Halaman

Sabtu, 23 Maret 2024

Ramadhan dalam Nuansa Keragaman

 

Ramadhan dalam Nuansa Keragaman

Abbas Langaji

Dosen Institut Agama Islam Negeri Palopo

 

Salah satu ungkapan tahniah yang cukup populer setiap memasuki bulan Ramadhan adalah Marhaban ya Ramadhan, yang dianggap sebagai terjemahan dari ucapan Selamat Datang Ramadhan.

Walaupun ungkapan tahniah tersebut masih dipermasalahkan segelintir orang, terutama dasar skriptualnya, ucapan itu memenuhi layar gadget melalui platform Whatsapp, Telegram, Facebook, Instagram, dan lain-lain.

Ucapan “selamat datang Ramadhan” mengesankan Ramadhan adalah “tamu”, padahal Ramadhan adalah bagian dari waktu, tak berwujud, tak bergerak, tapi berlalu secara siklus.

Bahkan dalam pemikiran filsafat Al-Razi 251 H (865 M)-313 H/925 M, waktu itu kekal! Satuan hitungan waktu mulai detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, windu, dasa warsa, abad, hingga millennium, dan seterusnya (bila masih ada), adalah satuan hitungan.

Ramadhan bukan tamu, yang mendatangi umat manusia (baca: umat Islam), melainkan satuan hitungan waktu yang dalam interval waktu 29 atau 30 hari tersebut terdapat sejumlah keberkahan yang tiada terhingga. Dengan demikian, maka ungkapan Marhaban ya Ramadhan sejatinya ekspresi kebahagiaan kita begitu segera memasuki zona Ramadhan, zona waktu yang penuh rahmat dan maghfirah tersebut.

Ramadhan di tahun Qamariyah

Ibadah mahdha dalam Islam, misalnya puasa dan haji, ditetapkan berdasarkan sistem penanggalan yang mengacu pada sistem Qamariyah (lunar system), yang bila dibandingkan dengan sistem Syamsiyah (sonar) akan berselisih 10-11 hari tiap tahun.

Bila memperhatikan bahwa iklim dan musim berlangsung berdasarkan sistem sonar, setidaknya menghadirkan hikmah luar biasa bagi umat Islam, khususnya di Indonesia.

Bila ibadah puasa untuk pertama kalinya ditetapkan pada bulan Ramadhan yang saat itu sedang musim panas, dan arena musim mengikuti sistem penanggalan matahari, bulan Ramadhan setiap tahun maju 10-11 hari. Akibatnya, setiap siklus 33-34 tahun sekali Ramadhan akan jatuh pada bulan yang sama.

Oleh karena itu, tercatat dalam sejarah, akan terjadi dua kali Idul Fitri di tahun yang sama, misalnya tahun 2000, ketika 1 Syawal 1420 jatuh pada tanggal 8 Januari, dan 1 Syawal 1421 jatuh pada 27 Desember.

Bila suatu ketika Ramadhan berlangsung dalam musim kemarau, dalam 16-17 tahun berikutnya Ramadhan akan berlangsung dalam suasana musim hujan, dan sebaliknya. Selain itu, suasana berpuasa pun akan berlangsung dalam suasana Ramadhan yang berbarengan dengan musim buah-buahan yang berbeda sepanjang siklus 33-34 tahun itu.

Dalam konteks Islam Indonesia, suasana Ramadhan semakin menarik karena umat Islam berkesempatan menjalankan ibadah puasa dan merayakan Idul Fitri dalam suasana yang beragam. Suatu ketika, Ramadhan berdekatan waktu dengan perayaan hari besar agama lain yang umumnya ditetapkan berdasarkan penanggalan Syamsiyah (sonar system).

Ramadhan 1445 Hijriah di tahun 2024 ini “didahului” oleh perayaan hari Nyepi bagi umat Hindu. Pada pekan ketiga Ramadhan, aka nada dua hari raya umat Kristiani, yaitu Wafatnya Yesus Kristus dan Paskah.

Bila kita melihat ke belakang, pernah suatu ketika hari raya Idul Fitri berada di antara perayaan Natal (25 Desember) dan tahun baru (1 Januari), misalnya pada tahun 2000, ketika 1 Syawal jatuh pada 27 Desember. Demikian pula Maulid Nabi Muhammad SAW, pada tahun 2015 dan 1982, dilaksanakan dua kali, demikian pula tahun 1982 dan setiap siklus 33 tahun ke belakang dan ke depan.

Tahun 2015 itu pula menjadi semakin menarik karena peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW jatuh pada 24 Desember, berselisih satu hari dengan Natal, kelahiran Yesus Kristus, yang dalam penanggalan Qamariyah yang lain bisa saja bertepatan jatuhnya di 25 Desember itu.

Ramadhan dan moderasi beragama

Indonesia struktur penduduknya terdiri dari beragam agama, etnis, suku, golongan, dan budaya. Bahkan di dalam tiap-tiap agama pun ada beragam mazhab dan aliran.

Praktik beragama dengan mengedepankan perilaku moderat tanpa mengabaikan prinsip ajaran agama yang dianutnya adalah suatu keniscayaan agar terpelihara semangat toleransi dan merawat harmoni antar dan antara umat beragama.

Spirit moderasi beragama yang perlu ditanamkan setiap Ramadhan adalah saling menghormati, menghargai, dan memuliakan antar yang beribadah puasa dan yang tidak dengan cara demonstratif makan-minum di hadapan orang yang sedang berpuasa, sebagai wujud perilaku moderat. Begitu pula sebaliknya yang berpuasa agar tidak mudah tersinggung, apa lagi marah, melihat di sekitarnya terdapat orang sedang makan dan minum.

Sikap moderat ini akan saling menguatkan satu sama lain dalam rangka peningkatan penghayatan dan pengamalan ajaran agama. Umat Islam, sebagai umat yang moderat, dalam melaksanakan ibadah puasa yang tampak pada ketentuan pelaksanaan ibadah seperti tidak ada unsur paksaan, tetapi menyesuaikan dengan kemampuan setiap hamba-Nya. Demikian pula setiap Muslim wajib menghargai saudaranya sesama Muslim yang sedang berpuasa.

Dalam konteks intra umat beragama, sikap moderat dalam beragama ini tak menggugat ajaran agama dengan menambah dan atau mengurangi, tetapi saling memahami dalam perbedaan dan keragaman di ruang publik, saling menghormati dan menghargai jika ada perbedaan dengan tetap mengacu pada prinsip dan kaidah ilmiah.

Dengan demikian, tidak boleh atas nama moderasi beragama, setiap orang boleh berbicara dan berpendapat tanpa mengikuti kaidah-kaidah agama, apalagi bila didukung oleh pengetahuan tentang agama yang memadai. Dengan begitu, umat Islam Indonesia akan secara nyata mempraktikkan sikap moderasi beragama dan sekaligus kontributor utama penguatan moderasi moderasi beragama di Indonesia.

Siklus Ramadhan yang merupakan sunnatullah itu bagi umat Islam dan bangsa Indonesia buka lagi sekadar ujian tentang arti penting moderasi beragama dalam suatu tatanan masyarakat yang kompleks dan heterogen, melainkan mengulang sejarah kesuksesan umat Islam dan bangsa Indonesia tentang keberhasilan merawat harmoni dalam keberagaman.

Bukankah sejarah sudah menunjukkan betapa rakyat Indonesia sudah terbiasa hidup dan berada dalam suasana keragaman dalam harmoni? Demikian pula Ramadhan dalam suasana berdekatan dengan perayaan atau peringatan hari besar agama lain mengharuskan setiap Muslim yang berpuasa untuk menghargai penganut agama yang berbeda.

 

KOMPAS, SABTU, 23 MARET 2024

Tidak ada komentar: