Halaman

Minggu, 20 November 2016

Meski Tanpa Sepatah Kata

Meski Tanpa Sepatah Kata

 “Tentang Dokter Kecilku”
Pagi masih sangat dingin kala itu. Tapi mentari sudah mulai tampak gagah dengan semburatnya. Anak-anak se-sekolahan kami pun masih sibuk dengan rutinitas di rumah mereka masing-masing. Ada yang membantu orang tua menyapu rumah, ada yang memberi makan ayam piaraannya, ada yang menyiapkan mainan untuk bermain di sekolah, dan ada pula yang mencuci sepeda untuk persiapan balapan di jam istirahat sekolah. Di antara mereka belum ada satupun yang bersiap-siap untuk mandi atau sarapan. Berbeda dengan kami, pukul 06.00 kami sudah rapi, sudah siap untuk berangkat.
Di antara kalian mungkin lebih bangga jika berangkat ke sekolah diantar oleh orang tua dengan motor atau mobil. Pagi itu, kami pun sangat senang. Namun, bukan karena akan diantar dengan mobil atau pun motor. Kami senang karena kami akan berangkat dengan menggunakan dokar. Dokar merupakan alat transportasi tradisional yang menggunakan kuda sebagai penariknya. Di antara kalian ada yang belum pernah naik dokar? Ah, sayang sekali kalau belum.
Mungkin dokar bagi umumnya orang dianggap sebagai alat transportasi kuno dan jadul. Tapi apalah artinya jadul dan kuno bagi kami yang waktu itu baru memasuki kelas 5 SD. Kuno dan jadul bukanlah jadi masalah. Bagi anak sekecil kami yang penting sesuatu itu menyenangkan. Bahkan bagi kami waktu itu naik dokar menjadi sangat menarik dan sangat cocok bagi kami, anak desa. Bukankah untuk merasakan kesenangan tak ada syarat harus menggunakan fasilitas yang mewah atau pun modern? Fasilitas hanyalah piranti, karena sesungguhnya kesenangan itu tergantung bagaimana kita dapat menikmati fasilitas itu.
“Sudah siap berangkat? Tidak ada barang yang tertinggal kan?” Kepala sekolah memastikan tidak ada perlengkapan yang tertinggal. “Siap Pak.” Kami pun menjawab dengan semangat. “Kalau gitu, hati-hati ya di sananya. Ingat, kalian nanti ada di sekolah lain, jangan bikin polah aneh-aneh dan jangan bikin ribut!” Pesan pak kepala sekolah kami setelah kami berpamitan menyalami beliau. Sambil cengar-cengir dan saling lirik kami pun mengiyakan pesan beliau. “Ok Pak.”
“Sudah cocok jadi dokter belum? Hehe” Rendi bertanya sambil bergaya ala dokter. “Cocok. Cocok banget. Jadi pasien yang siap disuntik.” Selvi menjawab dengan asal, dan spontan kami pun tertawa.
Pagi itu kami memakai seragam yang tidak biasa. Kami memakai seragam serba putih. Atasan putih, bawahan juga putih. Hari itu adalah hari pertama kami tidak berangkat ke sekolah kami sendiri. Kami bertiga berangkat ke sekolah SMP di dekat kecamatan. Kami bertiga ditunjuk pihak sekolah untuk menjadi delegasi sekolah untuk mengikuti kegiatan orientasi dokter kecil bersama dengan anak-anak sekolah lain se-kecamatan.
Meski kita tahu bahwa dokar jalannya tidak bisa secepat motor atau alat transportasi modern lainnya, tapi setidaknya kita bisa sampai di tempat tujuan tepat waktu, tidak telat. Selama perjalanan kita juga bisa mengobrol santai sambil mengamati sekeliling.
Sampai di sekolah tempat orientasi dokter kecil tersebut, kami diminta oleh petugas presensi untuk mengisi daftar hadir terlebih dahulu dan setelah itu kami diarahkan ke kelas kami. Saat kami masuk, kelas sudah sangat ramai. Tapi masih tersisa beberapa tempat duduk kosong. Aku duduk bersama rendi, sedangkan selvi duduk bersama anak dari sekolah lain. Kelasnya sangat padat. Dua kelas digabung menjadi satu. Kalau dihitung, mungkin kira-kira jumlah siswa-siswi yang ikut orientasi jumlahnya kurang lebih 150 anak.
“Man, banyak banget ya siswa yang ikut. Pasti mereka anak-anak pinter semua.” Sambil melihat sekeliling rendi berkata demikian. “Iya, ren. Kayak mau konser.” Aku pun asal menimpali, padahal belum pernah nonton konser. Setelah bangku penuh, acara pembukaan pun dimulai. Tepat pukul 07.30 acara dimulai. Setelah acara pembukaan, acara selanjutnya yaitu acara inti, yakni materi. Materi diberikan oleh dokter yang biasa bertugas di puskesmas kecamatan. Masing-masing dokter memberikan materi sesuai topik tertentu yang berbeda-beda.
“Aku capek sekali man dari tadi nulis terus.”Ucap rendi.
Aku belum menanggapinya.
“Man..” kini dia menyikutku karena dia tidak kutanggapi.
“Ada ada ren?”
“Hayo, lihat siapa?” Ternyata rendi malah mengalihkan pembicaraan.
“Jadi gara-gara itu to?” Rendi mulai penasaran. Sambil menunjuk seseorang.
“Eh, itu siapa?” Tanyanya lagi.
“Nggak tahu ren.” Aku berpura-pura acuh atas pertanyaannya, sambil pura-pura menulis apa yang disampaikan Bu Dokter. Waktu itu materinya tentang bagaimana cara memberi penanganan pertama jika terjadi kecelakaan.
Waktu istirahat tiba. Setiap siswa sebenarnya boleh jajan sesukanya. Namun, karena dari pihak penyelenggara acara sudah menyediakan snack, jadinya mereka banyak yang tidak jajan. Snack yang diberikan sudah cukup banyak soalnya. Aku pun masih belum terlepas dari teman-temanku, rendi dan selvi. Kami bertiga masih bersama hingga jam istirahat. Belum berani berpisah  meskipun di antara kita sebelumnya sudah mengenal beberapa siswa/siswi dari sekolah lain. Tapi entah kenapa kami masih enggan untuk berpisah untuk menemui kenalan-kenalan kami.
Astaga. Ketika waktu istirahat tinggal lima menit lagi aku pun melihatnya. Si dia yang disebut-sebut rendi di kelas. Ah, rasanya tidak karuan. Antara senang dan grogi, ketika seorang anak ingusan kelas 5 SD melihat lawan jenisnya yang mulai menarik perhatiannya.
Entah karena apa ia mulai menarik perhatianku. Ada sesuatu yang disebut daya pikat dari dirinya  mungkin. Pandanganku dulu, sebagai anak kecil yang masih sangat picisan, seorang wanita idaman adalah wanita yang cantik, baik dan pintar. Dan itu ada pada dirinya. Meski kata orang-orang cantik itu relatif dan bisa dimanipulasi, baik itu kadang tipuan, dan pintar/kepandaian itu bisa diasah. Bagiku, cantiknya khas bukan buatan (make up), kebaikannya juga alamiah dan pintarnya itu memang sudah dari sananya. Dan, bagiku, waktu 3 hari cukup untuk membuktikan semua itu. Sekedar mengenalnya tanpa sepatah kata yang terlontar dariku untuknya.

Sejak hari pertama mengenalmu, ada gemuruh yang menggebu-gebu
Meski tanpa sepatah kata,
Hari kedua aku semakin ingin mengenalmu, ada tabir yang terungkap darimu
Meski tanpa sepatah kata,
Hari ketiga pun aku semakin ingin mengenalmu lagi, ada yang harus merelakanmu
Meski tanpa sepatah kata.

Di hari ketiga, haruskah kubilang itu sebagai suatu perpisahan? Bukankah kita tak pernah berpisah? Bukankah tak pernah ada tali yang mengikat? Perpisahan raga tak lebih menyakitkan dari pada perpisahan rasa. Semoga kita dapat bertemu kembali dengan rasa yang sama.

Yogyakarta, 21 November 2016

Tidak ada komentar: