UDAR RASA
Kartini
ALISSA WAHID
Hari ini adalah Hari
Kartini, satu-satunya hari besar Indonesia yang dinisbatkan kepada sosok
individu. Tetapi, tampaknya bagi anak-anak muda Indonesia, inspirasi sosok
Kartini semakin pudar karena dianggap tidak lagi relevan.
Oleh Bung Karno, Kartini
diangkat menjadi pahlawan karena kesadaran dan semangat revolusioner yang
langka dimiliki perempuan di masanya. Kartini bukan satu-satunya perempuan
penggerak perubahan dalam sejarah Indonesia, tetapi catatan pergumulan batin
dan nalar kritisnya yang kuat membuat gagasan Kartini lebih mudah ditelusuri.
Di zaman Presiden
Soeharto, sosoknya kemudian diperhalus dengan gambaran konde dan kebaya,
selaras dengan ideologi ibuisme Orde Baru. Padahal, Kartini adalah sosok
pendekar yang melawan konsep wanita, yang bagi sementara masyarakat dimaknai
sebagai wani ditata (berani/mau diatur). Sebaliknya, ia justru menghidupi
konsep awal perempuan sebelum mengalami degradasi makna, yang menurut filsuf
Damardjati Supadjar bersumber dari kata empu (sang bijak, pakar, cendekia).
Kartini menjadi sosok
pejuang yang nalar kritisnya berpijak pada keadilan hakiki dan pembebasan
sehingga ia melawan sistem patriarki yang hanya memberi satu jalan kehidupan
bagi perempuan: menikah dengan praktik poligami. Ia terus menelaah dan membuat
catatan tentang sistem sosial yang dikecamnya.
Ia akhirnya harus
menyerah pada realita sistem sosial yang dilawannya ketika kondisi kesehatan
sang ayah membuatnya memutuskan menerima lamaran Adipati Rembang untuk
dijadikan istri keempat dengan negosiasi untuk dapat mengembangkan sekolah
perempuan yang telah dirintisnya. Sayang Kartini tidak berumur panjang, ia
meninggal dunia pada usia 25 tahun.
Sejak Orde Baru, Kartini
dikenang dengan parade penampilan keibuan dan festival domestik. Sosoknya yang
progresif dan kritis baru muncul kembali semenjak masa Reformasi ketika sejarah
alternatif mulai mewarnai diskursus sejarah Indonesia.
Walaupun memiliki ikon
seperti Kartini dan banyak pahlawan perempuan lainnya, pada kenyataannya kita
masih jauh dari kondisi harapan tentang kemaslahatan perempuan. Bahkan,
beberapa problem masih belum dapat kita selesaikan meskipun sudah banyak
mengalami kemajuan.
Seratus dua puluh tahun
lalu, Kartini meninggal empat hari setelah melahirkan.dan, sampai saat ini,
angka kematian ibu (AKI) selama dan setelah persalinan masih menjadi persoalan
besar. Dalam laporan kependudukan Indonesia 2023, AKI masih 189 kematian per
100.000 kelahiran. Indonesia berada di posisi kedua tertinggi di ASEAN dan sangat jauh dari target SDGs,
yaitu 70 per 100.000.
Praktik berbahaya (harmful
practices) bagi perempuan juga masih sulit kita atasi, di antaranya
kekerasan berbasis jender, terutama kekerasan berbasis jender secara online,
perkawinan anak, poligami, dan perkawinan tidak tercatat.
Penurunan angka
perkawinan anak berlangsung sangat lambat. Angka kekerasan berbasis jender juga
meningkat dengan modus yang semakin keji sebagaimana kita baca dalam liputan
kasus-kasus di media massa. Ini menyebabkan perempuan menjadi rentan terhadap
kemiskinan, problem kesehatan, kualitas mental, dan berbagai persoalan sistemik
lainnya.
Dalam ruang pengambilan
keputusan kebijakan publik, mulai dari level nasional sampai level desa,
kehadiran perempuan pun masih rendah. Akibatnya, suara dan perspektif perempuan
kurang mewarnai kebijakan publik yang dihasilkan. Faktor utamanya pun tetap
sama: tradisi patriarkal yang belum sepenuhnya dapat kita transformasikan.
Pandangan tentang posisi laki-laki dan perempuan, relasi kuasa yang terus
dilestarikan, serta hilangnya nalar kritis menyebabkan tradisi patriarkal masih
bertahan, bahkan cenderung menguat.
Tradisi ini terekam dalam
candaan seksis dan misoginis yang masih terus membanjiri ruang kehidupan kita.
Para lelaki direndahkan dengan guyonan tentang ikatan suami takut istri (ISTI)
seakan-akan ini adalah hal yang nista karena perempuan derajatnya di bawah
lelaki sehingga tidak selayaknya para lelaki ini takut kepada istrinya.
Di saat yang sama, setiap
istri diidealkan taat dan takut pada suami. Kita tidak pernah menemukan guyonan
merendahkan para istri dengan tema ikatan istri takut suami (IITS). Bahkan,
sebaliknya, perempuan menjadi salah ketika ia memiliki posisi lebih tinggi atau
mendominasi suaminya.
Seorang calon pengantin
yang sedang mengurus pendaftaran di KUA bersama calon istrinya curhat ke media
sosial. Tulisnya, petugas pencatatan mengomentari si calon istri yang
berpendidikan lebih tinggi dari calon suami dengan kalimat, “Ini pasti mbak
enggak nurut, ya, dengan mas calon suaminya.”
Demikian juga
pandangan-pandangan yang merendahkan perempuan atau yang menempatkan perempuan
sebagai warga kelas dua. Walaupun disembunyikan dalam bingkai demi kebaikan
perempuan atau memuliakan perempuan, di ujungnya perempuan kehilangan hak
hakikinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berbeda, tetapi setara dengan para
lelaki.
Banyak lelaki dan
perempuan yang berpikir bahwa perjuangan Kartini sudah selesai karena saat ini
perempuan tampak sudah mendapatkan segalanya. Tetapi, data dan fakta yang ada
tidak mendukung pandangan ini.
Remaja masa kini
barangkali menganggap Kartini sudah tidak relevan bagi kehidupan mereka.
Tetapi, sesungguhnya, isu yang diperjuangkannya masih subur di tengah
masyarakat dan kita masih perlu berjuang mewujudkannya demi masa depan kaum muda
Indonesia.
Dan, yang terpenting,
sosok dan perjuangannya adalah sumber inspirasi bagi kaum muda. Indonesia
membutuhkan kaum muda yang memiliki nalar kritis yang kuat, progresif, dan
revolusioner. Apalagi, saat ini kita tengah mengalami kemunduran peradaban
demokratis Indonesia yang egaliter. Kartini adalah salah satu sumber belajar
yang baik tentang perjuangan dan perlawanan kritis.
Hari ini, Hari Kartini,
menjadi relevan, bukan hanya untuk perempuan, melainkan juga untuk peradaban
bangsa. Selamat hari perlawanan.
UDAR RASA
KOMPAS, MINGGU, 21 APRIL 2024