ETALASE
Serba Maya… Semarak Kejahatan
Apa sih yang tak dipindah
ke dunia maya saat ini? Dari undangan acara, laporan kartu kredit, sampai
komunikasi antara pengelola dan penyewa gedung sekarang semua serba daring. Sebagian
perlu demi efisiensi dan efektivitas, tetapi banyak pasal yang cukup luring
dipaksa daring tanpa opsi menolak.
Saya kadang jengkel
karena demi hal secuil dari pihak tertentu harus mengunduh aplikasi baru. Bahwa
ponsel dipadati aplikasi yang cuma dipakai sekali adalah risiko yang tak
dipedulikan oleh banyak institusi publik dan komersial yang gatal sekali go
digital. Teknologi sebenarnya netral, penggunaannyalah yang bisa berujung
berkah atau bencana. Kadang, malah kriminal. Dulu harus bertatap muka untuk
mencurangi dan menipu, sekarang duduk manis di belakang layar sudah cukup.
Mari bicara
ketidaknyamanan dulu. Semua orang mengeluh nomor ponsel bocor ke telemarketing
dari institusi keuangan, agen properti, penjaja pernak-pernik, sampai yayasan
pencari donasi-menghasilkan pesan tak henti walaupun sudah santun ditampik. Jual-beli
nomor telepon zaman pra-internet konon dilakukan dari, salah satunya, menyisiri
buku tamu acara yang dibuang setelah acara selesai.
Sekarang, semua
pendaftaran dan aplikasi meminta nomor ponsel dan KTP untuk konfirmasi dan kita
tak pernah tahu sejauh apa pemilik acara serta aplikasi menghormati privasi. Apalagi
dengan teknologi digital, mudah sekali memindahkan data dengan sekali klik.
Saya pernah mencecar
seorang wiraniaga bergaya konsultan dari PT B tentang sumber nomor saya, dia
akhirnya mengaku membawanya dari kantor sebelumnya, PT A, yang tipenya serupa. Padahal,
semua nomor PT A sudah saya blok, tetap data saya berpindah tangan.
Keresahan publik lain
sempat terjadi karena pemberi pinjaman uang secara daring (pinjol) memasang
pemindai atas daftar kontak di ponsel peminjam. Jika peminjam mangkir, pinjol “meneror”
semua orang di daftar kontak. Pekerja lepas seperti saya harus bekerja dengan
banyak pihak, sulit dihindari nomor saya dimiliki mereka. Namun, apa urusan
saya kalau mereka mengutang, apalagi sampai ditelepon penagih utang dengan
suara tinggi membentak? Malas ribut tetapi juga tak sudi dirundung, saya bentak
balik dan ancam laporkan ke kepolisian sebelum akhirnya mereka mundur.
Bagaimana kalau
ketidaknyamanan naik menjadi korban kejahatan?
Setahun lalu ramai sniffing
oleh arsip berbuntuk .apk yang disebarkan melalui pesan teks. Jika diklik,
maling digital menguras dompet elektronik dan aplikasi perbankan. Saya pernah
ditelepon seseorang yang mengaku dari perusahaan ekspedisi dan memaksa membuka
arsip yang ia kirim, konon foto dari paket untuk saya, tetapi gelagatan saat
saya tantang mendatangi kantornya untuk mengecek isi paket.
Ternyata modus serupa
sekarang memakai tombol lihat (view). Sintingnya, bukan saja aplikasi
keuangan dikuras, pesan teks pun dibajak untuk menipu kontak terdaftar. Ada teman
yang jadi korban dibajak ponselnya, ada juga teman yang jadi korban ditipu oleh
nomor yang ia kira milik koleganya.
Mudahnya memindahkan berita
di media sosial, termasuk berita duka, juga ternyata membuka peluang penipuan. Tak
lama setelah ayah saya wafat, kami mendapat telepon berdalih pengurusan dana pensiun.
Kami tak teperdaya, tetapi saya kaget setelah cek berita dan melihat adanya
modus serupa banyak terjadi dan kemungkinan bersumber dari kabar duka.
Saya ingat kabar duka
yang kami keluarkan memang menyebut nama kami sekeluarga, tanggal wafat ayah
saya, dan nomor telepon anggota keluarga. Dengan info sesedikit itu penipu tak
ragu menyasar orang yang masih berduka pilu.
Beragam kejahatan
bergentayangan di media sosial, mulai dari aplikasi pertemanan sampai kencan. Documenter
The Tinder Swindler membeberkan seorang pria Israel yang memakai
aplikasi kencan untuk menipu perempuan seantero Eropa dengan berpura-pura
dikejar musuh dan memerlukan uang demi menyelamatkan diri. Dalam plot yang
lebih sederhana, tiada minggu di Twitter Indonesia tanpa kisah perempuan yang
kena tipu lelaki, secara finansial atau seksual, dengan berbagai dalih
memancing iba.
Ranah seperti Instagram,
Twitter, dan Youtube, di mana jumlah “disukai” dan “diunggah” kembali bisa
dimonetisasi sehingga melahirkan “profesi” influencer dan buzzer,
marak penipuan terhadap orang yang ingin membeli pengikut palsu demi
mendongkrak profil. Sekarang penipuannya menyasar orang yang seolah
dipekerjakan menekan tombol like atau repost, tetapi diminta
menunaikan biaya administrasi sebelum honor dilunasi.
Bahkan, aplikasi
pembelanjaan daring pun, terlepas perangkat keamanan untuk pembayaran dan
pengiriman, tetapi meninggalkan banyak celah. Fitur pembayaran di tempat (COD),
misalnya; banyak pembeli yang merasa dikecewakan hasil pembelian, menyerang
kurir yang cuma mengantar, atau pembeli yang identitasnya dicatut oknum dipaksa
membayar baran yang tak pernah ia pesan. Ini baru e-commerce, belum
kalau nanti social commerce, seerti yang dimungkinkan Tiktok, meluas.
Pencatutan nama dan
alamat, yang sekarang dipermudah dengan seringnya tanda identitas diminta
melalui e-mail, Whatsapp dan aplikasi sudah merugikan jauh dari sekadar
pembelian tak sahih. Minggu ini saja, seorang pejabat kelurahan di Jakarta
Utara tertangkap memakai identitas anak buah untuk meminjam uang, sementara
seisi desa di Garut dicatut identitasnya untuk pinjaman bank.
Sebagai mantan staf bank,
saya jujur kaget dengan kemudahan membuka rekening bank digital setelah saya
sendiri sempat tertipu pembelian barang melalui rekening serupa. Bila dulu
pembukaan rekening memerlukan tatap muka di cabang dengan calon nasabah yang
membawa identitas, sekarang bisa via daring tanpa bank cek silang kebenaran
identitas yang disampaikan. Entah sudah sedemikian tinggi target akuisisi
nasabah baru, atau sebegitu membara semangat digitalisasi pelayanan, sampai
tercipta rekening perbankan daring berdasarkan KTP palsu yang dipakai sebagai
penampung penipuan. Pemasukan dan pengeluaran dana mulus bahkan tanpa oknum
pernah menginjakkan kaki di kantor bank mana pun.
Kita belum bicara tentang
data Peduli Lindungi, paspor, atau pelanggan jasa publik lainnya yang
jelas-jelas sudah diretas dan dibanderol harganya oleh peretas professional.
Sederet kasus di atas
hanya puncak gunung es persoalan dunia maya Indonesia. Kita sudah punya Menteri
Komunikasi dan Informatika yang mempertanyakan guna internet cepat dan
tersangkut kasus korupsi tiang seluler, satu pun tak mampu menyelesaikan
masalah di atas. Pertanyaannya, menteri teranyar, akankah memecahkan gunung es
dengan solusi efektif sebelum 2024?
LYNDA IBRAHIM, Konsultan Bisnis dan
Penulis
KOMPAS, MINGGU, 23 JULI 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar