Halaman

Senin, 09 Mei 2016

Makarim al-Akhlaq : Pentingnya Etika dan Moral

Dimensi etis (akhlaqi) di dalam ajaran Islam memiliki kedudukan tinggi, meski dalam perjalanannnya, dimensi hukum lebih mendominasi pikiran kebanyakan kaum muslim. Padahal semestinya tidaklah demikian, sebab nabi Muhammad saw jelas-jelas telah mendaku dirinya sebagai utusan Allah yang diberi misi menyempurnakan akhlak yang mulia (innama bu’itstu li utammima makarim al-akhlaq). Karenanya, di dalam al-Qur`an ayat-ayat hukum kurang lebih hanya 500 ayat.
Makarim Akhlaq
Makarim Akhlaq
Menurut hemat saya, dimensi etis merupakan titik temu antar agama. Akidah dan syariat setiap agama boleh saja berbeda, tetapi ajaran nilai-nilai etisnya masih dapat dipertemukan. Misalnya, ajaran tentang kasih sayang, bersikap jujur, dan amanah. Tak ada satu agama pun yang menolak ajaran-ajaran tersebut.
Dus, dengan demikian pada dasarnya ajaran etis bisa dijadikan pintu masuk untuk membangun nilai-nilai toleransi antar umat beragama. Sebab, nilai-nilai toleransi sangatlah mendasar untuk menciptakan kehidupan yang rukun dan damai sebagaimana dicita-citakan Islam.
Kesadaran akan nilai-nilai etis di dalam ajaran Islam telah membuat para ulama klasik menghimpun ajaran Islam tentang hal itu. Salah satunya ulama salaf yang mengumpulkan pelbagai hadits yang terkait dengan ajaran Islam mengenai moralitas adalah Ibnu Abi ad-Dunya melalui kitabnya yang bertitel Makarim al-Akhlaq.
Ibnu Abi ad-Dunya dikenal sebagai pakar hadits pada zamanya bahkan sampai sekarang. Di samping dikenal sebagai ahli hadits, Ibnu Abi ad-Dunya juga dikenal sebagai seorang pemberi petuah ulung. Pada saat memberikan petuahnya, ia bisa membuat pendengarnya tertawa, tetapi sebaliknya juga membuat pendengarnya menangis tersendu-sendu.
Nama panjang Ibnu Abi ad-Dunya ialah Abu Bakr Abdullah bin Muhammad bin Ubaid Ibnu Abi ad-Dunya, dan lahir di Baghdad pada tahun 201 H / 823 M dan meninggal pada tahun 281 H / 894 M. Ia hidup pada masa kekhalifahan Abbasiyah dan mengajarkan etika kepada khalifah al-Mu’tadhid Billah sewaktu masih remaja dan anaknya, yaitu Khalifah al-Muktafi Billah.
Intelektual kelahiran Baghdad yang satu sungguh luar biasa produktifitasnya dalam menulis. Setidaknya ada sekitar 164 karya yang berhasil diselesaikan. Di antaranya ialah kitab Makarim al-Akhlaq al-Faraj ba’d asy-Syiddah, Dzamm al-Malahi, asy-Syukr, Fi ‘Aza`ib al-Khalq, al-Isyraf fi Manazil al-Asyraf, Dzamm ad-Dunya, dan Akhbar Quraisy.
Kitab Makarim al-Akhlaq yang ditulis Ibnu Abi ad-Dunya memuat kurang lebih 487 petuah-petuah moral, baik yang dinukil dari Nabi maupun para sahabat, dan disertai dengan menyebutkan tramisinya (sanad). Semua petuah etis tersebut dibagi menjadi 10 bab. Di antaranya ialah bab tentang akhlak atau etika yang baik, malu, kejujuran, menyambung tali silataurahmi, amanah, dan dermawan.
Jangan harap kita akan menemukan penjelasan penjang lebar secara filosofis mengenai konsep akhlaq di dalam kitab tersebut. Tetapi melalui judulnya kita bisa menangkap pesan kuat tentang pentingnya nilai-nilai etis.
Ketika kita membuka lembaran pertama kitab Makarim al-Akhlaq, kita akan langsung disuguhi petuah-petuah moral dari Nabi. Misalnya, pada petuah pertama, Ibnu Abi ad-Dunya langsung menggebrak dengan menyebutkan hadits riwayat Abu Hurairah yang mengatakan: “Bahwa Rasulullah bersabda: ‘Kemulian seseoarng adalah agamanya, keperwiraannya adalah akalnya, dan kedudukannya adalah akhlaknya”. [H. 3-4].
Hadits di atas sungguh menarik untuk kita cermati dan renungi secara mendalam. Menurut hemat saya, agama akan menjadikan kemulian seseorang baik lahir maupun batin, ucapan maupun tindakannya, dengan catatan seseorang tersebut taat menjalankan perintah agamnya. Sebab, agama memerintahkan kepada kebaikan. Dengan kata lain, agama pada dasarnya mengarahkan manusia kepada kehidupan yang terbaik. Jadi, jika kita saat ini sering menjumpai orang yang mengaku beragama tetapi prilakunya tidak sesuai dengan agama, maka jangan salahkan agama, tetapi penganutnyalah yang tidak beres.
Manusia memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari binatang karena kemampuan akalnya. Sebab, dengan akalnya, manusia mampu membedakan mana tindakan yang luhur dan mana yang hina. Di samping itu, akal juga dapat mengarahkan manusia agar memberikan hak kepada yang berhak, baik itu hak Allah maupun hak makhluk-Nya. Dengan, demikian, pada dasarnya akal bisa membimbing kepada keberagaaman yang benar.
Kedudukan seseorang tidak ditentukan kedudukan orang tuanya, bukan juga kekayaannya, tetapi, ia ditentukan akhlaknya. Jika, ia adalah orang yang memiliki akhlak baik, niscaya ia akan memiliki kedudukan mulia. Akhlak yang baik saling berkaitkelindan dengan agama dan akal. Sebab, akhlak yang baik itu itu merupakan tuntutan agama, sedang agama tidak bisa dipahami kecuali dengan akal sehingga benar apabila dikatakan “la dina liman la ‘aqla lahu” (Tidak ada agama bagi orang yang tidak memilik akal).
Jika kita membaca kitab Makarim al-Akhlaq karya Ibnu Abi ad-Dunya ini secara keseluruhan maka setidaknya kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Islam sungguh menjunjung tinggi-tinggi aspek moral dalam kehidupan, baik kehidupan beragama maupun sosial. Di sinilah kita akan menemukan titik temu antar agama. Salam. (ed. @viva_tnu)
Tentang Buku
Judul              : Makarim al-Akhlaq
Penulis           : Ibnu Abi ad-Dunya
Penerbit         : Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Cet                  : Tahun 1421 H / 2000 M
Tebal              : 307 halaman

Tidak ada komentar: