Halaman

Kamis, 24 November 2016

Tania

Tania

“Kok masih sepi ya, padahal sudah jam setengah enam pagi.” Tania bergumam dalam hati. Melihat kondisi sekitar, kiri kanannya masih sangat sepi. Hanya petugas kereta api yang terlihat. Belum terlihat bakal calon penumpang yang akan menaiki kereta.
Kini ia seorang diri berjalan menuju loket tempat pembelian tiket. Tadi sebenarnya ada teman kos yang mengantarnya, tapi tania terlalu sungkan jika temannya harus menunggunya hingga berangkat. Akhirnya ia menyuruh temannya balik terlebih dahulu. “Aku berani kok mal, tenang aja. Jangan khawatir dengan temanmu ini. Lebih baik kamu mencemaskan kalau nanti pulang tidak membawa pesanan ibu kos tadi. Hehe” seru tania pada teman kosnya sebelum akhirnya temannya itu menurut untuk balik duluan. Iya, sebenarnya tadi ibu kos mereka memang berpesan kepada mala yang mengantar tania untuk sekalian ke pasar membeli sapu ijuk untuknya.
“Pak, tiket kereta ke bandung satu ya!” Ucap tania pada petugas penjual tiket.
“Untuk pemberangkatan pagi ini mbak?” Petugas tiket bertanya dengan suara lirih. Sepertinya masih ngantuk karena petugas tersebut dapat shif jam kerja dari jam tujuh malam hingga jam tujuh pagi.
“Iya pak, untuk pemberangkatan pagi ini jam setengah tujuh. Masih ada kursi yang kosong kan pak?”
“Masih mbak. Kebetulan sekali ini masih ada satu tiket. Penumpang-penumpang sekarang jarang sekali yang membeli tiket pada hari-H saat mereka mau berangkat mbak. Umumnya mereka memesan tiket jauh-jauh hari sebelum keberangkatan, dan pembeliannya pun sudah jarang pula yang datang langsung ke loket ini. Zaman sudah canggih mbak. Pembelian tiketnya bisa pakai HP sekarang.
“Syukurlah kalau gitu pak.” Balas tania sambil menyodorkan uang dan mengambil tiketnya. “Pantesan saja pak dari tadi saya lihat kok masih sepi, saya kira ada masalah dengan dengan jadwal keberangkatan kereta pagi ini.” lanjut tania.
“Untuk jadwal pemberangkatannya tetap mbak, cuma biasanya penumpang-penumpang sekarang datangnya mepet-mepet waktu kereta sudah mau berangkat. Umumnya stasiun ini ramai lima belas menit sebelum kereta berangkat.” Jelas petugas tiket.
Tanpa terasa, obrolan antara petugas tiket dengan tania pun menjadi semakin asyik, sehingga tanpa sadar ternyata sebentar lagi adalah jam kereta siap untuk berangkat. Penumpang-penumpang yang tadi tidak kelihatan, stasiun yang melompong kini terhihat begitu ramai. Suara peringatan petugas untuk para penumpang agar segera masuk ke dalam kereta juga sudah terdengar. Saat itu, obrolan tania dan petugas tiket terpaksa berhenti.
Ini adalah kali pertama tania naik kereta. Setelah belajar satu semester di kota pelajar, liburan semester ini ia ingin pulang untuk menikmati liburan bersama keluarga dan teman-teman lama di tanah kelahirannya, bandung. Tercatat sebagai mahasiswa yang berani mengambil resiko. Itulah tania. Dalam catatan sejarah perjalanannya hingga ke kota pelajar tersebut, tania hanya mengandalkan satu jurus, yaitu mau.
Tania duduk bersebelahan dengan ibu-ibu yang membawa anaknya yang masih sangat kecil, kira-kira umur 2 tahun. “Pagi Bu.” Sapa tania pada ibu tersebut. “Pagi dek.” Jawab ibu itu halus. “Itu anaknya ya bu?” Tania bertanya lagi sambil senyum-senyum pada anak ibu tersebut. “Iya dek, ini anak saya.”
“Lucu sekali bu anaknya, boleh saya gendong?” Pinta tania.
“Boleh dek, tapi apa malah tidak merepotkan?” Ibu itu sedikit ragu.
“Nggak kok bu, saya malah senang. Anak ibu seperti adek saya. Nggemesin kalau punya adek sekecil ini.”
“Umurnya berapa dek?”
“Dua tahun bu.”
“Wah, seumuran berarti dek. Anak saya ini juga dua tahun umurnya.”
Sepertinya tania sudah begitu mahir menggendong anak kecil. Anak ibu itu dibuat ketawa terus dengan godaan tania. Pengalaman mempunyai adek yang seumuran dengan anak kecil itu menjadikan tania terbiasa bagaimana menangani anak kecil.
“Sudah kayak ibu saja kamu dek. Sepertinya sudah cocok jadi ibu.” Goda ibu tersebut pada tania. “Saya masih kecil bu, umur saya saja baru 18 tahun. Masih sekolah juga bu, masak sudah pantas jadi ibu?” Tania mengelak dengan jawaban sekenanya. “Dek, menjadi ibu yang baik itu bukan masalah umur. Umur yang matang tak menjamin ia akan menjadi ibu yang dewasa, yang terpenting ada pada seorang ibu itu sendiri, apakah ia sudah siap apa belum. Banyak yang sudah menikah dek, tapi banyak pula yang belum siap jadi ibu.”
“Maksudnya siap bagaimana bu?”
“Suatu saat kamu akan tahu dek. Untuk sekarang ibu hanya bisa memberi pesan, belajarlah yang rajin untuk calon anak-anakmu besok agar darimu terlahir generasi pembelajar sejati. Juga latihlah dirimu, agar mempunyai hati yang lapang. Agar jika terjadi masalah padamu dan keluargamu, kau tak mudah berkeluh kesah pada orang lain.” Ibu itu menunduk, sambil menyeka air mata tipis yang hampir menetes.
“Iya bu. Tapi ibu kenapa malah menangis?”
Ibu itu masih terdiam.
Tania tidak berani bertanya lagi, namun akhirnya ibu itu menjawab.
“Maaf dek, sebenarnya pesan itu untuk diriku sendiri. Harusnya pesan itu ku pegang seteguh-teguhnya. Namun kini seakan tiada gunanya bagiku. Semua telah terlanjur terjadi. Jadi saya pesankan pada adek agar adek tidak mempunyai nasib yang sama denganku.” Kini isak ibu itu semakin menjadi.
Tania masih tidak mengerti. Ibu itu juga tidak melanjutkan penjelasannya hingga kereta berhenti di stasiun tujuan akhir.


Yogyakarta, 25 November 2015

Tidak ada komentar: