entah kenapa tiba-tiba aku bisa basa-basi yang sama sekali bukan tipeku.
“Oh, yang tadi tentang kamu yang minta penjelasan dariku. Aku juga masih belum paham dengan pertanyaanmu sih, sebenarnya kamu mau minta jawaban atau minta penjelasan.” Jawabnya santai.
“Dua-duanya. Hehe. Kalau berkenan menjawab sih.” Jawabku agak kikuk, sambil menyunggingkan senyum terbaikku.
“Jawabannya karena kurasa aku sudah menang, jadi tidak perlu membalasnya seperti yang ia lakukan kepadaku. Sebenarnya, aku bisa membalasnya, toh waktu itu peluang untuk membalasnya sangat besar sekali. Bahkan aku pun mungkin bisa membalasnya lebih dari yang ia perbuat kepadaku. Itu karena waktu itu ia hanya sendiri. Sedangkan di sampingku ada kamu dan teman-teman yang lain yang siap membantuku. Bahkan kamu dan teman-teman sepertinya sudah siap melebihi kesiapanku.” Jawabnya semakin halus.
“Tapi kenapa?” Tanyaku mendesak.
“Jika keburukan dibalas dengan keburukan, lantas bagaimana akan selesai masalahnya?” Begitu jawabnya, dan aku pun membenarkannya.
“Jadi, karena itu kamu tidak membalasnya?”Tanyaku lagi penasaran.
“Kamu pernah dengar kalimat bijak ibu kita, ibu kita Kartini?” Ia malah balik bertanya kepadaku tentang sosok yang aku hanya tahu namanya dan perjuangan utamanya sebagai tokoh yang memperjuangkan nasib kaum perempuan pribumi.
“Kalimat bijak yang mana?” Tanyaku pura-pura tahu banyak kalimat-kalimat bijak Ibu Kartini.
“Lebih banyak kita maklum, lebih kurang rasa dendam dalam hati kita. Semakin adil pertimbangan kita dan semakin kokoh dasar rasa kasih sayang. Tiada mendendam, itulah bahagia.”
Itulah yang membuatku menangisimu. Menangis karena mengagumi kebaikan hatimu, yang telah menyadarkanku bahwa tak semuanya harus dibalas sesuai porsi yang adil menurut akal. Adakalanya kita harus mengalah untuk menundukkan lawan kita nantinya, menundukkan dengan cara yang elegan dengan cara memaafkannya.


Yogyakarta, 22 April 2017

Tidak ada komentar: