Halaman

Senin, 22 April 2024

Kartini

 

UDAR RASA

Kartini

ALISSA WAHID

 

Hari ini adalah Hari Kartini, satu-satunya hari besar Indonesia yang dinisbatkan kepada sosok individu. Tetapi, tampaknya bagi anak-anak muda Indonesia, inspirasi sosok Kartini semakin pudar karena dianggap tidak lagi relevan.

Oleh Bung Karno, Kartini diangkat menjadi pahlawan karena kesadaran dan semangat revolusioner yang langka dimiliki perempuan di masanya. Kartini bukan satu-satunya perempuan penggerak perubahan dalam sejarah Indonesia, tetapi catatan pergumulan batin dan nalar kritisnya yang kuat membuat gagasan Kartini lebih mudah ditelusuri.

Di zaman Presiden Soeharto, sosoknya kemudian diperhalus dengan gambaran konde dan kebaya, selaras dengan ideologi ibuisme Orde Baru. Padahal, Kartini adalah sosok pendekar yang melawan konsep wanita, yang bagi sementara masyarakat dimaknai sebagai wani ditata (berani/mau diatur). Sebaliknya, ia justru menghidupi konsep awal perempuan sebelum mengalami degradasi makna, yang menurut filsuf Damardjati Supadjar bersumber dari kata empu (sang bijak, pakar, cendekia).

Kartini menjadi sosok pejuang yang nalar kritisnya berpijak pada keadilan hakiki dan pembebasan sehingga ia melawan sistem patriarki yang hanya memberi satu jalan kehidupan bagi perempuan: menikah dengan praktik poligami. Ia terus menelaah dan membuat catatan tentang sistem sosial yang dikecamnya.

Ia akhirnya harus menyerah pada realita sistem sosial yang dilawannya ketika kondisi kesehatan sang ayah membuatnya memutuskan menerima lamaran Adipati Rembang untuk dijadikan istri keempat dengan negosiasi untuk dapat mengembangkan sekolah perempuan yang telah dirintisnya. Sayang Kartini tidak berumur panjang, ia meninggal dunia pada usia 25 tahun.

Sejak Orde Baru, Kartini dikenang dengan parade penampilan keibuan dan festival domestik. Sosoknya yang progresif dan kritis baru muncul kembali semenjak masa Reformasi ketika sejarah alternatif mulai mewarnai diskursus sejarah Indonesia.

Walaupun memiliki ikon seperti Kartini dan banyak pahlawan perempuan lainnya, pada kenyataannya kita masih jauh dari kondisi harapan tentang kemaslahatan perempuan. Bahkan, beberapa problem masih belum dapat kita selesaikan meskipun sudah banyak mengalami kemajuan.

Seratus dua puluh tahun lalu, Kartini meninggal empat hari setelah melahirkan.dan, sampai saat ini, angka kematian ibu (AKI) selama dan setelah persalinan masih menjadi persoalan besar. Dalam laporan kependudukan Indonesia 2023, AKI masih 189 kematian per 100.000 kelahiran. Indonesia berada di posisi kedua tertinggi  di ASEAN dan sangat jauh dari target SDGs, yaitu 70 per 100.000.

Praktik berbahaya (harmful practices) bagi perempuan juga masih sulit kita atasi, di antaranya kekerasan berbasis jender, terutama kekerasan berbasis jender secara online, perkawinan anak, poligami, dan perkawinan tidak tercatat.

Penurunan angka perkawinan anak berlangsung sangat lambat. Angka kekerasan berbasis jender juga meningkat dengan modus yang semakin keji sebagaimana kita baca dalam liputan kasus-kasus di media massa. Ini menyebabkan perempuan menjadi rentan terhadap kemiskinan, problem kesehatan, kualitas mental, dan berbagai persoalan sistemik lainnya.

Dalam ruang pengambilan keputusan kebijakan publik, mulai dari level nasional sampai level desa, kehadiran perempuan pun masih rendah. Akibatnya, suara dan perspektif perempuan kurang mewarnai kebijakan publik yang dihasilkan. Faktor utamanya pun tetap sama: tradisi patriarkal yang belum sepenuhnya dapat kita transformasikan. Pandangan tentang posisi laki-laki dan perempuan, relasi kuasa yang terus dilestarikan, serta hilangnya nalar kritis menyebabkan tradisi patriarkal masih bertahan, bahkan cenderung menguat.

Tradisi ini terekam dalam candaan seksis dan misoginis yang masih terus membanjiri ruang kehidupan kita. Para lelaki direndahkan dengan guyonan tentang ikatan suami takut istri (ISTI) seakan-akan ini adalah hal yang nista karena perempuan derajatnya di bawah lelaki sehingga tidak selayaknya para lelaki ini takut kepada istrinya.

Di saat yang sama, setiap istri diidealkan taat dan takut pada suami. Kita tidak pernah menemukan guyonan merendahkan para istri dengan tema ikatan istri takut suami (IITS). Bahkan, sebaliknya, perempuan menjadi salah ketika ia memiliki posisi lebih tinggi atau mendominasi suaminya.

Seorang calon pengantin yang sedang mengurus pendaftaran di KUA bersama calon istrinya curhat ke media sosial. Tulisnya, petugas pencatatan mengomentari si calon istri yang berpendidikan lebih tinggi dari calon suami dengan kalimat, “Ini pasti mbak enggak nurut, ya, dengan mas calon suaminya.”

Demikian juga pandangan-pandangan yang merendahkan perempuan atau yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Walaupun disembunyikan dalam bingkai demi kebaikan perempuan atau memuliakan perempuan, di ujungnya perempuan kehilangan hak hakikinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berbeda, tetapi setara dengan para lelaki.

Banyak lelaki dan perempuan yang berpikir bahwa perjuangan Kartini sudah selesai karena saat ini perempuan tampak sudah mendapatkan segalanya. Tetapi, data dan fakta yang ada tidak mendukung pandangan ini.

Remaja masa kini barangkali menganggap Kartini sudah tidak relevan bagi kehidupan mereka. Tetapi, sesungguhnya, isu yang diperjuangkannya masih subur di tengah masyarakat dan kita masih perlu berjuang mewujudkannya demi masa depan kaum muda Indonesia.

Dan, yang terpenting, sosok dan perjuangannya adalah sumber inspirasi bagi kaum muda. Indonesia membutuhkan kaum muda yang memiliki nalar kritis yang kuat, progresif, dan revolusioner. Apalagi, saat ini kita tengah mengalami kemunduran peradaban demokratis Indonesia yang egaliter. Kartini adalah salah satu sumber belajar yang baik tentang perjuangan dan perlawanan kritis.

Hari ini, Hari Kartini, menjadi relevan, bukan hanya untuk perempuan, melainkan juga untuk peradaban bangsa. Selamat hari perlawanan.

 

UDAR RASA

KOMPAS, MINGGU, 21 APRIL 2024

Sabtu, 20 April 2024

Memimpikan Kurikulum Inklusif

 

Memimpikan Kurikulum Inklusif

IDI SUBANDY IBRAHIM

Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi; Pengajar Pascasarjana Universitas Pasundan

 

Sejak kita merdeka, berbagai kebijakan pendidikan telah dibuat, berbagai kurikulum telah dicoba. Jika kita selisik lebih dalam, muara dari tujuan pendidikan nasional dalam garis besarnya sudah terang benderang: mendidik manusia merdeka, meningkatkan kapabilitas dan kemandirian individu, dan melahirkan manusia beradab!

Bukankah konstitusi mengamanatkan pemerintah “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Kemudian, “mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Sayangnya, dalam implementasinya, proses untuk mencapai tujuan tersebut tidak seperti membalik telapak tangan. Menghadapi kerumitan persoalan pendidikan, beberapa kalangan mencoba memilih skala prioritas; mana yang seharusnya didahulukan dan mana yang dikemudiankan. Kemudian, mengalokasikan dana pendidikan secara tepat penting bagi negara yang memiliki anggaran terbatas untuk mencapai hasil yang maksimal seperti Indonesia.

Dalam dua decade terakhir, lembaga-lembaga pendidikan tinggi di sejumlah negara, termasuk Indonesia, sedang di posisi yang sangat rentan. Universitas-universitas sedang dilanda merosotnya keuangan publik, bangkitnya budaya politik yang anti-intelektualitas, dan dominasi tatanan neoliberal yang membutuhkan justifikasi finansial sebagai tolok ukur kemajuan pengetahuan dibandingkan dengan manfaat ekologis, sosial, atau kultural yang mungkin disumbangkan universitas.

Justifikasi finansial disertai merosotnya anggaran pendidikan menjadi salah satu alasan munculnya komersialisasi bahkan McDonaldinasi dunia pendidikan karena logika efisiensi. Penurunan anggaran penelitian dan pengurangan staf bahkan hingga insentif dan gaji adalah konsekuensi lanjutan yang ikut ditingkatkan dengan digitalisasi dunia pendidikan. Gejala birokratisasi kampus dan budaya akademis instan yang ikut memandulkan sikap ilmiah dan tradisi penelitian di Tanah Air juga bisa dilihat kaitannya di sini.

Sejauh ini, hidup juga obsesi berlebihan untuk menjadi universitas kelas dunia. Obsesi yang sesungguhnya hanya realistis untuk segelintir universitas di Indonesia. Ini mengingat keterbatasan sumber daya dan prasarana yang dimiliki. Meskipun upaya-upaya dilakukan, seperti kebijakan meningkatkan belanja pemerintah dan memberikan otonomi lebih besar kepada perguruan tinggi, mempertahankan standar melalui proses akreditasi, bahkan menyerahkan ke pasar bebas dengan mengizinkan pendirian kampus cabang universitas asing, tujuan yang terlihat hebat tersebut tidak selalu seirama dengan amanat konstitusi.

Undang-undang, misalnya, mengamanatkan, “sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaruan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan”.

Jika frasa “harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan” dijadikan pijakan, bagaimana kita seharusnya menanggapinya? Secara jujur harus diakui, kampus-kampus PTN (juga PTS) hanya bisa diakses oleh golongan kelas menengah ke atas. Ini seperti paradoks ketika biaya untuk menjadi manusia merdeka seperti memasuki alam penjajah! Perguruan tinggi menjelma menjadi kampus elite yang sama sekali tak ramah kantong rakyat. Apakah rakyat sebagai subyek pajak tidak berhak mempertanyakan penggunaan anggaran negara dalam pengelolaan pendidikan tinggi?

Kita memang mulai menerapkan Kurikulum Merdeka yang diklaim bisa mendukung penguatan karakter moral, termasuk spiritual, sosial, dan emosional peserta didik. Menurut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim, pembelajaran pun agar lebih fleksibel dan kontekstual. Penerapannya di sekolah bisa disesuaikan dengan dengan karakteristik sekolah dan murid serta konteks sosial budaya setempat (Kompas, 28/3/2024). Pemerintah juga memberi beasiswa bagi anak-anak dari keluarga berekonomi lemah meski terbatas dan dan tidak selalu tepat sasaran. Namun, kebijakan bersifat filantropis ini masih memerlukan perubahan sistemis dan struktural agar biaya kuliah di perguruan tinggi terakses dan terjangkau sebagian besar warga negara kendati tanpa beasiswa.

Sembari mengejar obsesi world class university yang terkesan keren itu, ada baiknya kita mulai memfokuskan pada warga negara yang sekian lama diabaikan, yakni penyandang disabilitas. Ironisnya, dalam UU Sisdiknas tidak ada satu pun memuat kata “disabilitas” dan sekali kata “inklusif”, yang menunjukkan pengabaiannya dalam wacana dokumen resmi negara yang begitu strategis!

Kurikulum Inklusif harus didukung oleh UU Sisdiknas yang inklusif. Memimpikan Kurikulum Inklusif guna melengkapi Kurikulum Merdeka bukanlah impian kosong. Kurikulum Inklusif berbasis Pancasila sehingga filosofinya menentang penyeragaman kurikulum sebagai hegemoni politik pendidikan yang bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Secara umum, Kurikulum Inklusif adalah kurikulum berorientasi menampung keanekaragaman potensi peserta didik. Setiap manusia dianugerahi bakat berbeda dan unik. Kurikulum Inklusif juga merupakan kurikulum berorientasi keragaman budaya dan terikat konteks permasalahan wilayah peserta didik yang tinggal di 38 provinsi (416 kabupaten, 98 kota) (kota besar dan kecil; kota dan desa; industri, pertanian, nelayan).

Secara khusus, Kurikulum Inklusif adalah kurikulum ramah penyandang disabilitas. Lembaga pendidikan harus memberi akses dengan persentase tertentu bagi mahasiswa, dosen, staf, karyawan, dan bahkan petugas kebersihan dari disabilitas.

 

ANALISIS BUDAYA

KOMPAS, SABTU, 20 APRIL 2024

Sabtu, 23 Maret 2024

Ramadhan dalam Nuansa Keragaman

 

Ramadhan dalam Nuansa Keragaman

Abbas Langaji

Dosen Institut Agama Islam Negeri Palopo

 

Salah satu ungkapan tahniah yang cukup populer setiap memasuki bulan Ramadhan adalah Marhaban ya Ramadhan, yang dianggap sebagai terjemahan dari ucapan Selamat Datang Ramadhan.

Walaupun ungkapan tahniah tersebut masih dipermasalahkan segelintir orang, terutama dasar skriptualnya, ucapan itu memenuhi layar gadget melalui platform Whatsapp, Telegram, Facebook, Instagram, dan lain-lain.

Ucapan “selamat datang Ramadhan” mengesankan Ramadhan adalah “tamu”, padahal Ramadhan adalah bagian dari waktu, tak berwujud, tak bergerak, tapi berlalu secara siklus.

Bahkan dalam pemikiran filsafat Al-Razi 251 H (865 M)-313 H/925 M, waktu itu kekal! Satuan hitungan waktu mulai detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, windu, dasa warsa, abad, hingga millennium, dan seterusnya (bila masih ada), adalah satuan hitungan.

Ramadhan bukan tamu, yang mendatangi umat manusia (baca: umat Islam), melainkan satuan hitungan waktu yang dalam interval waktu 29 atau 30 hari tersebut terdapat sejumlah keberkahan yang tiada terhingga. Dengan demikian, maka ungkapan Marhaban ya Ramadhan sejatinya ekspresi kebahagiaan kita begitu segera memasuki zona Ramadhan, zona waktu yang penuh rahmat dan maghfirah tersebut.

Ramadhan di tahun Qamariyah

Ibadah mahdha dalam Islam, misalnya puasa dan haji, ditetapkan berdasarkan sistem penanggalan yang mengacu pada sistem Qamariyah (lunar system), yang bila dibandingkan dengan sistem Syamsiyah (sonar) akan berselisih 10-11 hari tiap tahun.

Bila memperhatikan bahwa iklim dan musim berlangsung berdasarkan sistem sonar, setidaknya menghadirkan hikmah luar biasa bagi umat Islam, khususnya di Indonesia.

Bila ibadah puasa untuk pertama kalinya ditetapkan pada bulan Ramadhan yang saat itu sedang musim panas, dan arena musim mengikuti sistem penanggalan matahari, bulan Ramadhan setiap tahun maju 10-11 hari. Akibatnya, setiap siklus 33-34 tahun sekali Ramadhan akan jatuh pada bulan yang sama.

Oleh karena itu, tercatat dalam sejarah, akan terjadi dua kali Idul Fitri di tahun yang sama, misalnya tahun 2000, ketika 1 Syawal 1420 jatuh pada tanggal 8 Januari, dan 1 Syawal 1421 jatuh pada 27 Desember.

Bila suatu ketika Ramadhan berlangsung dalam musim kemarau, dalam 16-17 tahun berikutnya Ramadhan akan berlangsung dalam suasana musim hujan, dan sebaliknya. Selain itu, suasana berpuasa pun akan berlangsung dalam suasana Ramadhan yang berbarengan dengan musim buah-buahan yang berbeda sepanjang siklus 33-34 tahun itu.

Dalam konteks Islam Indonesia, suasana Ramadhan semakin menarik karena umat Islam berkesempatan menjalankan ibadah puasa dan merayakan Idul Fitri dalam suasana yang beragam. Suatu ketika, Ramadhan berdekatan waktu dengan perayaan hari besar agama lain yang umumnya ditetapkan berdasarkan penanggalan Syamsiyah (sonar system).

Ramadhan 1445 Hijriah di tahun 2024 ini “didahului” oleh perayaan hari Nyepi bagi umat Hindu. Pada pekan ketiga Ramadhan, aka nada dua hari raya umat Kristiani, yaitu Wafatnya Yesus Kristus dan Paskah.

Bila kita melihat ke belakang, pernah suatu ketika hari raya Idul Fitri berada di antara perayaan Natal (25 Desember) dan tahun baru (1 Januari), misalnya pada tahun 2000, ketika 1 Syawal jatuh pada 27 Desember. Demikian pula Maulid Nabi Muhammad SAW, pada tahun 2015 dan 1982, dilaksanakan dua kali, demikian pula tahun 1982 dan setiap siklus 33 tahun ke belakang dan ke depan.

Tahun 2015 itu pula menjadi semakin menarik karena peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW jatuh pada 24 Desember, berselisih satu hari dengan Natal, kelahiran Yesus Kristus, yang dalam penanggalan Qamariyah yang lain bisa saja bertepatan jatuhnya di 25 Desember itu.

Ramadhan dan moderasi beragama

Indonesia struktur penduduknya terdiri dari beragam agama, etnis, suku, golongan, dan budaya. Bahkan di dalam tiap-tiap agama pun ada beragam mazhab dan aliran.

Praktik beragama dengan mengedepankan perilaku moderat tanpa mengabaikan prinsip ajaran agama yang dianutnya adalah suatu keniscayaan agar terpelihara semangat toleransi dan merawat harmoni antar dan antara umat beragama.

Spirit moderasi beragama yang perlu ditanamkan setiap Ramadhan adalah saling menghormati, menghargai, dan memuliakan antar yang beribadah puasa dan yang tidak dengan cara demonstratif makan-minum di hadapan orang yang sedang berpuasa, sebagai wujud perilaku moderat. Begitu pula sebaliknya yang berpuasa agar tidak mudah tersinggung, apa lagi marah, melihat di sekitarnya terdapat orang sedang makan dan minum.

Sikap moderat ini akan saling menguatkan satu sama lain dalam rangka peningkatan penghayatan dan pengamalan ajaran agama. Umat Islam, sebagai umat yang moderat, dalam melaksanakan ibadah puasa yang tampak pada ketentuan pelaksanaan ibadah seperti tidak ada unsur paksaan, tetapi menyesuaikan dengan kemampuan setiap hamba-Nya. Demikian pula setiap Muslim wajib menghargai saudaranya sesama Muslim yang sedang berpuasa.

Dalam konteks intra umat beragama, sikap moderat dalam beragama ini tak menggugat ajaran agama dengan menambah dan atau mengurangi, tetapi saling memahami dalam perbedaan dan keragaman di ruang publik, saling menghormati dan menghargai jika ada perbedaan dengan tetap mengacu pada prinsip dan kaidah ilmiah.

Dengan demikian, tidak boleh atas nama moderasi beragama, setiap orang boleh berbicara dan berpendapat tanpa mengikuti kaidah-kaidah agama, apalagi bila didukung oleh pengetahuan tentang agama yang memadai. Dengan begitu, umat Islam Indonesia akan secara nyata mempraktikkan sikap moderasi beragama dan sekaligus kontributor utama penguatan moderasi moderasi beragama di Indonesia.

Siklus Ramadhan yang merupakan sunnatullah itu bagi umat Islam dan bangsa Indonesia buka lagi sekadar ujian tentang arti penting moderasi beragama dalam suatu tatanan masyarakat yang kompleks dan heterogen, melainkan mengulang sejarah kesuksesan umat Islam dan bangsa Indonesia tentang keberhasilan merawat harmoni dalam keberagaman.

Bukankah sejarah sudah menunjukkan betapa rakyat Indonesia sudah terbiasa hidup dan berada dalam suasana keragaman dalam harmoni? Demikian pula Ramadhan dalam suasana berdekatan dengan perayaan atau peringatan hari besar agama lain mengharuskan setiap Muslim yang berpuasa untuk menghargai penganut agama yang berbeda.

 

KOMPAS, SABTU, 23 MARET 2024

Minggu, 18 Februari 2024

Bersih Tanpa Mencemari

 

Tri Suhartini

Bersih Tanpa Mencemari

Tri Suhartini (51) membuktikan, sarana kebersihan diri, seperti sabun dan sampo, bisa diproduksi tanpa bahan kimia pabrikan dan pembungkus yang bisa mencemari lingkungan. Atas idealism dan karyanya itu, ia diganjar penghargaan internasional.

Dahono Fitrianto

 

Alumnus Jurusan Kimia Universitas Diponegoro, Semarang, itu, awalnya bekerja menerapkan ilmunya di sejumlah perusahaan kimia multinasional di seputaran Jakarta. Dia, antara lain, membuat lapisan ceramic coating.

Namun pada 2017, seseorang yang sudah ia anggap sebagai orangtuanya menyuruhnya berhenti dan pulang ke kampung halamannya di Magelang. “Orangtua saya sudah lama meninggal, jadi saya anggap sesepuh ini sebagai orangtua sendiri. Beliau berkata kepada saya, ‘ngapain di sana, nyugihke Londo (memperkaya orang asing). Pulang saja. Kamu harus menjadi lebih berguna bagi lebih banyak orang’,” tutur Tri, saat ditemui di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (1/2/2024).

Saran orangtua itu benar-benar dia turuti. Awalnya dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia pun masuk dunia pesantren dan mengajari para santrinya berbagai keterampilan hidup, seperti bercocok tanam.

“Dari ngajari para santri itu lama-lama jadi tahu ada bahan-bahan di sekitar kita yang bisa dibuat sarana kebersihan diri, seperti sabun dan sampo. Sampo, misalnya, dibuat dari lerak (Sapindus rarak), buah-buahan kecil yang memiliki kandungan saponin tinggi,” ujarnya.

Ia juga memanfaatkan berbagai bahan yang ada di sekitarnya, seperti minyak kelapa, cem-ceman (rendaman) daun urang-aring, daun mangkokan (Polyscias scutellaria), pandan, rosemary, sereh, dan citronella.

Lama-lama kegiatan itu dikembangkan menjadi industri skala kecil. Pada 2018, Tri mendirikan perusahaan kecil bernama Ecovivo Daya Lestari untuk memayungi produksi sampo dan sabun dengan kearifan lokalnya. Namun, ia masih gelisah karena produknya masih menyisakan sampah yang bisa mencemari lingkungan.

“Seperti sampo cair, misalnya, masih butuh kemasan botol yang lagi-lagi bahannya dari plastik. Sampah kemasan ini tetap bisa mencemari lingkungan,” kenang Tri.

Tanpa sampah

Ia lalu memutar otak dan keluar dengan ide membuat sampo bentuk padat. Tri juga mencari bahan pembungkus yang tidak terbuat dari plastik atau bahan yang sulit diurai oleh alam lainnya.

Ia menemukan daun pisang yang sudah dikeringkan (klaras) sebagai pembungkus dalam dan lapisan batang gedebok pisang yang dikeringkan sebagai pembungkus luar. Ada juga anyaman pandan yang dipakai untuk bungkus luar ini.

“Intinya bungkus yang punya porositas dan bisa nahan kelembaban, dan tidak mencemari lingkungan karena bisa diuraikan oleh tanah,” katanya.

Tri semaksimal mungkin memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitar tempat tinggalnya untuk melibatkan para petani dan perajin lokal guna menanam dan memproduksi bahan maupun bungkusnya sehingga terjadi gelombang ekonomi sirkuler.

Tahun 2018, ia masih membuat semuanya sendiri. Setahun kemudian, dia sudah melibatkan tenaga kerja dari luar. Saat ini, Tri mempekerjakan dua tenaga tetap untuk memproduksi produk-produknya. Namun, di belakang mereka, ada para petani yang membuat minyak kelapa, menanam kecombrang, citronella, dan sebagainya. “Saat ini ada setidaknya tujuh petani yang saya libatkan dan tiga ibu-ibu tetangga untuk membuat kemasannya,” papar Tri.

Usahanya berkembang pesat pada 2019, sampai dia memiliki situs sendiri untuk memasarkan produk-produknya. Di luar itu, ia bekerja sama dengan peritel produk kerajinan organik di Yogyakarta. Berbagai pameran pun ia ikuti sehingga produk-produknya mulai dikenal baik di dalam maupun luar negeri. “Konsumen di Yogyakarta juga kebanyakan turis asing,” ujarnya.

Produknya pun berkembang, tak hanya sabun dan sampo, tetapi juga teh herbal dan limbah teh herbal yang ia buat menjadi bahan isian rokok tanpa tembakau. Sisa-sisa bahan herbal untuk teh, seperti tulang-tulang daun sereh, citronella, mint, kecombrang, dan residu ekoenzim ia kumpulkan untuk kemudian dilinting dengan kertas rokok menjadi rokok tanpa nikotin.

Pada 2021, produknya untuk pertama kali dikirim ke luar negeri. Sampo batangan dan teh herbal sempat dikirim ke Singapura atas dukungan Asia Business Trade Association. Tahun berikutnya, produknya kembali dikirim ke Singapura dan Belgia dalam program yang disponsori Bank Indonesia.

Nilai berkelanjutan

Menurut Tri, pasar produknya menurun setelah pandemi. “Pasar offline (luring) dibanjiri produk-produk dengan harga lebih murah. Sementara untuk jualan online (daring) harus pasang iklan daring pula,” jelasnya.

Saat ini dia masih memproduksi 300 batang sabun dan sampo dan 100 bungkus teh herbal tiap bulan. untuk rokok herbal, baru dia mulai tahun lalu dengan jumlah sekitar 20 persen dari produk teh herbalnya.

Mei 2023, produknya yang dinilai kompetitif secara ekonomi, memiliki nilai-nilai berkelanjutan, dan memiliki pengaruh sosial maupun iklim terpilih mendapat penghargaan Good Design Indonesia dari Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan.

Pada Agustus 2023, Ecovivo meraih penghargaan Good Design Award International untuk kategori sanitari yang diselenggarakan Japan Institute of Design Promotion di Jepang. Ia terpilih di antara 5.000 peserta dari 25 negara. Tri mengakui, penghargaan ini membuka jaringan relasi dan peluang baru untuk kian memperkenalkan dan memperluas distribusi produknya.

Namu, Tri tak berambisi membuat produk-produknya sebagai produk massal. Hingga hari ini, dia masih menggunakan modal sendiri untuk berproduksi dan mengaku masih takut mengambil kreit dari bank. “Saya tak akan menyaingi Unilever dan P&G. saya ingin bertumbuh tidak berdasar kapasitas produksi yang tinggi. Yang penting membuka pasar dan menyiapkan komunitas untuk memproduksi saat demand pasar meningkat,” ungkapnya.

Tri justru berniat agar bisnisnya suatu saat memiliki semacam pesantren ekologi, di mana dia bisa berbagi keterampilan, kearifan lokal, dan ekonomi sirkuler. “Ini tujuan ke depan. Sebuah pesantren yang inklusif. Kapasitas produksi harus berkembang bersama berkembangnya lingkaran masyarakat yang bergerak di ekonomi sirkuler dari pesantren ekologi ini,” tandasnya.

 

Sosok

KOMPAS, SABTU, 17 FEBRUARI 2024

Minggu, 11 Februari 2024

Ciri Manusia Modern adalah Rebahan, Bukan Olahraga

 

Ciri Manusia Modern adalah Rebahan, Bukan Olahraga

Tiba-tiba malas olahraga? Itu wajar karena otak lebih kuat mengajak kita untuk bersantai, berbaring saja.

Luki Aulia

 

Sudah menggebu-gebu, dengan semangat ’45, niat olahraga bisa tiba-tiba batal. Sebab, orang seperti mendengar bisikan dari dalam kepalanya, seperti “mending tidur”, “santai-santai di rumah sajalah”, atau “langit mendung, pasti akan hujan”. Ternyata itu wajar dan memang sifat alamiah manusia.

Dalam laporan pada akhir Januari 2024, majalah Time menulis bahwa manusia modern lebih cenderung bersantai-santai dibandingkan bergerak. Bentuk istirahatnya bisa duduk atau sekalian rebahan.

Salah satu penelitian Universitas Ottawa, Kanada, pada 2018, membuktikan orang yang tadinya semangat olahraga bisa mendadak merasa malas. Sebab, otak manusia membuat orang tidak ingin berolahraga.

Periset di universitas itu, Matthieu Boisgontier, mengatakan, terlihat bukti-bukti orang lebih cenderung memilih bersantai daripada susah payah bergerak. Salah satu buktinya, orang lebih suka menggunakan tangga berjalan dibandingkan tangga biasa.

Naluri alamiah manusia ini pada dasarnya tidak buruk. Masalahnya, kehidupan modern memberi kita begitu banyak alasan atau peluang untuk menyerah pada pilihan istirahat dan ini sudah di tingkat tidak baik bagi kesehatan. Jam kerja panjang, badan yang jarang bergerak, ditambah infrastruktur yang membuat orang lebih memilih naik mobil, memperburuk kualitas kesehatan.

Pakar psikologi olahraga di Universitas Leeds Beckett, Inggris, Jackie Hargreaves, menambahkan, banyak orang juga tidak sadar menyimpan perasaan negatif terhadap olahraga sejak masa kanak-kanak. Terkadang, hal ini juga terkait dengan urusan kepercayaan diri. Penelitian menunjukkan, orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai “orang yang berolahraga” dengan lebih kompeten cenderung melakukan rutinitas rutin.

Evolusi

Bergerak awalnya adalah soal bertahan hidup. Dulu, manusia harus berburu atau menanam. Semua membutuhkan gerak fisik. Manusia berevolusi untuk menoleransi aktivitas tingkat tinggi, tetapi cenderung beristirahat jika memungkinkan.

Ahli biologi evolusi manusia dan penulis buku Exercised: Why Something We Never Evolved to Do Is Healhty and Rewarding, Daniel Lieberman, mengatakan, istirahat iu untuk menghemat energi.

Manusia di era meramu, mau tidak mau, harus bergerak. Hal itu bukan untuk olahraga, melainkan hidup. “Manusia dulu tidak berlari sekadar untuk bakar kalori. Dari sudut pandang evolusi, tindakan itu bodoh dan membuang-buang energi untuk sesuatu yang tidak memberi manfaat apa pun. Sekarang kita tidak lagi banyak bergerak. Namun, naluri revolusioner untuk menghemat energi itu tetap ada. Pikiran seperti saya malas dan tidak ingin olahraga itu hal normal dan wajar,” tuturnya.

Sebaliknya, berbagai penelitian lain juga menunjukkan bergerak itu bermanfaat bagi aspek kesehatan. Bisa meningkatkan kualitas tidur, kesejahteraan mental, mengurangi risiko kondisi kronis, dan kematian dini.

Terlebih lagi, penelitian menunjukkan olahraga berdampak positif meskipun dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Meski begitu, tetap saja banyak orang kurang berolahraga.

Menurut hasil studi terbaru Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS, kurang dari sepertiga orang dewasa melakukan gerakan aerobik intensitas sedang (seperti jalan cepat) selama 20 menit setiap hari, ditambah dengan melatih otot dan sesi penguatan (seperti latihan ketahanan) setiap minggu. Waktu 20 menit itu merupakan intensitas aktivitas fisik yang direkomendasikan Pemerintah AS.

Orang dewasa yang sehat direkomendasikan meluangkan waktu 150 menit per minggu atau kira-kira 20 menit sehari untuk latihan aerobik intensitas sedang. Selain itu, direkomendasikan juga setidaknya dua hari per pekan untuk angkat beban atau aktivitas lain untuk menguatkan otot.

Menurut penelitian Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, hanya 28 persen warga AS yang benar-benar mengikuti anjuran itu. Kesimpulan itu didasarkan jawaban 300.000 responden Survei Wawancara Kesehatan Nasional 2020.

Lebih mengejutkan lagi, orang desa malah lebih cenderung jarang berolahraga. Hanya 16 persen orang di luar kota memenuhi standar aktivitas aerobik dan penguatan otot.

Para peneliti merekomendasikan agar dilakukan peningkatan fasilitas olahraga dan ruang fisik di perkotaan dan pedesaan. Tujuannya, menarik orang untuk beraktivitas.

Kesehatan jantung

Demi kesehatan jantung, setiap gerakan tubuh sangat berarti. Risiko penyakit jantung paling rendah terlihat pada orang yang paling banyak berolahraga. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian nomor satu di dunia dan membunuh hampir 18 juta orang per tahun secara global.

Guru Besar Universitas Oxford, Inggris, Aiden Doherty menemukan, 25 persen orang teratas yang melakukan aktivitas dengan intensitas tinggi memiliki rata-rata penurunan risiko penyakit jantung hingga 63 persen. Bagi yang melakukan intensitas sedang, risiko penyakit jantungnya berkurang hingga 57 persen.

Hal itu didasarkan risetnya pada 90.000 orang dalam periode lima tahun. “Temuan ini membantah mitos bahwa ada batasan Anda tidak boleh melakukan olahraga lebih banyak, tidak ada batasan aktivitas apa yang harus dilakukan untuk menyehatkan jantung,” kata Rema Ramakrishnan, ahli biostatistik dan epidemiologi di Universitas Oxford yang ikut penelitian itu.

Doherty mengatakan, hasil penelitian ini mendukung rekomendasi WHO bahwa orang harus melakukan setidaknya 150-300 menit latihan aerobik sedang hingga berat dalam seminggu. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal PLOS Medicine ini menggunakan alat pelacak aktivitas yang dikenakan di pergelangan tangan atau akselerometer untuk mencatat aktivitas 90.000 partisipan secara akurat. Hasil yang diperoleh serupa pada laki-laki dan perempuan meski manfaat olahraga berat tampaknya sangat kuat pada perempuan.

Agar tetap semangat olahraga dan membangkitkan motivasi olahraga, psikolog olahraga di West Virginia University, Sam Zizi, menyarankan memulai dari yang mudah. Seseorang harus merasa nyaman dengan kemampuan dirinya terlebih dahulu kemudian menemukan motivasi berolahraga.

Dia merekomendasikan mulai dari berjalan kaki selama beberapa menit per hari. Mengamati teman sebaya melakukan apa yang ingin Anda lakukan, terutama jika mereka memiliki usia, jenis kelamin, atau status kesehatan yang sama, dapat membantu menyadari bahwa Anda juga bisa mencapainya.

Hargreaves juga menyarankan agar konsep olahraga diubah. Tidak perlu menghabiskan waktu satu jam untuk olahraga di tempat-tempat khusus. Cukup beberapa menit saja setiap hari dan bisa juga dengan, misalnya, mengerjakan pekerjaan rumah, seperti membersihkan rumah atau menyiangi taman. Itu saja sudah sangat baik untuk pikiran dan tubuh.

“Ini soal bergerak saja dan menemukan cara bergerak yang benar-benar menyenangkan. Dan ini bisa berbeda-beda untuk setiap orang,” ujarnya.

Menggabungkan olahraga dengan sesuatu yang diinginkan atau harus dilakukan bisa membantu seseorang mengabaikan bagian otak yang mengajak kita berbaring bersantai-santai saja di sofa.

 

Teropong

KOMPAS, SENIN, 5 FEBRUARI 2024

 

Minggu, 28 Januari 2024

Jangan Berlebih-lebihan

 

Jangan Berlebih-lebihan

Ahmad Mustofa Bisri

Kiai dan Penyair

 

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sistem demokrasi yang sedang berlaku di negeri ini jelas perlu disyukuri.

Yang kurang dalam sistem ini, perlu terus disempurnakan. Praktik-praktik politik yang dianggap menyimpang, kurang etis atau menyalahi aturan, tentu perlu dikritik.

Sementara, yang sudah berjalan baik, perlu terus ditingkatkan. Kritik adalah pupuk bagi kemajuan sistem apa pun, termasuk sistem politik. Jika kritik dihambat, maka hilanglah kesempatan bagi sistem itu untuk memperbaiki diri sendiri.

Meski demikian, kita tidak boleh terjerembap dalam detail pohon, lalu lupa pada keluasan hutan. Kita tidak boleh lupa pada gambar besar, bahwa kita hidup di negeri yang relatif demokratis. Berkat demokrasi inilah kita dianugerahi nikmat yang luar biasa, yaitu pemilu yang dilangsungkan secara rutin setiap lima tahun.

Tujuan besar dan tujuan kecil

Dengan segala kekurangannya, jelas pemilu yang kita miliki saat ini jauh lebih baik dari segi kualitasnya dibandingkan dengan pemilu-pemilu lampau di zaman Orde Baru.

Kita tahu semua, fungsi pemilu pada saat itu hanya sebatas “stempel politik” saja bagi kekuasaan. Tak lebih, tak kurang. Jangan sampai pemilu kita hari ini terjatuh pada kesalahan serupa. Jangan sampai pemilu dimerosotkan kembali sebagai stempel saja.

Akan tetapi, di sisi lain, pemilu harap dilihat bukan semata-mata sebagai pemilu saja,, dilepaskan dari gambar besarnya.

Pemilu hanyalah wasilah atau sarana saja untuk meraih al-maqshad al-a’dzam alias tujuan besar: yaitu negara Indonesia yang bineka, melindungi semua, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Ada bahkan mungkin banyak politisi yang terlibat dalam kompetisi politik, terkurung dalam tujuan-tujuan kecil untuk memenangkan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, seraya melupakan gambar besar ini.

Bahasa pesantrennya: al-ghayah tubarrir al-wasa’il, tujuan menghalalkan segala cara. Ini adalah tindakan politik yang kerdil.

Tindakan politisi yang kerdil seperti ini, aneh bin ajaibnya, diikuti pula oleh sebagian para pendukung dan penyorak politik dengan cara memberikan dukungan yang kerdil pula.

Pentingnya sikap moderat

Dukungan kerdil itu tampak jelas dalam perilaku sebagian kalangan yang mendukung tokoh-tokoh tertentu secara berlebih-lebihan sehingga lupa pada gambar besar.

Dukungan yang berlebihan ini kemudian menimbulkan dampak-dampak yang kurang baik dalam hubungan-hubungan sosial. Dampak yang paling serius adalah anggapan bahwa kalau bukan calon saya yang menang, maka akan hancurlah negeri ini. Inilah sikap mutlak-mutlakan.

Hubungan-hubungan sosial bisa pecah karena sikap mutlak-mutlakan dan berlebih-lebihan semacam ini.

Indonesia sebagai rumah besar bisa rubuh dengan sikap mutlak-mutlakan seperti ini. Dari sono-nya, proses-proses politik itu memang cenderung “lunyu” atau licin. Setiap perubahan gampang terjadi di sana. Perubahannya tidak sekadar tahun, tapi bisa bulan bahkan hari.

Politik sifatnya dinamis. Apa yang terjadi hari ini belum tentu sama esok harinya. Mereka yang memberlakukan politik seperti barang padat yang “keset” akan mudah kewirangan (malu) dan kecelik (kecele).

Oleh karena itu, mereka yang mati-matian mendukung tokoh tertentu secara berlebihan akan gampang kecele di kemudian hari.

Konon, kata para ahli, politik adalah seni segala kemungkinan. Tetapi, sebagian para penyorak dan pendukung dalam kompetisi politik malah memperlakukannya sebagai sebuah seni sebuah kepastian.

Sikap moderat dan sak madya, karena itu, adalah sikap yang paling baik dan tepat. Sikap ini tepat bukan saja dalam konteks pemilu saja, melainkan untuk segala hal. Ini adalah kaidah sederhana yang telah diajarkan oleh para kaum bijak dari segala tradisi agama sejak dahulu kala.

Di tengah riuh-rendahnya kompetisi politik, kita tidak boleh lupa pada kaidah sederhana ini. Kita perlu bersikap moderat dan sedang-sedang saja dalam segala hal. Jangan sampai kita berlebih-lebihan.

Ketika mendukung sosok tertentu, sisakanlah ruang, walau hanya secuil saja, untuk sebuah keragu-raguan bahwa tokoh yang kita dukung ini jangan-jangan tidaklah seperti yang kita persangkakan selama ini. Keragu-raguan ini diperlukan untuk mengendalikan sikap yang berlebih-lebihan itu.

Yang patut terus diingat oleh semua pihak, politik pilpres hanyalah peristiwa rutin lima tahunan. Sementara urusan merawat Indonesia adalah kepentingan jangka panjang yang jauh lebih penting.

Jangan sampai peristiwa singkat ini dibesarkan melebihi proporsinya sehingga menenggelamkan tujuan jangka panjang itu. Inilah yang kewarasan dalam berpolitik. Kita perlu menjaga kewarasan ini secara bersama-sama, antara lain dengan menghindari sikap berlebih-lebihan dalam urusan kompetisi politik.

Godaan untuk tidak waras hari-hari ini memang sangatlah besar. Godaan ini ada pada kedua belah pihak sekaligus; pada pemain politik, dan juga pada penyorak politik. Masing-masing pihak mesti mengendalikan diri. Negeri ini akan bermasalah jika masing-masing pihak bertindak melebihi batas-batas kepantasan.

Para pendiri negara ini telah meninggalkan warisan penting bagi generasi sekarang, yaitu sikap-sikap politik yang selalu menempatkan kepentingan negara dan rakyat di atas segala-galanya. Inilah kebalikan dari kekerdilan politik yang kita lihat di sebagian kalangan hari-hari ini.

Generasi pendiri negara ini memang tidak mewariskan negeri dengan kelimpahan materi. Tetapi, mereka mewariskan sebuah sikap dan perilaku yang bersifat teladan. Warisan ini perlu terus dijaga agar kita tetap bisa waras sebagai bangsa.

 

RENUNGAN PEMILU

KOMPAS, MINGGU, 28 JANUARI 2024