Meski
Tanpa Sepatah Kata
“Tentang Dokter Kecilku”
Pagi
masih sangat dingin kala itu. Tapi mentari sudah mulai tampak gagah dengan
semburatnya. Anak-anak se-sekolahan kami pun masih sibuk dengan rutinitas di
rumah mereka masing-masing. Ada yang membantu orang tua menyapu rumah, ada yang
memberi makan ayam piaraannya, ada yang menyiapkan mainan untuk bermain di
sekolah, dan ada pula yang mencuci sepeda untuk persiapan balapan di jam
istirahat sekolah. Di antara mereka belum ada satupun yang bersiap-siap untuk
mandi atau sarapan. Berbeda dengan kami, pukul 06.00 kami sudah rapi, sudah
siap untuk berangkat.
Di
antara kalian mungkin lebih bangga jika berangkat ke sekolah diantar oleh orang
tua dengan motor atau mobil. Pagi itu, kami pun sangat senang. Namun, bukan
karena akan diantar dengan mobil atau pun motor. Kami senang karena kami akan
berangkat dengan menggunakan dokar. Dokar merupakan alat transportasi tradisional
yang menggunakan kuda sebagai penariknya. Di antara kalian ada yang belum
pernah naik dokar? Ah, sayang sekali kalau belum.
Mungkin
dokar bagi umumnya orang dianggap sebagai alat transportasi kuno dan jadul. Tapi
apalah artinya jadul dan kuno bagi kami yang waktu itu baru memasuki kelas 5
SD. Kuno dan jadul bukanlah jadi masalah. Bagi anak sekecil kami yang penting
sesuatu itu menyenangkan. Bahkan bagi kami waktu itu naik dokar menjadi sangat
menarik dan sangat cocok bagi kami, anak desa. Bukankah untuk merasakan
kesenangan tak ada syarat harus menggunakan fasilitas yang mewah atau pun
modern? Fasilitas hanyalah piranti, karena sesungguhnya kesenangan itu
tergantung bagaimana kita dapat menikmati fasilitas itu.
“Sudah
siap berangkat? Tidak ada barang yang tertinggal kan?” Kepala sekolah
memastikan tidak ada perlengkapan yang tertinggal. “Siap Pak.” Kami pun
menjawab dengan semangat. “Kalau gitu, hati-hati ya di sananya. Ingat, kalian
nanti ada di sekolah lain, jangan bikin polah
aneh-aneh dan jangan bikin ribut!” Pesan pak kepala sekolah kami setelah kami
berpamitan menyalami beliau. Sambil cengar-cengir dan saling lirik kami pun
mengiyakan pesan beliau. “Ok Pak.”
“Sudah
cocok jadi dokter belum? Hehe” Rendi bertanya sambil bergaya ala dokter. “Cocok.
Cocok banget. Jadi pasien yang siap disuntik.” Selvi menjawab dengan asal, dan spontan
kami pun tertawa.
Pagi
itu kami memakai seragam yang tidak biasa. Kami memakai seragam serba putih. Atasan
putih, bawahan juga putih. Hari itu adalah hari pertama kami tidak berangkat ke
sekolah kami sendiri. Kami bertiga berangkat ke sekolah SMP di dekat kecamatan.
Kami bertiga ditunjuk pihak sekolah untuk menjadi delegasi sekolah untuk
mengikuti kegiatan orientasi dokter kecil bersama dengan anak-anak sekolah lain
se-kecamatan.
Meski
kita tahu bahwa dokar jalannya tidak bisa secepat motor atau alat transportasi
modern lainnya, tapi setidaknya kita bisa sampai di tempat tujuan tepat waktu,
tidak telat. Selama perjalanan kita juga bisa mengobrol santai sambil mengamati
sekeliling.
Sampai
di sekolah tempat orientasi dokter kecil tersebut, kami diminta oleh petugas
presensi untuk mengisi daftar hadir terlebih dahulu dan setelah itu kami
diarahkan ke kelas kami. Saat kami masuk, kelas sudah sangat ramai. Tapi masih
tersisa beberapa tempat duduk kosong. Aku duduk bersama rendi, sedangkan selvi
duduk bersama anak dari sekolah lain. Kelasnya sangat padat. Dua kelas digabung
menjadi satu. Kalau dihitung, mungkin kira-kira jumlah siswa-siswi yang ikut
orientasi jumlahnya kurang lebih 150 anak.
“Man,
banyak banget ya siswa yang ikut. Pasti mereka anak-anak pinter semua.” Sambil melihat
sekeliling rendi berkata demikian. “Iya, ren. Kayak mau konser.” Aku pun asal
menimpali, padahal belum pernah nonton konser. Setelah bangku penuh, acara
pembukaan pun dimulai. Tepat pukul 07.30 acara dimulai. Setelah acara pembukaan,
acara selanjutnya yaitu acara inti, yakni materi. Materi diberikan oleh dokter
yang biasa bertugas di puskesmas kecamatan. Masing-masing dokter memberikan
materi sesuai topik tertentu yang berbeda-beda.
“Aku
capek sekali man dari tadi nulis terus.”Ucap rendi.
Aku
belum menanggapinya.
“Man..”
kini dia menyikutku karena dia tidak kutanggapi.
“Ada
ada ren?”
“Hayo,
lihat siapa?” Ternyata rendi malah mengalihkan pembicaraan.
“Jadi
gara-gara itu to?” Rendi mulai penasaran. Sambil menunjuk seseorang.
“Eh,
itu siapa?” Tanyanya lagi.
“Nggak
tahu ren.” Aku berpura-pura acuh atas pertanyaannya, sambil pura-pura menulis
apa yang disampaikan Bu Dokter. Waktu itu materinya tentang bagaimana cara
memberi penanganan pertama jika terjadi kecelakaan.
Waktu
istirahat tiba. Setiap siswa sebenarnya boleh jajan sesukanya. Namun, karena
dari pihak penyelenggara acara sudah menyediakan snack, jadinya mereka banyak
yang tidak jajan. Snack yang diberikan sudah cukup banyak soalnya. Aku pun masih
belum terlepas dari teman-temanku, rendi dan selvi. Kami bertiga masih bersama
hingga jam istirahat. Belum berani berpisah
meskipun di antara kita sebelumnya sudah mengenal beberapa siswa/siswi
dari sekolah lain. Tapi entah kenapa kami masih enggan untuk berpisah untuk
menemui kenalan-kenalan kami.
Astaga.
Ketika waktu istirahat tinggal lima menit lagi aku pun melihatnya. Si dia yang
disebut-sebut rendi di kelas. Ah, rasanya tidak karuan. Antara senang dan
grogi, ketika seorang anak ingusan kelas 5 SD melihat lawan jenisnya yang mulai
menarik perhatiannya.
Entah
karena apa ia mulai menarik perhatianku. Ada sesuatu yang disebut daya pikat
dari dirinya mungkin. Pandanganku dulu, sebagai
anak kecil yang masih sangat picisan, seorang wanita idaman adalah wanita yang
cantik, baik dan pintar. Dan itu ada pada dirinya. Meski kata orang-orang cantik
itu relatif dan bisa dimanipulasi, baik itu kadang tipuan, dan pintar/kepandaian
itu bisa diasah. Bagiku, cantiknya khas bukan buatan (make up), kebaikannya
juga alamiah dan pintarnya itu memang sudah dari sananya. Dan, bagiku, waktu 3
hari cukup untuk membuktikan semua itu. Sekedar mengenalnya tanpa sepatah kata
yang terlontar dariku untuknya.
Sejak
hari pertama mengenalmu, ada gemuruh yang menggebu-gebu
Meski
tanpa sepatah kata,
Hari
kedua aku semakin ingin mengenalmu, ada tabir yang terungkap darimu
Meski
tanpa sepatah kata,
Hari
ketiga pun aku semakin ingin mengenalmu lagi, ada yang harus merelakanmu
Meski
tanpa sepatah kata.
Di
hari ketiga, haruskah kubilang itu sebagai suatu perpisahan? Bukankah kita tak
pernah berpisah? Bukankah tak pernah ada tali yang mengikat? Perpisahan raga
tak lebih menyakitkan dari pada perpisahan rasa. Semoga kita dapat bertemu
kembali dengan rasa yang sama.
Yogyakarta,
21 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar