Ramadhan dalam Nuansa Keragaman
Abbas Langaji
Dosen Institut Agama Islam Negeri
Palopo
Salah satu ungkapan
tahniah yang cukup populer setiap memasuki bulan Ramadhan adalah Marhaban ya
Ramadhan, yang dianggap sebagai terjemahan dari ucapan Selamat Datang Ramadhan.
Walaupun ungkapan tahniah
tersebut masih dipermasalahkan segelintir orang, terutama dasar skriptualnya,
ucapan itu memenuhi layar gadget melalui platform Whatsapp, Telegram,
Facebook, Instagram, dan lain-lain.
Ucapan “selamat datang
Ramadhan” mengesankan Ramadhan adalah “tamu”, padahal Ramadhan adalah bagian
dari waktu, tak berwujud, tak bergerak, tapi berlalu secara siklus.
Bahkan dalam pemikiran
filsafat Al-Razi 251 H (865 M)-313 H/925 M, waktu itu kekal! Satuan hitungan
waktu mulai detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, windu, dasa warsa,
abad, hingga millennium, dan seterusnya (bila masih ada), adalah satuan
hitungan.
Ramadhan bukan tamu, yang
mendatangi umat manusia (baca: umat Islam), melainkan satuan hitungan waktu
yang dalam interval waktu 29 atau 30 hari tersebut terdapat sejumlah keberkahan
yang tiada terhingga. Dengan demikian, maka ungkapan Marhaban ya Ramadhan
sejatinya ekspresi kebahagiaan kita begitu segera memasuki zona Ramadhan, zona
waktu yang penuh rahmat dan maghfirah tersebut.
Ramadhan di tahun Qamariyah
Ibadah mahdha
dalam Islam, misalnya puasa dan haji, ditetapkan berdasarkan sistem penanggalan
yang mengacu pada sistem Qamariyah (lunar system), yang bila
dibandingkan dengan sistem Syamsiyah (sonar) akan berselisih 10-11 hari
tiap tahun.
Bila memperhatikan bahwa
iklim dan musim berlangsung berdasarkan sistem sonar, setidaknya menghadirkan
hikmah luar biasa bagi umat Islam, khususnya di Indonesia.
Bila ibadah puasa untuk
pertama kalinya ditetapkan pada bulan Ramadhan yang saat itu sedang musim
panas, dan arena musim mengikuti sistem penanggalan matahari, bulan Ramadhan
setiap tahun maju 10-11 hari. Akibatnya, setiap siklus 33-34 tahun sekali
Ramadhan akan jatuh pada bulan yang sama.
Oleh karena itu, tercatat
dalam sejarah, akan terjadi dua kali Idul Fitri di tahun yang sama, misalnya
tahun 2000, ketika 1 Syawal 1420 jatuh pada tanggal 8 Januari, dan 1 Syawal
1421 jatuh pada 27 Desember.
Bila suatu ketika
Ramadhan berlangsung dalam musim kemarau, dalam 16-17 tahun berikutnya Ramadhan
akan berlangsung dalam suasana musim hujan, dan sebaliknya. Selain itu, suasana
berpuasa pun akan berlangsung dalam suasana Ramadhan yang berbarengan dengan
musim buah-buahan yang berbeda sepanjang siklus 33-34 tahun itu.
Dalam konteks Islam Indonesia,
suasana Ramadhan semakin menarik karena umat Islam berkesempatan menjalankan
ibadah puasa dan merayakan Idul Fitri dalam suasana yang beragam. Suatu ketika,
Ramadhan berdekatan waktu dengan perayaan hari besar agama lain yang umumnya
ditetapkan berdasarkan penanggalan Syamsiyah (sonar system).
Ramadhan 1445 Hijriah di
tahun 2024 ini “didahului” oleh perayaan hari Nyepi bagi umat Hindu. Pada pekan
ketiga Ramadhan, aka nada dua hari raya umat Kristiani, yaitu Wafatnya Yesus
Kristus dan Paskah.
Bila kita melihat ke
belakang, pernah suatu ketika hari raya Idul Fitri berada di antara perayaan
Natal (25 Desember) dan tahun baru (1 Januari), misalnya pada tahun 2000,
ketika 1 Syawal jatuh pada 27 Desember. Demikian pula Maulid Nabi Muhammad SAW,
pada tahun 2015 dan 1982, dilaksanakan dua kali, demikian pula tahun 1982 dan
setiap siklus 33 tahun ke belakang dan ke depan.
Tahun 2015 itu pula
menjadi semakin menarik karena peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW jatuh pada
24 Desember, berselisih satu hari dengan Natal, kelahiran Yesus Kristus, yang
dalam penanggalan Qamariyah yang lain bisa saja bertepatan jatuhnya di 25
Desember itu.
Ramadhan dan moderasi beragama
Indonesia struktur
penduduknya terdiri dari beragam agama, etnis, suku, golongan, dan budaya. Bahkan
di dalam tiap-tiap agama pun ada beragam mazhab dan aliran.
Praktik beragama dengan
mengedepankan perilaku moderat tanpa mengabaikan prinsip ajaran agama yang
dianutnya adalah suatu keniscayaan agar terpelihara semangat toleransi dan
merawat harmoni antar dan antara umat beragama.
Spirit moderasi beragama
yang perlu ditanamkan setiap Ramadhan adalah saling menghormati, menghargai,
dan memuliakan antar yang beribadah puasa dan yang tidak dengan cara demonstratif
makan-minum di hadapan orang yang sedang berpuasa, sebagai wujud perilaku
moderat. Begitu pula sebaliknya yang berpuasa agar tidak mudah tersinggung, apa
lagi marah, melihat di sekitarnya terdapat orang sedang makan dan minum.
Sikap moderat ini akan
saling menguatkan satu sama lain dalam rangka peningkatan penghayatan dan
pengamalan ajaran agama. Umat Islam, sebagai umat yang moderat, dalam
melaksanakan ibadah puasa yang tampak pada ketentuan pelaksanaan ibadah seperti
tidak ada unsur paksaan, tetapi menyesuaikan dengan kemampuan setiap hamba-Nya.
Demikian pula setiap Muslim wajib menghargai saudaranya sesama Muslim yang
sedang berpuasa.
Dalam konteks intra umat
beragama, sikap moderat dalam beragama ini tak menggugat ajaran agama dengan
menambah dan atau mengurangi, tetapi saling memahami dalam perbedaan dan
keragaman di ruang publik, saling menghormati dan menghargai jika ada perbedaan
dengan tetap mengacu pada prinsip dan kaidah ilmiah.
Dengan demikian, tidak
boleh atas nama moderasi beragama, setiap orang boleh berbicara dan berpendapat
tanpa mengikuti kaidah-kaidah agama, apalagi bila didukung oleh pengetahuan
tentang agama yang memadai. Dengan begitu, umat Islam Indonesia akan secara
nyata mempraktikkan sikap moderasi beragama dan sekaligus kontributor utama
penguatan moderasi moderasi beragama di Indonesia.
Siklus Ramadhan yang
merupakan sunnatullah itu bagi umat Islam dan bangsa Indonesia buka lagi
sekadar ujian tentang arti penting moderasi beragama dalam suatu tatanan
masyarakat yang kompleks dan heterogen, melainkan mengulang sejarah kesuksesan
umat Islam dan bangsa Indonesia tentang keberhasilan merawat harmoni dalam
keberagaman.
Bukankah sejarah sudah
menunjukkan betapa rakyat Indonesia sudah terbiasa hidup dan berada dalam
suasana keragaman dalam harmoni? Demikian pula Ramadhan dalam suasana
berdekatan dengan perayaan atau peringatan hari besar agama lain mengharuskan
setiap Muslim yang berpuasa untuk menghargai penganut agama yang berbeda.
KOMPAS, SABTU, 23 MARET 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar