Halaman

Selasa, 08 Agustus 2017

Demokratisasi Pendidikan

Demokratisasi Pendidikan

Terma ‘demokrasi’ berasal dari bahasa Yunani, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Jadi, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan di tangan rakyat. Dalam perkembangannya, demokrasi bermakna lebih spesifik, yaitu fungsi kekuasaan politik sebagai sarana dan prasarana untuk memenuhi kepentingan rakyat. Konsep demokrasi menumbuhkan keyakinan bahwa unsur-unsur rakyat senantiasa menjadi factor utama yang dilibatkan di dalam pemerintahan. Oleh karena itu, demokrasi mendapat sambutan yang luar biasa di hati sanubari rakyat, karena demokrasi lebih berpihak kepada rakyat. Dengan demokrasi, rakyat berharap masa depan ditentukan oleh dan untuk rakyat.
Demokratisasi artinya proses menuju demokrasi. Demokratisasi pendidikan mengandung arti, proses menuju demokrasi di bidang pendidikan. Menurut Zamroni, dalam kerangka reformasi pendidikan, demokratisasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Pasalnya, melalui proses inilah diharapkan dapat muncul manusia-manusia yang berwatak demokratis.1 Tujuan demokratisasi pendidikan adalah menghasilkan lulusan yang merdeka, berpikir kritis, dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik demokrasi. Dengan demikian, demokratisasi pendidikan berguna untuk menyiapkan peserta didik agar terbiasa untuk bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat secara bertanggung jawab; terbiasa mendengar dan menghargai pendapat orang lain; terbiasa bergaul dengan rakyat; ikut merasa memiliki; sama-sama merasakan suka-duka bersama masyarakatnya; dan mempelajari kehidupan masyarakat. Harapannya adalah, kelak jika para peserta didik – sebagai generasi penerus – menjadi pemimpin bangsa, maka ia akan tetap  berpegang pada demokratisasi pendidikan yang telah dialaminya, yang menanamkan nilai-nilai kepadanya bahwa: seorang penguasa tidak boleh tercabut dari budaya dan rakyatnya; seorang pemimpin harus senantiasa mengadakan kontak dengan rakyatnya, peka terhadap tuntutan hati nurani rakyatnya, menjalani suka dan duka bersama, menghilangkan kesedihan dan penderitaan akibat kerugian-kerugian yang dialami rakyatnya.
Demokratisasi pendidikan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu demokrasi pendidikan dan pendidikan demokrasi. Dalam pandangan Kartini Kartono, pendidikan pada hakikatnya merupakan cerminan kondisi negara dan kekuatan sosial-politik yang sedang berkuasa. Dengan demikian, pendidikan merupakan refleksi dari orde penguasa yang ada.2 Masalah pendidikan akan menjadi masalah politik apabila pemerintah ikut terlibat di dalamnya. Di negara otoriter dan negara totaliter, pemerintah akan membatasi kebebasan individu dengan mengeluarkan kebijaksanaan pendidikan yang uniform bagi semua anak didik. Bagi negara-negara semacam itu, pendidikan adalah kekuatan politik untuk mendominasi rakyat. Pemerintah secara mutlak mengatur pendidikan, sebab bagi pemerintah, tujuan pendidikan adalah menjadikan rakyat sebagai alat negara.3
Dalam rangka reformasi pendidikan, diperlukan pelaksanaan asas demokrasi dalam pendidikan, sehingga pendidikan tidak menjadi alat penguasa. Hak rakyat maupun hak masyarakat diberikan secara penuh sehingga dapat ikut serta menentukan arah dan langkah kebijakan pendidikan nasional. Semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan diharapkan dapat berpartisipasi dalam penentuan kebijakan pendidikan. Itulah yang oleh Kartini Kartono disebut sebagai demokrasi pendidikan.4 Jadi, demokrasi pendidikan lebih bersifat politis, karena menyangkut kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan di tingkat nasional.
Adapun pendidikan demokrasi berkaitan dengan bagaimana proses pendidikan dilaksanakan, baik di tingkat pusat maupun lokal. Sistem pendidikan yang selalu mengandalkan kekuasaan pendidik tanpa memperhatikan pluralism subjek didik, sudah saatnya harus diinovasi agar tercipta civil society. Dalam proses pembelajaran di kelas, pendidikan demokrasi dapat diarahkan kepada pembaruan kultur dan norma keadaban. Dalam proses pembelajaran yang demokratis, fungsi pendidik adalah sebagai fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator. Sebagai fasilitator, pendidik harus member kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan sendiri makna informasi yang diterimanya. Sebagai dinamisator, pendidik harus berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang dialogis dan berorientasi pada proses. Sebagai mediator, pendidik harus memberikan rambu-rambu atau arahan agar peserta didik bebas belajar. Sebagai motivator, pendidik harus selalu memberikan dorongan agar peserta didiknya bersemangat dalam menuntut ilmu.
Paulo Freire menyarankan bahwa untuk mencapai demokratisasi pendidikan, perlu diciptakan kebebasan interaksi antara pendidik dan peserta didiknya dalam proses belajar di kelas.5 Dalam konteks tersebut, proses belajar harus diiring agar mengarah kepada suasana dialog yang sehat dan bertanggung jawab antara pendidik dengan peserta didik. Interaksi pendidik-peserta didik ini berlangsung dalam nuansa egaliterdan setara.
Di samping unsure kebebasan dalam berinteraksi, demokratisasi pendidikan juga mensyaratkan komunikasi yang dialogis dengan dua aspek yang inheren: (i) komunikasi berlangsung ke segala arah, dan bukan hanya bersifat satu arah yaitu dari pendidik ke peserta (top-down); (ii) arus komunikasi berlangsung secara seimbang, yakni antara pendidik dan peserta didik dan juga antar peserta didik. Dari sisi pendidik, komunikasi model top-down cenderung menimbulkan kelelahan. Sedangkan dari sisi peserta didik, model ini dirasakan kurang memacu untuk lebih cepat memahami, pasif, bosan, mengantuk, dan yang lebih parah, peserta didik justru tidak mendapatkan informasi yang baru. Dalam model seperti itu, pendidik dipandang sebagai satu-satunya sumber belajar dengan otoritas yang sangat tinggi, dan cenderung menganggap otak peserta didik bak tong kosong yang siap diisi penuh dengan berbagai informasi darinya. Sebaliknya, dengan model komunikasi tiga arah (pendidik - peserta didik - antar peserta didik), maka sumber belajar bukan hanya terletak pada pendidik melainkan juga pada peserta didik.
Selama ini, proses pendidikan nasional terkesan menganut asas subject-matter oriented, yaitu bagaimana memberi peserta didik begitu banyak informasi kognitif dan motorik yang kadang-kadang justru kurang relevan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan psikologis mereka. Dengan orientasi seperti itu, memang dapat dihasilkan lulusan yang pandai, cerdas, dan terampil. Akan tetapi, sebagai akibat kurangnya perhatian pada ranah afeksi, kepandaian dan kecerdasan intelektual tersebut kurang diimbangi dengan kecerdasan emosional. Padahal ranah afeksi juga berperan penting dalam membentuk perilaku peserta didik. Oleh karenanya, untuk mendukung pelaksanaan demokratisasi pendidikan sekarang ini, kini saatnya untuk mengubah asas subject matter oriented menjadi student oriented, yakni yang lebih menekankan pada pertumbuhan, perkembangan, dan kebutuhan peserta didik secara utuh, baik lahir maupun batin. Dalam pendidikan, kecerdasan otak memang penting, tetapi kecerdasan emosional juga tidak kalah pentingnya.
Suasana pendidikan yang demokratis akan mendorong pertumbuhan iklim egalitarian (kesetaraan atau kesamaan derajat dalam kebersamaan) antar pendidik dan peserta didik. Pengajaran tidak melulu bersifat top-down, namun perlu diimbangi dengan bottom-up. Pemaksaan kehendak dari pendidik tidak perlu terjadi lagi. Yang lebih didorong adalah tawar-menawar di antara kedua belah pihak dalam menentukan tujuan, materi, media, dan evaluasi hasil belajarnya. Dengan pola komunikasi struktural dan kultural antara pendidik dan peserta didik seperti ini, maka akan terjadi interaksi yang sehat, wajar, dan bertanggung jawab. Peserta didik boleh saja berpendapat, berperasaan, dan bertindak sesuai dengan langkahnya sendiri yang mungkin saja berbeda dengan pendidiknya sepanjang hal itu didasarkan pada argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah. Peserta didik bukan saja memahami demokrasi (how to learn), tetapi juga mempraktikkannya dalam kehidupan sosial (how to live together), melalui latihan berdebat, menghargai pendapat orang lain, serta menghormati aturan hukum yang ditetapkan dengan jalan mematuhinya.
Demikianlah, upaya demokratisasi pendidikan merupakan cara yang paling strategis bagi pembentukan civil society, suatu tatanan masyarakat yang ditandai antara lain oleh penekanan kuat pada nilai-nilai demokrasi. Secara sederhana, demokratisasi pendidikan dapat diartikan sebagai proses pendidikan yang dilaksanakan sesuai dengan cita-cita dan kehendak civil society. Demokratisasi pendidikan, pada tingkat nasional maupun lokal, seyogyanya diarahkan menuju reformasi pendidikan nasional. Untuk tujuan itu, setidaknya ada empat orientasi pendidikan yang perlu diperbaiki. Pertama, peserta didik tidak lagi dipandang sebagai objek pendidikan, tapi sebagai subjek pendidikan. Kedua, fungsi pendidik tidak lagi sebagai sumber utama yang mentransfer ilmu pengetahuannya kepada anak didik. Guru harus lebih didorong untuk menjadi fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator. Ketiga, orientasi pendidikan tidak lagi difokuskan pada materi pendidikan yang justru membebani anak didik, melainkan pada problem-solving oriented, yaitu bagaimana anak didik dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Keempat, manajemen pendidikan yang semula bersifat sentralistik top-down, harus segera didorong untuk mengedepankan aspek bottom-up dalam aras desentralisasi.

1 Zamroni, Pendidikan untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society (Cet. I; Yogyakarta: Bigraf, t.t.). h. 10-11.
2 Kartini Kartono, Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional: Beberapa Kritik dan Sugesti (Cet. I; Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), h. 77.
3 Ibid., h. 78.
4 Ibid., h. 196-197.
5 Paulo Freire, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan (Cet. I; Jakarta: Gramedia, 1984), h. 24.

Idi, Abdullah dan Suharto, Toto, 2006, Revitalisasi Pendidikan Islam, Kelompok Penerbit Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.

Tidak ada komentar: