Dimensi etis (akhlaqi) di dalam
ajaran Islam memiliki kedudukan tinggi, meski dalam perjalanannnya,
dimensi hukum lebih mendominasi pikiran kebanyakan kaum muslim. Padahal
semestinya tidaklah demikian, sebab nabi Muhammad saw jelas-jelas telah
mendaku dirinya sebagai utusan Allah yang diberi misi menyempurnakan
akhlak yang mulia (innama bu’itstu li utammima makarim al-akhlaq). Karenanya, di dalam al-Qur`an ayat-ayat hukum kurang lebih hanya 500 ayat.
Menurut hemat saya, dimensi etis
merupakan titik temu antar agama. Akidah dan syariat setiap agama boleh
saja berbeda, tetapi ajaran nilai-nilai etisnya masih dapat
dipertemukan. Misalnya, ajaran tentang kasih sayang, bersikap jujur, dan
amanah. Tak ada satu agama pun yang menolak ajaran-ajaran tersebut.
Dus, dengan demikian pada
dasarnya ajaran etis bisa dijadikan pintu masuk untuk membangun
nilai-nilai toleransi antar umat beragama. Sebab, nilai-nilai toleransi
sangatlah mendasar untuk menciptakan kehidupan yang rukun dan damai
sebagaimana dicita-citakan Islam.
Kesadaran akan nilai-nilai etis di dalam
ajaran Islam telah membuat para ulama klasik menghimpun ajaran Islam
tentang hal itu. Salah satunya ulama salaf yang mengumpulkan pelbagai
hadits yang terkait dengan ajaran Islam mengenai moralitas adalah Ibnu
Abi ad-Dunya melalui kitabnya yang bertitel Makarim al-Akhlaq.
Ibnu Abi ad-Dunya dikenal sebagai pakar
hadits pada zamanya bahkan sampai sekarang. Di samping dikenal sebagai
ahli hadits, Ibnu Abi ad-Dunya juga dikenal sebagai seorang pemberi
petuah ulung. Pada saat memberikan petuahnya, ia bisa membuat
pendengarnya tertawa, tetapi sebaliknya juga membuat pendengarnya
menangis tersendu-sendu.
Nama panjang Ibnu Abi ad-Dunya ialah Abu
Bakr Abdullah bin Muhammad bin Ubaid Ibnu Abi ad-Dunya, dan lahir di
Baghdad pada tahun 201 H / 823 M dan meninggal pada tahun 281 H / 894 M.
Ia hidup pada masa kekhalifahan Abbasiyah dan mengajarkan etika kepada
khalifah al-Mu’tadhid Billah sewaktu masih remaja dan anaknya, yaitu
Khalifah al-Muktafi Billah.
Intelektual kelahiran Baghdad yang satu
sungguh luar biasa produktifitasnya dalam menulis. Setidaknya ada
sekitar 164 karya yang berhasil diselesaikan. Di antaranya ialah kitab Makarim al-Akhlaq al-Faraj ba’d asy-Syiddah, Dzamm al-Malahi, asy-Syukr, Fi ‘Aza`ib al-Khalq, al-Isyraf fi Manazil al-Asyraf, Dzamm ad-Dunya, dan Akhbar Quraisy.
Kitab Makarim al-Akhlaq yang
ditulis Ibnu Abi ad-Dunya memuat kurang lebih 487 petuah-petuah moral,
baik yang dinukil dari Nabi maupun para sahabat, dan disertai dengan
menyebutkan tramisinya (sanad). Semua petuah etis tersebut
dibagi menjadi 10 bab. Di antaranya ialah bab tentang akhlak atau etika
yang baik, malu, kejujuran, menyambung tali silataurahmi, amanah, dan
dermawan.
Jangan harap kita akan menemukan penjelasan penjang lebar secara filosofis mengenai konsep akhlaq di dalam kitab tersebut. Tetapi melalui judulnya kita bisa menangkap pesan kuat tentang pentingnya nilai-nilai etis.
Ketika kita membuka lembaran pertama kitab Makarim al-Akhlaq,
kita akan langsung disuguhi petuah-petuah moral dari Nabi. Misalnya,
pada petuah pertama, Ibnu Abi ad-Dunya langsung menggebrak dengan
menyebutkan hadits riwayat Abu Hurairah yang mengatakan: “Bahwa Rasulullah bersabda: ‘Kemulian seseoarng adalah agamanya, keperwiraannya adalah akalnya, dan kedudukannya adalah akhlaknya”. [H. 3-4].
Hadits di atas sungguh menarik untuk
kita cermati dan renungi secara mendalam. Menurut hemat saya, agama akan
menjadikan kemulian seseorang baik lahir maupun batin, ucapan maupun
tindakannya, dengan catatan seseorang tersebut taat menjalankan perintah
agamnya. Sebab, agama memerintahkan kepada kebaikan. Dengan kata lain,
agama pada dasarnya mengarahkan manusia kepada kehidupan yang terbaik.
Jadi, jika kita saat ini sering menjumpai orang yang mengaku beragama
tetapi prilakunya tidak sesuai dengan agama, maka jangan salahkan agama,
tetapi penganutnyalah yang tidak beres.
Manusia memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dari binatang karena kemampuan akalnya. Sebab, dengan akalnya,
manusia mampu membedakan mana tindakan yang luhur dan mana yang hina. Di
samping itu, akal juga dapat mengarahkan manusia agar memberikan hak
kepada yang berhak, baik itu hak Allah maupun hak makhluk-Nya. Dengan,
demikian, pada dasarnya akal bisa membimbing kepada keberagaaman yang
benar.
Kedudukan seseorang tidak ditentukan
kedudukan orang tuanya, bukan juga kekayaannya, tetapi, ia ditentukan
akhlaknya. Jika, ia adalah orang yang memiliki akhlak baik, niscaya ia
akan memiliki kedudukan mulia. Akhlak yang baik saling berkaitkelindan
dengan agama dan akal. Sebab, akhlak yang baik itu itu merupakan
tuntutan agama, sedang agama tidak bisa dipahami kecuali dengan akal
sehingga benar apabila dikatakan “la dina liman la ‘aqla lahu” (Tidak ada agama bagi orang yang tidak memilik akal).
Jika kita membaca kitab Makarim al-Akhlaq
karya Ibnu Abi ad-Dunya ini secara keseluruhan maka setidaknya kita
akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Islam sungguh menjunjung
tinggi-tinggi aspek moral dalam kehidupan, baik kehidupan beragama
maupun sosial. Di sinilah kita akan menemukan titik temu antar agama.
Salam. (ed. @viva_tnu)
Tentang Buku
Judul : Makarim al-Akhlaq
Penulis : Ibnu Abi ad-Dunya
Penerbit : Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Cet : Tahun 1421 H / 2000 M
Tebal : 307 halaman
Judul : Makarim al-Akhlaq
Penulis : Ibnu Abi ad-Dunya
Penerbit : Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Cet : Tahun 1421 H / 2000 M
Tebal : 307 halaman
Sumber: Portal Pendidikan Islam
http://www.pendidikanislam.id/pustaka/kitab-kuning/1024/pentingnya-etika-dan-moral.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar