Halaman

Minggu, 18 Februari 2024

Bersih Tanpa Mencemari

 

Tri Suhartini

Bersih Tanpa Mencemari

Tri Suhartini (51) membuktikan, sarana kebersihan diri, seperti sabun dan sampo, bisa diproduksi tanpa bahan kimia pabrikan dan pembungkus yang bisa mencemari lingkungan. Atas idealism dan karyanya itu, ia diganjar penghargaan internasional.

Dahono Fitrianto

 

Alumnus Jurusan Kimia Universitas Diponegoro, Semarang, itu, awalnya bekerja menerapkan ilmunya di sejumlah perusahaan kimia multinasional di seputaran Jakarta. Dia, antara lain, membuat lapisan ceramic coating.

Namun pada 2017, seseorang yang sudah ia anggap sebagai orangtuanya menyuruhnya berhenti dan pulang ke kampung halamannya di Magelang. “Orangtua saya sudah lama meninggal, jadi saya anggap sesepuh ini sebagai orangtua sendiri. Beliau berkata kepada saya, ‘ngapain di sana, nyugihke Londo (memperkaya orang asing). Pulang saja. Kamu harus menjadi lebih berguna bagi lebih banyak orang’,” tutur Tri, saat ditemui di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (1/2/2024).

Saran orangtua itu benar-benar dia turuti. Awalnya dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia pun masuk dunia pesantren dan mengajari para santrinya berbagai keterampilan hidup, seperti bercocok tanam.

“Dari ngajari para santri itu lama-lama jadi tahu ada bahan-bahan di sekitar kita yang bisa dibuat sarana kebersihan diri, seperti sabun dan sampo. Sampo, misalnya, dibuat dari lerak (Sapindus rarak), buah-buahan kecil yang memiliki kandungan saponin tinggi,” ujarnya.

Ia juga memanfaatkan berbagai bahan yang ada di sekitarnya, seperti minyak kelapa, cem-ceman (rendaman) daun urang-aring, daun mangkokan (Polyscias scutellaria), pandan, rosemary, sereh, dan citronella.

Lama-lama kegiatan itu dikembangkan menjadi industri skala kecil. Pada 2018, Tri mendirikan perusahaan kecil bernama Ecovivo Daya Lestari untuk memayungi produksi sampo dan sabun dengan kearifan lokalnya. Namun, ia masih gelisah karena produknya masih menyisakan sampah yang bisa mencemari lingkungan.

“Seperti sampo cair, misalnya, masih butuh kemasan botol yang lagi-lagi bahannya dari plastik. Sampah kemasan ini tetap bisa mencemari lingkungan,” kenang Tri.

Tanpa sampah

Ia lalu memutar otak dan keluar dengan ide membuat sampo bentuk padat. Tri juga mencari bahan pembungkus yang tidak terbuat dari plastik atau bahan yang sulit diurai oleh alam lainnya.

Ia menemukan daun pisang yang sudah dikeringkan (klaras) sebagai pembungkus dalam dan lapisan batang gedebok pisang yang dikeringkan sebagai pembungkus luar. Ada juga anyaman pandan yang dipakai untuk bungkus luar ini.

“Intinya bungkus yang punya porositas dan bisa nahan kelembaban, dan tidak mencemari lingkungan karena bisa diuraikan oleh tanah,” katanya.

Tri semaksimal mungkin memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitar tempat tinggalnya untuk melibatkan para petani dan perajin lokal guna menanam dan memproduksi bahan maupun bungkusnya sehingga terjadi gelombang ekonomi sirkuler.

Tahun 2018, ia masih membuat semuanya sendiri. Setahun kemudian, dia sudah melibatkan tenaga kerja dari luar. Saat ini, Tri mempekerjakan dua tenaga tetap untuk memproduksi produk-produknya. Namun, di belakang mereka, ada para petani yang membuat minyak kelapa, menanam kecombrang, citronella, dan sebagainya. “Saat ini ada setidaknya tujuh petani yang saya libatkan dan tiga ibu-ibu tetangga untuk membuat kemasannya,” papar Tri.

Usahanya berkembang pesat pada 2019, sampai dia memiliki situs sendiri untuk memasarkan produk-produknya. Di luar itu, ia bekerja sama dengan peritel produk kerajinan organik di Yogyakarta. Berbagai pameran pun ia ikuti sehingga produk-produknya mulai dikenal baik di dalam maupun luar negeri. “Konsumen di Yogyakarta juga kebanyakan turis asing,” ujarnya.

Produknya pun berkembang, tak hanya sabun dan sampo, tetapi juga teh herbal dan limbah teh herbal yang ia buat menjadi bahan isian rokok tanpa tembakau. Sisa-sisa bahan herbal untuk teh, seperti tulang-tulang daun sereh, citronella, mint, kecombrang, dan residu ekoenzim ia kumpulkan untuk kemudian dilinting dengan kertas rokok menjadi rokok tanpa nikotin.

Pada 2021, produknya untuk pertama kali dikirim ke luar negeri. Sampo batangan dan teh herbal sempat dikirim ke Singapura atas dukungan Asia Business Trade Association. Tahun berikutnya, produknya kembali dikirim ke Singapura dan Belgia dalam program yang disponsori Bank Indonesia.

Nilai berkelanjutan

Menurut Tri, pasar produknya menurun setelah pandemi. “Pasar offline (luring) dibanjiri produk-produk dengan harga lebih murah. Sementara untuk jualan online (daring) harus pasang iklan daring pula,” jelasnya.

Saat ini dia masih memproduksi 300 batang sabun dan sampo dan 100 bungkus teh herbal tiap bulan. untuk rokok herbal, baru dia mulai tahun lalu dengan jumlah sekitar 20 persen dari produk teh herbalnya.

Mei 2023, produknya yang dinilai kompetitif secara ekonomi, memiliki nilai-nilai berkelanjutan, dan memiliki pengaruh sosial maupun iklim terpilih mendapat penghargaan Good Design Indonesia dari Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan.

Pada Agustus 2023, Ecovivo meraih penghargaan Good Design Award International untuk kategori sanitari yang diselenggarakan Japan Institute of Design Promotion di Jepang. Ia terpilih di antara 5.000 peserta dari 25 negara. Tri mengakui, penghargaan ini membuka jaringan relasi dan peluang baru untuk kian memperkenalkan dan memperluas distribusi produknya.

Namu, Tri tak berambisi membuat produk-produknya sebagai produk massal. Hingga hari ini, dia masih menggunakan modal sendiri untuk berproduksi dan mengaku masih takut mengambil kreit dari bank. “Saya tak akan menyaingi Unilever dan P&G. saya ingin bertumbuh tidak berdasar kapasitas produksi yang tinggi. Yang penting membuka pasar dan menyiapkan komunitas untuk memproduksi saat demand pasar meningkat,” ungkapnya.

Tri justru berniat agar bisnisnya suatu saat memiliki semacam pesantren ekologi, di mana dia bisa berbagi keterampilan, kearifan lokal, dan ekonomi sirkuler. “Ini tujuan ke depan. Sebuah pesantren yang inklusif. Kapasitas produksi harus berkembang bersama berkembangnya lingkaran masyarakat yang bergerak di ekonomi sirkuler dari pesantren ekologi ini,” tandasnya.

 

Sosok

KOMPAS, SABTU, 17 FEBRUARI 2024

Tidak ada komentar: