Halaman

Kamis, 17 November 2016

Mas, Bagaimana Jika Di Antara Kita Ada yang Mendua?

Mas, Bagaimana Jika Di Antara Kita Ada yang Mendua?

“Mas, boleh adik bertanya?” ucap sang istri kepada suaminya, mengawali perbincangan di sore hari dengan gerimis yang tak kunjung reda sedari siang. “Boleh Dik, mau nanya apa Dik?” jawabnya. Suasana hening selama beberapa menit. Tak ada balasan dari Ayuk, sang istri yang mengawali percakapan tadi. “Tadi katanya mau bertanya sesuatu pada mas, Dik, kok belum ada pertanyaan yang keluar dari adik? Mas udah nunggu dari tadi lho” sang suami sepertinya begitu memahami suasana, ia ingin mengetahui apa yang akan dikatakan istrinya kepadanya. Ia meletakkan koran yang dibaca dari sebelum istrinya datang menemuinya di teras. Ia menatap istrinya dengan penuh keingintahuan, dengan tatapan kesederhanaan, sambil menyuguhkan senyum yang biasa ia berikan khusus kepada istrinya. Berbeda dengan senyum yang ia berikan kepada orang lain. Sang istri pun akhirnya memulai dengan menyapa suaminya. “Mas.. .” begitulah sapaan yang ia tak pernah lupa sebelum berbicara dengan suaminya. “Iya Dik.. .” sang suami juga selalu menanggapi sapaannya dengan kata yang sama seperti halnya saat mereka menjadi sepasang suami-istri yang sah.
            “Jika di antara kita ada orang ketiga bagaimana Mas?” Dengan tatapan yang lebih serius istrinya bertanya, namun masih dengan nada yang lembut. “Maksud adik orang ketiga yang bagaimana?”. Masih dengan ketenangan sang suami menanggapi pertanyaan istrinya. “yang adik maksud bukan ada yang mendua di antara kita kan?” sang suami mencoba menebak apa maksud istrinya tadi. “iya mas, di antara kita tentunya nanti akan ada yang mendua dan merasa diduakan”. Kini dengan sedikit pura-pura terkejut sang suami mendengarnya. “Bukankah dulu kita pernah berjanji untuk saling mengikat dan mengucap ikrar untuk setia menjadi pasangan suami-istri hingga maut memisahkan kita?”. “Iya Mas, tapi.. .”. kalimat ayuk terpotong oleh suaminya seketika. Zaenal, suami ayuk kini merasa istrinya sudah tertarik pada pria lain. “Tapi apa Dik?” masih dengan sapaan yang khas ia bertanya, meski dengan keadaan yang sudah tidak setenang tadi.
            “Tok.. . tokk.. . tokkk.. .” suara kentongan di poskamling dipukul dengan keras. Semua warga beramai-ramai menuju lokasi poskamling, tempat dipukulnya kentongan tersebut. Seperti biasa, solidaritas warga di dusun tempat zaenal dan istrinya tinggal sangat tinggi. Dalam hal ini misalnya, jika terjadi sesuatu yang penting mendadak, misalnya ada pencurian, perampokan atau hal buruk lainnya, maka salah satu warga yang mengetahui kejadian tersebut akan segera memberitahu warga yang lain agar ikut membantu dengan cara memukul kentongan yang ada di poskamling dusun. “Ada apa mang udin?” sontak semua warga datang merapat dan bertanya penuh antusias. “anu.. . bapak-bapak, ibu-ibu.. . ada pasangan muda-mudi yang lagi berduaan di gubuk sawah pak mardi”. Pak mardi yang namanya disebut sontak kaget lantas berjalan menuju ke arah mang udin. “Apa mang udin? Gubuk sawah saya dipakai buat pacaran maksud bapak?”. Dengan agak geram pak mardi mengepalkan tangannya. Seakan siap bertarung dengan lawan main seperti petinju yang sudah tak sabar bertemu dengan lawan mainnya. “sepertinya begitu pak, soalnya saya juga tidak kenal mereka berdua.” Jawab mang udin. Di desa tempat zaenal dan warga lainnya tinggal ini terbilang cukup bagus dalam menjaga tradisi yang diajarkan nenek moyang mereka. Khususnya hubungan antara pria dan wanita yang bukan muhrim. Tidak ada aturan tertulis dalam hal ini, namun akan menjadi suatu celaan/aib untuk mereka yang berani berjalan berduaan, apalagi berlama-lama di suatu tempat tanpa ada muhrim yang menemani.
“Sudah-sudah, dari pada kita ribut di sini, mending kita langsung ke gubuk sawah pak mardi, biar jelas penjelasan mang udin tadi dan kita juga bisa menginterogasi langsung pasangan muda-mudi tersebut.” Pak RT menengahi warga, lanjut memimpin warga berjalan menuju gubuk sawah pak mardi.
“Selamat sore mas, mbak.” Dengan sopan pak RT menyapa sepasang muda-mudi yang sedang berduaan di gubuk sawah mag udin. “Sore pak,” Si cowok membalas sapaan pak RT dengan agak terkejut. “eh, maaf ada apa ya pak, kok rame-rame menemui kami?”. “ya ampun, ini salim dan salma bukan ya?” zaenal dan isterinya yang semenjak mendengar kentongan tadi juga ikut berkumpul bersama warga terkejut melihat dua sejoli yang sepertinya sudah tidak asing lagi bagi mereka berdua. “iya Pak Lik, Bu Lik. Saya salim dan ini adik saya, salma.” Si cowok menjawab sambil menunjuk adiknya.
Kerumunan warga bubar beberapa menit kemudian setelah mengetahui bahwa muda-mudi tersebut hanyalah adik kakak yang ternyata keponakan zaenal. Mereka berniat menyambangi pamannya tersebut setelah sekian lama tidak bertemu karena mereka berdua  sibuk melanjutkan studi di negeri seberang. Paling setahun sekali mereka pulang, dan waktu pulang tersebut mereka belum tentu dapat bertemu dengan pamannya karena waktu liburan yang singkat sekali. Apalagi rumah bapak-ibu mereka terbilang cukup jauh dari rumah pamannya. Butuh waktu kurang lebih dua jam untuk mengunjungi pamannya dari rumahnya.
“Pak Lik, kok rumah pak lik tidak ada perubahan sama sekali ya, masih sama seperti tiga tahun yang lalu waktu kita kemari.” Salim masih terkagum dengan penataan rumah Pak Liknya. “Iya Pak Lik, masih seperti yang dulu. Pokoknya rumah Pak Lik selalu bikin kita betah, juga orang lain mungkin juga betah banget kalau tinggal di sini.” Salma balas melanjutkan komentar kakaknya terkait rumah Pak Liknya yang tidak banyak berubah. “Masa iya tidak ada perubahan sama sekali nang? Kau coba tengok bagian itu” Pak Lik menjawab sambil menunjuk ke arah teras depan rumah. Salim kini sibuk mengamati bagian yang ditunjuk Pak Liknya dengan seksama. “Bukan main indahnya penataan bunga-bunga ini. Tambah segar rasanya dan terkesan lebih natural teras Pak Lik.hehe.”
“Begitulah yang namanya kesederhanaan Le, Nduk,” zaenal berhenti sejenak, kemudian melanjutkan kata-katanya, “jika dengan tatanan yang dulu sudah cukup menentramkan dan membuat  nyaman, mengapa perlu ada yang diubah?” tambah zaenal sambil melirik istrinya. “Benar juga sih pak lik, kebanyakan orang selalu merasa tidak cukup dengan yang sudah ada, sehingga cenderung mengada-ada agar terkesan punya seperti orang lain. Orang lain punya ini, ia juga berusaha agar punya ini, orang lain punya itu, ia juga berusaha agar punya itu. Lupa bahwa sebenarnya yang mereka cari cudah mereka dapatkan.” Salma memberi komentar bijaknya. “tumben kok adik bijak sekali, hehe” tungkas salim yang merasa aneh dengan kata-kata yang tiba-tiba keluar dari adiknya. “yee, apaan sih mas.” Balas adiknya.
Matahari sudah mulai enggan menampakkan wujudnya. Perlahan menghilang bersama irama waktu hingga terdengar sayup-sayup suara adzan maghrib. Suara keributan antara adik-kakak salma dan salim pun tiba-tiba terhenti ketika terdengar adzan maghrib berkumandang. Rasanya ada hawa sejuk yang telah lama menghilang kini hadir secara tiba-tiba tanpa ijin untuk kembali terlebih dahulu. “Mas, mau jama’ah di rumah apa di masjid?” Ayuk berkata santun pada suaminya. “Jama’ah di masjid aja yukk!” seru zaenal kepada kedua keponakannya, juga untuk menjawab pertanyaan istrinya tadi. “Yukk.” Ketiganya pun kompak setuju.
“Assalamu’alaikum.” Tetangga zaenal memberi salam terlebih dahulu kepada rombongan zaenal. “wa’alaikumsalam.”mereka berempat pun kompak menjawab salam. “Ini keponakan mas zaenal yang tadi kita temui di gubuk sawah itu ya mas?”. Tanyanya untuk mengawali perbincangan di perjalanan menuju masjid. “iya dik, ini keponakan saya. Mereka mau menikmati liburan di desa ini katanya. Maklum dik, sudah lama tinggal di kota, katanya kangen dengan suasana desa, jadinya mereka pengen menikmati liburan di sini.” Perbincangan pun tidak berlangsung lama karena jarak rumah zaenal ke masjid cukup dekat, hanya sekitar 50 meter.
Sampai di rumah, salma mengikuti Bu Liknya ke dapur. “Bu Lik mau masak ya? Saya bantuin ya.” Salma terlihat semangat ingin membantu Bu Liknya masak. “Tentu boleh, salma. Tante mau masak sup jagung dan nila goreng kesukaan kalian.” Salma pun semakin terlihat semangat mendengar Bu Liknya akan memasak makanan kesukaannya. “Salma bantuin Bu Lik nyiapin ikan sama penggorengannya ya, biar Bu Lik yang nyiapin bumbunya.”
“Oke, siap laksanakan Bu Lik.”
Di ruang tamu, Pak Lik Zaenal duduk sambil berbincang-bincang dengan salim, ngobrol ngalor-ngidul, mengenai kuliah, teman-teman di negeri perantauan, dan juga kehidupan sosial di tempat ia merantau. Di tengah asyiknya ngobrol, salma mengagetkan keduanya, “Tara, makan malam sudah siap, masakan spesial ala salma dan Bu Lik.” Salma membawa ikan nila serta nasi, sedangkan Bu Liknya membawa piring dan sup jagung. Dengan lahap mereka menyantap menu makan malam tersebut. Hanya menyisakan tulang ikan nila untuk kucing tetangga yang biasanya lewat.
“Pak Lik, Bu Lik, sebenarnya kami datang kemari selain untuk liburan juga karena disuruh Bapak dan Ibu untuk menemui Pak Lik dan Bu Lik.” Zaenal dan ayuk pun saling tatap mendengar salim menjelaskan maksud kedatangan dirinya dan adiknya ke tempat mereka. “Bapak dan Ibu ingin salah satu dari kita menjadi anak angkat Pak Lik dan Bu Lik.” Salim melirik ke arah adiknya, kemudian melanjutkan, “Kata Bapak dan Ibu, sebagai pancingan agar Pak Lik dan Bu Lik segera mendapatkan keturunan. Dan Bapak Ibu berpesan agar Pak Lik dan Bu Lik memilih di antara kami untuk menjadi anak angkat Pak Lik dan Bu Lik.” Air mata pun menetes di antara pelupuk mata zaenal dan ayuk. “Sungguh benar demikian Le, Nduk? Masyaaallah.” Ayuk menatap kedua keponakannya dengan air mata bahagia.
Zaenal dan ayuk adalah sepasang suami istri yang selalu dibilang serasi oleh tetangga, kerabat dan juga keluarganya. Namun, mereka belum dikaruniai seorang buah hati hingga usia 5 tahun pernikahan mereka. Inilah yang membuat mereka berdua sedikit resah. Menurut adat jawa, ada solusi yang agak ganjil dan mungkin hanya segelintir orang yang tahu agar mereka dapat segera mempunyai momongan, yaitu dengan mengangkat anak dari saudara kandungnya. Oleh karena itu, Bapak-Ibu salim dan salma yang peduli akan kegelisahan saudaranya memutuskan demikian. Dan kedua anaknya pun setuju. Bahkan mereka berebut untuk menjadi anak angkat Pak Lik dan Bu Liknya. Toh masalah anak hanya masalah status. Statusnya menjadi anak angkat Pak Lik dan Bu Liknya, tapi hakikatnya tetap menjadi anak kandung Bapak-Ibunya.
“Mas…”
“Iya, Dik…”
“Mimpi itu benar mas. Ternyata di antara kita benar-benar akan ada yang mendua.”
“Maksudnya siapa yang akan mendua dik?”
“Ini tentang mimpi yang ingin aku ceritakan dan aku tanyakan kepada Mas sebelum terjadi keributan tadi sore mas, dan akhirnya mimpi yang hendak kusampaikan tadi sore itu terjawab. Entah Mas, entah aku, entah kita berdua, akan mendua. Mendua dengan calon anak kita Mas. Kasih sayang kita akan terbagi karena sebentar lagi kita mempunyai buah hati, Mas.”
Dan, mereka berdua pun larut dalam syukur.

Yogyakarta, 18 November 2016


Tidak ada komentar: