Halaman

Minggu, 23 Juli 2023

Serba Maya… Semarak Kejahatan

 

ETALASE

Serba Maya… Semarak Kejahatan

 

Apa sih yang tak dipindah ke dunia maya saat ini? Dari undangan acara, laporan kartu kredit, sampai komunikasi antara pengelola dan penyewa gedung sekarang semua serba daring. Sebagian perlu demi efisiensi dan efektivitas, tetapi banyak pasal yang cukup luring dipaksa daring tanpa opsi menolak.

Saya kadang jengkel karena demi hal secuil dari pihak tertentu harus mengunduh aplikasi baru. Bahwa ponsel dipadati aplikasi yang cuma dipakai sekali adalah risiko yang tak dipedulikan oleh banyak institusi publik dan komersial yang gatal sekali go digital. Teknologi sebenarnya netral, penggunaannyalah yang bisa berujung berkah atau bencana. Kadang, malah kriminal. Dulu harus bertatap muka untuk mencurangi dan menipu, sekarang duduk manis di belakang layar sudah cukup.

Mari bicara ketidaknyamanan dulu. Semua orang mengeluh nomor ponsel bocor ke telemarketing dari institusi keuangan, agen properti, penjaja pernak-pernik, sampai yayasan pencari donasi-menghasilkan pesan tak henti walaupun sudah santun ditampik. Jual-beli nomor telepon zaman pra-internet konon dilakukan dari, salah satunya, menyisiri buku tamu acara yang dibuang setelah acara selesai.

Sekarang, semua pendaftaran dan aplikasi meminta nomor ponsel dan KTP untuk konfirmasi dan kita tak pernah tahu sejauh apa pemilik acara serta aplikasi menghormati privasi. Apalagi dengan teknologi digital, mudah sekali memindahkan data dengan sekali klik.

Saya pernah mencecar seorang wiraniaga bergaya konsultan dari PT B tentang sumber nomor saya, dia akhirnya mengaku membawanya dari kantor sebelumnya, PT A, yang tipenya serupa. Padahal, semua nomor PT A sudah saya blok, tetap data saya berpindah tangan.

Keresahan publik lain sempat terjadi karena pemberi pinjaman uang secara daring (pinjol) memasang pemindai atas daftar kontak di ponsel peminjam. Jika peminjam mangkir, pinjol “meneror” semua orang di daftar kontak. Pekerja lepas seperti saya harus bekerja dengan banyak pihak, sulit dihindari nomor saya dimiliki mereka. Namun, apa urusan saya kalau mereka mengutang, apalagi sampai ditelepon penagih utang dengan suara tinggi membentak? Malas ribut tetapi juga tak sudi dirundung, saya bentak balik dan ancam laporkan ke kepolisian sebelum akhirnya mereka mundur.

Bagaimana kalau ketidaknyamanan naik menjadi korban kejahatan?

Setahun lalu ramai sniffing oleh arsip berbuntuk .apk yang disebarkan melalui pesan teks. Jika diklik, maling digital menguras dompet elektronik dan aplikasi perbankan. Saya pernah ditelepon seseorang yang mengaku dari perusahaan ekspedisi dan memaksa membuka arsip yang ia kirim, konon foto dari paket untuk saya, tetapi gelagatan saat saya tantang mendatangi kantornya untuk mengecek isi paket.

Ternyata modus serupa sekarang memakai tombol lihat (view). Sintingnya, bukan saja aplikasi keuangan dikuras, pesan teks pun dibajak untuk menipu kontak terdaftar. Ada teman yang jadi korban dibajak ponselnya, ada juga teman yang jadi korban ditipu oleh nomor yang ia kira milik koleganya.

Mudahnya memindahkan berita di media sosial, termasuk berita duka, juga ternyata membuka peluang penipuan. Tak lama setelah ayah saya wafat, kami mendapat telepon berdalih pengurusan dana pensiun. Kami tak teperdaya, tetapi saya kaget setelah cek berita dan melihat adanya modus serupa banyak terjadi dan kemungkinan bersumber dari kabar duka.

Saya ingat kabar duka yang kami keluarkan memang menyebut nama kami sekeluarga, tanggal wafat ayah saya, dan nomor telepon anggota keluarga. Dengan info sesedikit itu penipu tak ragu menyasar orang yang masih berduka pilu.

Beragam kejahatan bergentayangan di media sosial, mulai dari aplikasi pertemanan sampai kencan. Documenter The Tinder Swindler membeberkan seorang pria Israel yang memakai aplikasi kencan untuk menipu perempuan seantero Eropa dengan berpura-pura dikejar musuh dan memerlukan uang demi menyelamatkan diri. Dalam plot yang lebih sederhana, tiada minggu di Twitter Indonesia tanpa kisah perempuan yang kena tipu lelaki, secara finansial atau seksual, dengan berbagai dalih memancing iba.

Ranah seperti Instagram, Twitter, dan Youtube, di mana jumlah “disukai” dan “diunggah” kembali bisa dimonetisasi sehingga melahirkan “profesi” influencer dan buzzer, marak penipuan terhadap orang yang ingin membeli pengikut palsu demi mendongkrak profil. Sekarang penipuannya menyasar orang yang seolah dipekerjakan menekan tombol like atau repost, tetapi diminta menunaikan biaya administrasi sebelum honor dilunasi.

Bahkan, aplikasi pembelanjaan daring pun, terlepas perangkat keamanan untuk pembayaran dan pengiriman, tetapi meninggalkan banyak celah. Fitur pembayaran di tempat (COD), misalnya; banyak pembeli yang merasa dikecewakan hasil pembelian, menyerang kurir yang cuma mengantar, atau pembeli yang identitasnya dicatut oknum dipaksa membayar baran yang tak pernah ia pesan. Ini baru e-commerce, belum kalau nanti social commerce, seerti yang dimungkinkan Tiktok, meluas.

Pencatutan nama dan alamat, yang sekarang dipermudah dengan seringnya tanda identitas diminta melalui e-mail, Whatsapp dan aplikasi sudah merugikan jauh dari sekadar pembelian tak sahih. Minggu ini saja, seorang pejabat kelurahan di Jakarta Utara tertangkap memakai identitas anak buah untuk meminjam uang, sementara seisi desa di Garut dicatut identitasnya untuk pinjaman bank.

Sebagai mantan staf bank, saya jujur kaget dengan kemudahan membuka rekening bank digital setelah saya sendiri sempat tertipu pembelian barang melalui rekening serupa. Bila dulu pembukaan rekening memerlukan tatap muka di cabang dengan calon nasabah yang membawa identitas, sekarang bisa via daring tanpa bank cek silang kebenaran identitas yang disampaikan. Entah sudah sedemikian tinggi target akuisisi nasabah baru, atau sebegitu membara semangat digitalisasi pelayanan, sampai tercipta rekening perbankan daring berdasarkan KTP palsu yang dipakai sebagai penampung penipuan. Pemasukan dan pengeluaran dana mulus bahkan tanpa oknum pernah menginjakkan kaki di kantor bank mana pun.

Kita belum bicara tentang data Peduli Lindungi, paspor, atau pelanggan jasa publik lainnya yang jelas-jelas sudah diretas dan dibanderol harganya oleh peretas professional.

Sederet kasus di atas hanya puncak gunung es persoalan dunia maya Indonesia. Kita sudah punya Menteri Komunikasi dan Informatika yang mempertanyakan guna internet cepat dan tersangkut kasus korupsi tiang seluler, satu pun tak mampu menyelesaikan masalah di atas. Pertanyaannya, menteri teranyar, akankah memecahkan gunung es dengan solusi efektif sebelum 2024?

 

LYNDA IBRAHIM, Konsultan Bisnis dan Penulis

KOMPAS, MINGGU, 23 JULI 2023

Tidak ada komentar: