Kapan Lagi Aya Dorong Motor?
Masih belum ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Namun aya tak berkecil
hati, ia terus mencoba mengetuk pintu barangkali papa atau mamanya mau
membukakan dan mau mendengarkan alasan kenapa ia terlambat pulang ke rumah.
“Pa, mama mau bukain pintunya
untuk aya. Boleh ya? Kasihan dia dari jam sepuluh menunggu di luar. Sebentar lagi hujan pa, udah
mendung banget soalnya.” Mendung memang sudah menggelayut, menyelimuti malam
yang tak biasanya terlihat lebih gelap sebelum waktunya, pertanda hujan akan
segera turun, padahal sudah masuk musim kemarau.
“Nggak usah repot-repot bukain pintu untuk anak yang tidak bisa menepati
janji ma.”
“Tapi pa?”
Mengingat dirinya sebagai istri yang harus selalu berperan sebagai istri
yang baik dan berbakti pada suami, ia urungkan niatnya untuk membantah lebih
lanjut suaminya. Begitu kiranya mama aya dibesarkan oleh keluarganya. Sebagai
seorang istri ia harus menurut pada suami. Tapi sebagai seorang ibu, ia juga punya
naluri keibuan yang amat hebat terhadap anaknya. Ia takut kalau aya sampai
sakit kalau harus tidur di luar.
“Pa, ma, bukain pintunya, please! Aya kapok pa, ma. Aya janji tidak akan
mengulanginya lagi.” Suara aya terdengar lebih keras dari luar, suaranya kini
terdengar lebih memelas. Ibunya sudah tidak kuasa menahan tangisnya. Kini
ibunya langsung masuk ke dalam kamar untuk menghindari suara aya. Ia tak kuasa
mendengar suara memelas anaknya yang ia tak bisa memenuhi permintaan anaknya. Berbeda
dengan sang suami. Suaminya dibesarkan sebagai seorang yang terdidik dengan
kedisplinan tingkat tinggi, ia tetap keukeuh dengan keputusan awalnya. Sekali
melanggar, harus berani menerima konsekuensi dan bertanggung jawab atas
tindakannya. Begitu ia menerapkan kedisiplinan pada aya, anak satu-satunya.
“Tak adakah kata maaf untuk anaknya sendiri?” Kiranya begitu yang mama
aya tanyakan pada batinnya sendiri. Ia hanya patuh sebagai istri. Ia tak ingin
membuat masalah lebih genting lagi dengan ia membantah suaminya. Sepertinya
diam adalah benar-benar emas baginya ketika ia harus rela mengalah untuk tidak
mendebat suaminya atas aturan yang sudah disepakati bersama.
Tepat saat adzan subuh berkumandang, aya terbangun. Malam itu aya
terpaksa tidur di kursi teras depan rumah. Tak ada dispensasi dari papanya
sehingga ia tetap tak diberikan ijin masuk rumah malam itu. Dengan segera aya
bersiap untuk menuju musholla dekat rumahnya, meninggalkan tas yang penuh
dengan buku.
“Untung tadi malam tidak hujan.” Aya bersyukur dalam hati. Tak ada
setetes pun air hujan yang turun malam itu. Hanya ada bekas embun yang terlihat
membasahi daun-daun yang karenanya kini pagi menjadi terlihat lebih sejuk dan
segar. Selama perjalanan pulang, aya sudah memikirkan dengan runtut bagaimana
ia akan menjelaskan semuanya pada papa-mamanya kenapa ia telat pulang ke rumah.
“Semoga papa-mama mengerti.” Ucap aya lirih pada dirinya sendiri. Aya terlihat
lebih girang ketika ia mendapati pintu rumahnya sudah terbuka setelah ia pulang
dari musholla.
“Aya, adakah yang lebih romantis
dari pada penantian seorang ibu yang ingin mendekap anak satu-satunya?” Tanya
papa aya setelah aya memeluk ibunya yang telah menunggunya di teras tempat aya
tidur semalam.
“Ma, papa jahat ma. Tega sekali papa.” Aya tak menjawab pertanyaan
gurauan papanya.
Sebenarnya pagi itu adalah kebahagiaan baru bagi aya. Dalam hati aya
berterima kasih pada papanya karena dengan adanya hukuman itu ia lebih mengerti
betapa ibunya amat menyayanginya.
“Pa, ma, aya mau jelasin kenapa tadi malam aya pulang telat.” Suasana
sarapan terkondisikan jadi lebih serius ketika aya mulai menatap papa-mamanya
satu per satu secara bergantian. Kesalahan ini terhitung sebagai kesalahan besar
yang pernah aya lakuin. Tidak biasanya aya pulang ke rumah hingga jam sepuluh
malam. Biasanya kalaupun belajar di rumah temannya paling-paling cuma sampai
jam delapan malam. Kesalahan besar sebelumnya adalah saat aya menyembunyikan handphone papanya. Saat itu, aya menyembunyikan
handphone ayahnya semalaman. Ia hanya
ingin benar-benar menikmati suasana kebahagiaan keluarga kecilnya seperti
dahulu sebelum papanya benar-benar sibuk dengan urusan pekerjaannya. Bahkan saat
di rumah pun papanya masih sibuk dengan handphone
yang katanya untuk menjalankan pekerjaannya. Geram karena semakin lama aya semakin
merasa tidak mendapat perhatian papanya, akhirnya aya memutuskan untuk
menyembunyikan handphone papanya. Atas
perbuataannya tersebut, aya dihukum tidak diberi uang saku selama seminggu. Tapi
aya tidak menyesal akan perbuatannya tersebut, meskipun kata papanya akibat
ulah aya papanya jadi kehilangan kesempatan mendapatkan tender yang besar dari client-nya.
Tidak lain adalah karena setelah ulah aya tersebut papa aya mulai
mempertimbangkan dan mengatur waktu kerjanya agar urusan kerjanya lancar dan
urusan keluarga kecilnya juga tetap harmonis seperti yang dulu. Akhirnya, aya
mendapatkan papanya yang dulu, yang selalu punya waktu untuk keluarga ,
khususnya untuk aya.
“Nggak usah dijelasin ay.” Kini papanya menjawab lebih dulu.
“Kenapa pa?” Aya balik bertanya.
“Mamamu sudah menjelaskan kepada papa semuanya.”
“Tadi saat kamu mandi, mayang nelpon ke rumah. Mamamu yang angkat
telponnya. Mayang cuma memastikan kamu sudah sampai rumah atau belum. Ia menyesal
dan meminta maaf karena tadi malam lupa ngasih tahu kalau motor yang dipinjemin
ke kamu ternyata bensinnya udah sangat nipis.”
“Ya ampun, pantesan saja. Bener-bener mayang kalau udah lupa, lupanya
kelewatan. Aku kira motornya mogok pa, ma. Mau ke bengkel tapi aya nggak bawa
uang. Jadi tadi malem aya terpaksa mendorong motornya sampai rumah.”
“Hush.. jangan ngomong gitu ay. Mayang udah berbaik hati lho minjemin
motornya untuk kamu dorong. Kapan lagi aya dorong motor? Iya kan pa?” Tawa papa-mama aya memenuhi
ruang makan ukuran 3x4 meter itu, menghilangkan seluruh prasangka yang ada.
Yogyakarta,
19 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar