Halaman

Rabu, 16 November 2016

Hidup Itu Sendiri Adalah Bukti, Bukan untuk Dibuktikan Lagi

“Man, akan kukatakan sebuah rahasia mumpung aku masih sempat mengatakannya!”
Hardiman mendengarkan.
Mboh Pah pun melanjutkan, “Kami, kaum ibu, dalam hubungannya dengan anak, diciptakan secara berbeda dibandingkan dengan kaum ayah. Kami memiliki sesuatu yang tidak dimiliki kaummu. Sesuatu itu ada dalam hati kami. Hati kami memberikan kekuatan kepada kami untuk bisa mandiri dalam mengasuh dan merawat anak-anak kami. Coba kau renungkan. Dulu, semasa perjuangan membela tanah air, kaum laki-laki banyak turun ke medan laga, berperang melawan penjajah. Para istri ditinggal dengan hati yang pilu sembari hatinya selalu menjeritkan do’a agar suaminya selamat di medan tempur dan kembali ke rumah mereka.  Di antara suami itu, memang ada yang pulang kembali. Tetapi, banyak pula yang gugur. Demi bangsa dan negara. Apa pernah kau pikir, bagaimana perasaan istri ketika suaminya tak pulang dari medan laga, sedangkan anak-anaknya selalu bertanya tentang ayahnya? Ketahuilah, Man. Kenyataan menjadi seorang ibu yang bisa membesarkan anak-anaknya sendiri tanpa suami di sisinya adalah kenyataan sejarah. Sejarah bangsa sendiri. Sejarah kami, kaum ibu! Apakah sejarah memaksanya?  Tidak, Man! Bahkan, merekalah yang memaksa sejarah hingga tunduk kepada mereka. Karena itu, Man. Menjadi orang tua tunggal bila orang tua itu adalah seorang ibu lebih niscaya dilakukan dibanding seorang ayah. Engkau, Man, pada akhirnya tetap membutuhkan seorang istri. Dan, kedua anakmu membutuhkan seorang ibu. Tetapi bila yang meninggal itu adalah engkau, istrimu tak membutuhkan seorang suami lagi. Istrimu bisa memerankan diri sebaik-baiknya sebagai ayahnya. Itulah, Le, rahasia yang harus kau ketahui, kau camkan baik-baik.”
Dan, ternyata, apa yang dikatakan Mbok Pah itu memancing perbincangan yang hangat di pagi setelah subuh itu. Sembari Mbok Pah menyalakan tungku dapurnya, si mungil Imran terlelap di keranjang tidurnya, sedangkan Pras mengayun-ayunkan keranjang tidur adiknya yang terbuat dari kayu, Mbok Pah terus berbicara. Membuat Hardiman diam sembari berpikir keras.
“Jangan berpikir bahwa seorang istri tak bisa bekerja seperti suaminya. Kau salah bila berpikir seperti itu, Man. Kalau istri tak bisa bekerja, bagaimana ia akan menghidupi anak-anak yang ditinggal mati ayahnya di medan laga itu? Kau benar, kekuatan seorang istri tak sebanding dengan seorang suami. Tetapi, untuk apa kekuatan itu? Untuk bekerjakah? Untuk mengumpulkan uang banyakkah? Oh, Man, anak-anak tak membutuhkan uang yang banyak. Mereka membutuhkan uang yang cukup. Hidup sederhana. Dan Allah meletakkan kemampuan pada diri seorang ibu untuk melakukan hal seperti itu. Orang berkata bahwa akal seorang separuh dari akal laki-laki. Mungkin itu benar. Tetapi, mungkin juga tak benar. Tetapi, mengasuh dan merawat anak tak semata-mata persoalan akal, Man. Bahkan, lebih dari itu, seseorang memerlukan hati yang diberkahi cinta kasih dan ketulusan untuk bisa mengasuh dan merawat anak dengan sebaik-baiknya. Hati yang seperti itu hanya dimiliki seorang ibu, yang kaummu menyebutnya sebagai makhluk ‘separuh akal’ itu. Dengan akal, seorang ayah memang bisa membuat anaknya cerdas, pintar, dan mendapatkan ranking di sekolah. Tetapi, dengan hati, seorang ibu bisa mendekatkan anak-anaknya kepada Tuhan yang Maha Cinta dan Maha Kasih.”
“Karena itu, Man,” Mbok Pah melanjutkan, “tanggung jawabmu sekarang berat. Ke depannya, lebih berat lagi. Keputusan itu ada di tanganmu sendiri, apakah kau akan menikah lagi atau tidak. Mbokmu ini hanya bisa berkata-kata seperti itu. Kuharap, kau sudi mempertimbangkannya.”
Seakan tak punya kemampuan untuk membantah, Hardiman hanya diam saja. Ada bagian-bagian pada perkataan Mbok Pah yang tidak ia setujui sebenarnya. Ia ingin mengatakan ketidaksetujuannya. Tetapi, apa? Di mana?
“Kita buktikan saja, Mbok.” Akhirnya, Hardiman hanya bisa berkata seperti itu.
“Buktikan apa?”
“Bahwa saya mampu, Mbok.”
“Kau ingin membuktikan kepada siapa? Apakah persoalan ini soal bukti-membukti, Man?”
Hardiman diam lagi.
“Buka begitu, Le,” Mbok Pah berkata lagi. “Untuk apa bukti, padahal ini soal hidup? Hidup itu sendiri adalah bukti, bukan untuk dibuktikan lagi. Apa kau berpikir bahwa kau ingin membuktikan mampu mengasuh dan merawat kedua anakmu tanpa kehadiran istri lagi di sampingmu, lalu kau katakan bahwa kau adalah laki-laki terhebat di dunia ini, Man? Oh, jangan berpikir seperti itu. Aku tak berkata bahwa kau tak akan mampu, Man. Aku hanya mengatakan bahwa tanggung jawabmu lebih berat dibanding-misalnya-kau tiada sedang istrimu masih ada. Aku hanya mengatakan, seorang istri tak terlalu membutuhkan suami lagi, sekaligus sosok seorang ayah bagi anak-anaknya. Berbeda dengan kau. Kau lebih membutuhkan kehadiran istri lagi, dan anak-anakmu membutuhkan sosok ibu. Itu saja, Man.”
“Aku sayang Kas, Mbok. Mengertilah. Aku terlalu mencintainya kini. Walaupun cintaku tak bisa dilihat dan dirasakannya lagi.”
“Iya, iya. Aku tahu.”
“Ketika masih hidup, aku telah menyia-nyiakan cintanya, Mbok. Pahamilah. Aku tak ingin menyia-nyiakan cintanya lagi, walau ia sudah tak mendampingiku.”
Kali ini, Mbok Pah yang terdiam.
Pras masih mengayun-ayunkan keranjang tidur adiknya.
Di luar sana, matahari semakin menyembul dari balik pepohonan.


Kutipan dari sebuah novel “Kerling si Janda” karya Taufiqurrahman al-Azizy.

Tidak ada komentar: