Emak dulu ingin
anak-anaknya sekolah. Dia sendiri tak pernah sekolah. Jadi, ia memiliki semacam
“dendam”, bahwa anak-anaknya harus sekolah.
Tak ada sekolah di kampung kami saat anak laki-laki Emak memasuki usia sekolah.
Emak memutuskan untuk mengirim anaknya ke kampung lain, jaraknya 3 hari
berkayuh sampan dari kampung kami. Emak rela berkayuh 3 hari untuk sekedar
mengirim anaknya masuk SD.
Kelak kampung kami
punya sekolah. Orang-orang bergotong royong membangun sekolah. Ayah termasuk
salah satu yang memotori pembangunan sekolah ini. Guru didatangkan, digaji
dengan sumbangan yang dikumpulkan sekadarnya dari orang-orang kampung. Guru ini
kelak menjadi menantu Ayah.
Saat anaknya tamat SD,
Emak mengirim anaknya sekolah ke kota. Tindakan itu termasuk yang pertama kali
terjadi dalam sejarah kampung kami. Anak-anak Emak yang lain mendapat giliran.
Begitu tamat SD, dikirim melanjutkan sekolah ke kota.
Langkah Emak ini
kemudian diikuti banyak orang kampung. Mereka mengirim anak-anaknya sekolah ke
kota setamat mereka dari SD. Banyak dari mereka yang berhasil. Macam-macam
jadinya setelah mereka sekolah ke kota.
Ada yang jadi guru, pegawai pemerintah, karyawan swasta, atau jadi pengusaha.
Banyak dari mereka yang berhasil membebaskan diri dan orang tua dari belitan
kemiskinan.
Tapi tak semua
berhasil. Ada yang putus sekolah. Ada yang hanya menghamburkan harta orang
tuanya yang tak seberapa di kota. Mereka hanya mendapat gaya hidup orang kota
secara semu, gagal memanfaatkan kota sebagai tempat belajar.
Sebagian kembali ke kampung dengan tangan hampa. Ada pula yang bertahan di
kota, hidup sebagai orang pinggiran.
Apa yang membedakan
semua ini? Pola pikir! Waktu mengirim kami sekolah, Emak tak pernah mengajarkan
bahwa sekolah akan mengubah segalanya.
“Bukan sekolah yang akan mengubah kau, tapi tanganmu!” itu pesan Emak selalu.
Artinya, sekolah hanyalah tempat belajar. Tapi hanya orang yang memang siap
belajar yang akan dapat belajar. “Masuk sekolah itu, buka mata buka telinga,
lapangkan pikiran. Kalau masuk sekolah sekadar ulang alik pulang pergi, isi
kepala kau akan tetap kosong.”
Ada satu lagi yang
sering diomelkan Emak, soal tipu daya kota. “Jangan kau lihat macam megah saja
kota itu. Tipu daya semua itu. Kau tengok anak-anak orang kaya, lalu
kau pun nak berlagak macam mereka. Itulah awal kehancuran kau. Ingat
selalu, kita ini orang miskin. Kita baru nak berjuang untuk berhenti jadi orang
miskin. Jangan tipu diri dengan berlagak macam orang kaya,” kata Emak
berulang-ulang.
Tiba masa libur
sekolah, tak ada kesempatan berleha-leha ke kota. Pulang kampung. Apa dibuat?
Kerja kebun.
“Dah puas lah kau melenakan badan selama sekolah. Waktu libur, gerakkan badan
itu, supaya jangan jadi daging mati.”
Pernah suatu saat waktu libur sekolah, setiap hari saya kerja di kebun. Bahkan
paman yang tinggal agak jauh dari rumah kami pun tak tahu bahwa saya pulang. Berbeda betul dengan
beberapa anak kampung yang lain. Kalau mereka pulang musim libur, jadi riuh
rendahlah kampung oleh polah mereka. Macam-macam saja perayaan yang mereka
buat. Mereka pulang laksana para pembesar negeri yang sedang pulang berlibur.
Pesan Emak itu abadi.
Waktu saya hendak berangkat kuliah ke Yogya, pesan itu diulang-ulang terus,
sampai saya sudah menjinjing tas hendak menuju ke bandara.
Di Yogya saya saksikan hal-hal yang sama. Banyak anak orang kaya dikirim
sekolah. Lagaknya membuat heboh. Kalau tiba masa liburan, kami pulang
bersama-sama. Selama perjalanan, kapal jadi riuh rendah oleh polah mereka. Tapi
begitulah. Tak sedikit dari mereka ini yang kemudian gagal. Pulang kampung
dengan tangan hampa.
Jadi, pelajaran
penting dari Emak, sekolah itu penting. Tapi yang lebih penting lagi adalah
menyiapkan atau membangun pola pikir. Pola pikir itu yang akan menentukan
tingkah laku. Ia akan menentukan gagal atau suksesnya kita.
Tulisan Hasanudin Abdurakhman lain bisa dibaca juga dihttp://abdurakhman.com
Sumber
: www.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar