Halaman

Minggu, 18 Desember 2016

Kapan Lagi Aya Dorong Motor?

Kapan Lagi Aya Dorong Motor?

Masih belum ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Namun aya tak berkecil hati, ia terus mencoba mengetuk pintu barangkali papa atau mamanya mau membukakan dan mau mendengarkan alasan kenapa ia terlambat pulang ke rumah.
“Pa, mama mau  bukain pintunya untuk aya. Boleh ya? Kasihan dia dari jam sepuluh  menunggu di luar. Sebentar lagi hujan pa, udah mendung banget soalnya.” Mendung memang sudah menggelayut, menyelimuti malam yang tak biasanya terlihat lebih gelap sebelum waktunya, pertanda hujan akan segera turun, padahal sudah masuk musim kemarau.
“Nggak usah repot-repot bukain pintu untuk anak yang tidak bisa menepati janji ma.”
“Tapi pa?”
Mengingat dirinya sebagai istri yang harus selalu berperan sebagai istri yang baik dan berbakti pada suami, ia urungkan niatnya untuk membantah lebih lanjut suaminya. Begitu kiranya mama aya dibesarkan oleh keluarganya. Sebagai seorang istri ia harus menurut pada suami. Tapi sebagai seorang ibu, ia juga punya naluri keibuan yang amat hebat terhadap anaknya. Ia takut kalau aya sampai sakit kalau harus tidur di luar.
“Pa, ma, bukain pintunya, please! Aya kapok pa, ma. Aya janji tidak akan mengulanginya lagi.” Suara aya terdengar lebih keras dari luar, suaranya kini terdengar lebih memelas. Ibunya sudah tidak kuasa menahan tangisnya. Kini ibunya langsung masuk ke dalam kamar untuk menghindari suara aya. Ia tak kuasa mendengar suara memelas anaknya yang ia tak bisa memenuhi permintaan anaknya. Berbeda dengan sang suami. Suaminya dibesarkan sebagai seorang yang terdidik dengan kedisplinan tingkat tinggi, ia tetap keukeuh dengan keputusan awalnya. Sekali melanggar, harus berani menerima konsekuensi dan bertanggung jawab atas tindakannya. Begitu ia menerapkan kedisiplinan pada aya, anak satu-satunya.
“Tak adakah kata maaf untuk anaknya sendiri?” Kiranya begitu yang mama aya tanyakan pada batinnya sendiri. Ia hanya patuh sebagai istri. Ia tak ingin membuat masalah lebih genting lagi dengan ia membantah suaminya. Sepertinya diam adalah benar-benar emas baginya ketika ia harus rela mengalah untuk tidak mendebat suaminya atas aturan yang sudah disepakati bersama.
Tepat saat adzan subuh berkumandang, aya terbangun. Malam itu aya terpaksa tidur di kursi teras depan rumah. Tak ada dispensasi dari papanya sehingga ia tetap tak diberikan ijin masuk rumah malam itu. Dengan segera aya bersiap untuk menuju musholla dekat rumahnya, meninggalkan tas yang penuh dengan buku.
“Untung tadi malam tidak hujan.” Aya bersyukur dalam hati. Tak ada setetes pun air hujan yang turun malam itu. Hanya ada bekas embun yang terlihat membasahi daun-daun yang karenanya kini pagi menjadi terlihat lebih sejuk dan segar. Selama perjalanan pulang, aya sudah memikirkan dengan runtut bagaimana ia akan menjelaskan semuanya pada papa-mamanya kenapa ia telat pulang ke rumah. “Semoga papa-mama mengerti.” Ucap aya lirih pada dirinya sendiri. Aya terlihat lebih girang ketika ia mendapati pintu rumahnya sudah terbuka setelah ia pulang dari musholla.
 “Aya, adakah yang lebih romantis dari pada penantian seorang ibu yang ingin mendekap anak satu-satunya?” Tanya papa aya setelah aya memeluk ibunya yang telah menunggunya di teras tempat aya tidur semalam.
“Ma, papa jahat ma. Tega sekali papa.” Aya tak menjawab pertanyaan gurauan papanya.
Sebenarnya pagi itu adalah kebahagiaan baru bagi aya. Dalam hati aya berterima kasih pada papanya karena dengan adanya hukuman itu ia lebih mengerti betapa ibunya amat menyayanginya.
“Pa, ma, aya mau jelasin kenapa tadi malam aya pulang telat.” Suasana sarapan terkondisikan jadi lebih serius ketika aya mulai menatap papa-mamanya satu per satu secara bergantian. Kesalahan ini terhitung sebagai kesalahan besar yang pernah aya lakuin. Tidak biasanya aya pulang ke rumah hingga jam sepuluh malam. Biasanya kalaupun belajar di rumah temannya paling-paling cuma sampai jam delapan malam. Kesalahan besar sebelumnya adalah saat aya menyembunyikan handphone papanya. Saat itu, aya menyembunyikan handphone ayahnya semalaman. Ia hanya ingin benar-benar menikmati suasana kebahagiaan keluarga kecilnya seperti dahulu sebelum papanya benar-benar sibuk dengan urusan pekerjaannya. Bahkan saat di rumah pun papanya masih sibuk dengan handphone yang katanya untuk menjalankan pekerjaannya. Geram karena semakin lama aya semakin merasa tidak mendapat perhatian papanya, akhirnya aya memutuskan untuk menyembunyikan handphone papanya. Atas perbuataannya tersebut, aya dihukum tidak diberi uang saku selama seminggu. Tapi aya tidak menyesal akan perbuatannya tersebut, meskipun kata papanya akibat ulah aya papanya jadi kehilangan kesempatan mendapatkan tender yang besar dari client-nya. Tidak lain adalah karena setelah ulah aya tersebut papa aya mulai mempertimbangkan dan mengatur waktu kerjanya agar urusan kerjanya lancar dan urusan keluarga kecilnya juga tetap harmonis seperti yang dulu. Akhirnya, aya mendapatkan papanya yang dulu, yang selalu punya waktu untuk keluarga , khususnya untuk aya.
“Nggak usah dijelasin ay.” Kini papanya menjawab lebih dulu.
“Kenapa pa?” Aya balik bertanya.
“Mamamu sudah menjelaskan kepada papa semuanya.”
“Tadi saat kamu mandi, mayang nelpon ke rumah. Mamamu yang angkat telponnya. Mayang cuma memastikan kamu sudah sampai rumah atau belum. Ia menyesal dan meminta maaf karena tadi malam lupa ngasih tahu kalau motor yang dipinjemin ke kamu ternyata bensinnya udah sangat nipis.”
“Ya ampun, pantesan saja. Bener-bener mayang kalau udah lupa, lupanya kelewatan. Aku kira motornya mogok pa, ma. Mau ke bengkel tapi aya nggak bawa uang. Jadi tadi malem aya terpaksa mendorong motornya sampai rumah.”
“Hush.. jangan ngomong gitu ay. Mayang udah berbaik hati lho minjemin motornya untuk kamu dorong. Kapan lagi aya dorong motor?  Iya kan pa?” Tawa papa-mama aya memenuhi ruang makan ukuran 3x4 meter itu, menghilangkan seluruh prasangka yang ada.


Yogyakarta, 19 Desember 2016

Tidak ada komentar: