Tania
“Kok masih sepi ya, padahal sudah jam setengah enam pagi.” Tania bergumam
dalam hati. Melihat kondisi sekitar, kiri kanannya masih sangat sepi. Hanya petugas
kereta api yang terlihat. Belum terlihat bakal calon penumpang yang akan
menaiki kereta.
Kini ia seorang diri berjalan menuju loket tempat pembelian tiket. Tadi sebenarnya
ada teman kos yang mengantarnya, tapi tania terlalu sungkan jika temannya harus
menunggunya hingga berangkat. Akhirnya ia menyuruh temannya balik terlebih
dahulu. “Aku berani kok mal, tenang aja. Jangan khawatir dengan temanmu ini.
Lebih baik kamu mencemaskan kalau nanti pulang tidak membawa pesanan ibu kos
tadi. Hehe” seru tania pada teman kosnya sebelum akhirnya temannya itu menurut
untuk balik duluan. Iya, sebenarnya tadi ibu kos mereka memang berpesan kepada
mala yang mengantar tania untuk sekalian ke pasar membeli sapu ijuk untuknya.
“Pak, tiket kereta ke bandung satu ya!” Ucap tania pada petugas penjual
tiket.
“Untuk pemberangkatan pagi ini mbak?” Petugas tiket bertanya dengan suara
lirih. Sepertinya masih ngantuk karena petugas tersebut dapat shif jam kerja
dari jam tujuh malam hingga jam tujuh pagi.
“Iya pak, untuk pemberangkatan pagi ini jam setengah tujuh. Masih ada
kursi yang kosong kan pak?”
“Masih mbak. Kebetulan sekali ini masih ada satu tiket. Penumpang-penumpang
sekarang jarang sekali yang membeli tiket pada hari-H saat mereka mau berangkat
mbak. Umumnya mereka memesan tiket jauh-jauh hari sebelum keberangkatan, dan
pembeliannya pun sudah jarang pula yang datang langsung ke loket ini. Zaman sudah
canggih mbak. Pembelian tiketnya bisa pakai HP sekarang.
“Syukurlah kalau gitu pak.” Balas tania sambil menyodorkan uang dan
mengambil tiketnya. “Pantesan saja pak dari tadi saya lihat kok masih sepi,
saya kira ada masalah dengan dengan jadwal keberangkatan kereta pagi ini.”
lanjut tania.
“Untuk jadwal pemberangkatannya tetap mbak, cuma biasanya
penumpang-penumpang sekarang datangnya mepet-mepet waktu kereta sudah mau
berangkat. Umumnya stasiun ini ramai lima belas menit sebelum kereta berangkat.”
Jelas petugas tiket.
Tanpa terasa, obrolan antara petugas tiket dengan tania pun menjadi
semakin asyik, sehingga tanpa sadar ternyata sebentar lagi adalah jam kereta
siap untuk berangkat. Penumpang-penumpang yang tadi tidak kelihatan, stasiun
yang melompong kini terhihat begitu ramai. Suara peringatan petugas untuk para
penumpang agar segera masuk ke dalam kereta juga sudah terdengar. Saat itu,
obrolan tania dan petugas tiket terpaksa berhenti.
Ini adalah kali pertama tania naik kereta. Setelah belajar satu semester
di kota pelajar, liburan semester ini ia ingin pulang untuk menikmati liburan
bersama keluarga dan teman-teman lama di tanah kelahirannya, bandung. Tercatat sebagai
mahasiswa yang berani mengambil resiko. Itulah tania. Dalam catatan sejarah
perjalanannya hingga ke kota pelajar tersebut, tania hanya mengandalkan satu
jurus, yaitu mau.
Tania duduk bersebelahan dengan ibu-ibu yang membawa anaknya yang masih
sangat kecil, kira-kira umur 2 tahun. “Pagi Bu.” Sapa tania pada ibu tersebut. “Pagi
dek.” Jawab ibu itu halus. “Itu anaknya ya bu?” Tania bertanya lagi sambil
senyum-senyum pada anak ibu tersebut. “Iya dek, ini anak saya.”
“Lucu sekali bu anaknya, boleh saya gendong?” Pinta tania.
“Boleh dek, tapi apa malah tidak merepotkan?” Ibu itu sedikit ragu.
“Nggak kok bu, saya malah senang. Anak ibu seperti adek saya. Nggemesin kalau
punya adek sekecil ini.”
“Umurnya berapa dek?”
“Dua tahun bu.”
“Wah, seumuran berarti dek. Anak saya ini juga dua tahun umurnya.”
Sepertinya tania sudah begitu mahir menggendong anak kecil. Anak ibu itu
dibuat ketawa terus dengan godaan tania. Pengalaman mempunyai adek yang
seumuran dengan anak kecil itu menjadikan tania terbiasa bagaimana menangani
anak kecil.
“Sudah kayak ibu saja kamu dek. Sepertinya sudah cocok jadi ibu.” Goda ibu
tersebut pada tania. “Saya masih kecil bu, umur saya saja baru 18 tahun. Masih sekolah
juga bu, masak sudah pantas jadi ibu?” Tania mengelak dengan jawaban sekenanya.
“Dek, menjadi ibu yang baik itu bukan masalah umur. Umur yang matang tak
menjamin ia akan menjadi ibu yang dewasa, yang terpenting ada pada seorang ibu
itu sendiri, apakah ia sudah siap apa belum. Banyak yang sudah menikah dek,
tapi banyak pula yang belum siap jadi ibu.”
“Maksudnya siap bagaimana bu?”
“Suatu saat kamu akan tahu dek. Untuk sekarang ibu hanya bisa memberi pesan,
belajarlah yang rajin untuk calon anak-anakmu besok agar darimu terlahir
generasi pembelajar sejati. Juga latihlah dirimu, agar mempunyai hati yang
lapang. Agar jika terjadi masalah padamu dan keluargamu, kau tak mudah berkeluh
kesah pada orang lain.” Ibu itu menunduk, sambil menyeka air mata tipis yang
hampir menetes.
“Iya bu. Tapi ibu kenapa malah menangis?”
Ibu itu masih terdiam.
Tania tidak berani bertanya lagi, namun akhirnya ibu itu menjawab.
“Maaf dek, sebenarnya pesan itu untuk diriku sendiri. Harusnya pesan itu
ku pegang seteguh-teguhnya. Namun kini seakan tiada gunanya bagiku. Semua telah
terlanjur terjadi. Jadi saya pesankan pada adek agar adek tidak mempunyai nasib
yang sama denganku.” Kini isak ibu itu semakin menjadi.
Tania masih tidak mengerti. Ibu itu juga tidak melanjutkan penjelasannya
hingga kereta berhenti di stasiun tujuan akhir.
Yogyakarta,
25 November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar