Halaman

Jumat, 02 Desember 2016

Masih Seperti yang Dulu

Masih Seperti yang Dulu

Keributan kecil seringkali terjadi di masa-masa sekolah. Seperti halnya kejadian siang itu di kantin sekolah. Ketika amel dan teman-temannya sedang berjalan menuju kantin sekolah, amel dan teman-temannya kaget bukan kepalang karena tidak seperti biasanya tempat duduk yang biasa mereka duduki pada jam istirahat kini telah diisi oleh seseorang.
Amel berkacak pinggang di depan anak yang duduk di bangku yang biasa ia pakai. Teman-teman geng amel yang lain juga mengikuti, ikut berkacak pinggang. “Eh, lo berani-beraninya ya duduk di tempat ini!” Amel mengucapkannya dengan nada seperti mengancam. “Siapa sih lo? Anak baru? Tidak tahu siapa kita?” Lanjut amel. “Maaf mbak, saya gilang. Anak kelas dua ipa. Iya saya anak baru di sini mbak.” Jawab gilang tanpa ada ekspresi kaget apalagi bersalah. Memang seharusnya mengapa mesti merasa bersalah padahal dia kan duduk ditempat yang memang kosong sebelumnya, yang salah itu kalau dia duduk dengan memaksa orang lain untuk pindah. Itu yang salah. Begitu pikir gilang.
“Pertanyaan terakhirku belum kamu jawab. Kamu tidak tahu siapa kita?” teman-teman geng amel heran mendengar pertanyaan amel tadi. Sejak kapan amel memanggil seseorang yang sebaya dengannya dengan sebutan kamu? Biasanya amel aksen banget dengan logat gaulnya. Kenapa tiba-tiba ia jadi agak sedikit sopan? Teman-temannya masih belum tahu alasannya kenapa amel tiba-tiba berubah. “Maaf mbak, saya belum tahu dan belum kenal siapa mbak. Silahkan duduk dulu mbak biar enak ngobrolnya.” Gilang menjawab dengan santai. Tak ada gurat kecemasan pada wajahnya, padahal sebenarnya amel dan teman-temannya ingin mendampratnya habis-habisan.
“Kenalin, aku amel, dan mereka ini teman-temanku.” Akhirnya amel menyalami gilang dengan memperkenalkan namanya, kemudian diikuti oleh teman-temannya yang masih belum paham kenapa tiba-tiba amel jadi berubah 180 derajat dari yang awalnya ingin melabrak anak itu kini ia malah berkenalan dengannya.
“Amel lagi kesambet kali ya?” Bisik dina pada rina, teman satu geng amel. “Mungkin juga. Tapi lebih tepatnya mungkin amel lagi kesengsem sama cowok itu.” Jawab rina. Amel, dina, dan rina adalah geng trio yang cukup terkenal di sekolah. Mereka terkenal karena sering berbuat nakal pada teman-temnannya yang suka usil atau membuat keributan di sekolah. Meskipun mereka bertiga cewek, jangan ditanya berani atau tidak mereka memberi peringatan atau melawan lawan jenisnya.
Awalnya perkenalan amel dan teman-temannya dengan gilang biasa saja, namun entah semenjak kapan amel jadi berubah. Menurut dina dan rina, amel berubah jadi semakin dekat dengan gilang. Seperti cerita lama, cinta kadang bisa menomorduakan pertemanan. Begitu mungkin yang dina dan rina pikirkan. Tapi dina dan rina merasa tidak merasa perlu bertanya pada amel. Mereka berdua ingin amel sendiri yang menjelaskannya, tanpa mereka bertanya terlebih dahulu apalagi tahu dari teman-teman yang lain. Bagi mereka yang sudah berteman dari SMP hingga kelas 2 SMA, rasa penasaran akan satu dengan yang lain kadang memang harus menunggu waktunya untuk baru mendapat jawabannya. Prinsip pertemanan mereka adalah kejujuran.
“Maaf ya din, rin, kalian pasti nunggu lama. Gue tadi habis nyari buku di perpus.” Jelas amel saat menemui dina dan rina di kantin. “Iya, gakpapa mel. Lo pasti sibuk ke perpus dengan si gilang kan?” Akhirnya rina menjawab sekaligus bertanya, agak sebal. “Nah lho, kalian pasti ngira yang aneh-aneh antara aku dan gilang.” Amel berusaha menjelaskan dan kemudian melanjutkan, “Aku dan gilang tidak ada apa-apa. Catat itu baik-baik ya. Aku hanya ada keperluan sama dia. Tidak lebih dari sebatas teman.” “Buktinya kalau tidak ada apa-apa apa mel?” Kini gantian dina yang bertanya. Amel mematung. Ia tak dapat menjelaskan semuanya waktu itu juga.
Sudah beberapa hari dina dan rina mengasingkan amel. Setiap kali mereka bertemu dengan amel, keduanya selalu menghindar untuk dekat-dekat dengan amel. Sampai pada waktunya, amel memaksa mereka untuk berterus terang, meminta kejelasan kedua temannya tersebut. Padahal sebenarnya dina dan rina lah yang mestinya dapat penjelasan terlebih dahulu. “Oke. Gue akan jelasin semuanya, dari pada kita salah paham terus menerus.” Akhirnya amel menyerah untuk kebaikan. Ia harus menceritakan semuanya sebelum akhirnya masalah tambah runyam.
Amel menarik napas dalam-dalam, bersiap menjelaskan.
“Sebenarnya gilang itu saudaraku.”
“Hah. Apa maksudmu mel?” Dina terbelalak.
“Iya, gilang itu saudara kandungku. Tepatnya saudara satu bapak.”
“Bapakmu punya dua istri mel? Kok gue baru tahu.” Kini rina yang terbelalak heran, masih tidak percaya dengan apa yang diucapkan amel barusan.
“Sebentar ya, aku ke toilet bentar. Penjelasan lanjutan dan lengkapnya nanti setelah pulang sekolah kalian langsung ke rumahku ya.”
“Yah, amel terlalu. Kebiasaan selalu buat kita penasaran.”
Amel tidak peduli dengan gerutuan dina dan rina. Kini ia sudah berlari menuju toilet. Dina dan rina pun paham. Mereka akan menuntut penjelasan lanjutan dari amel langsung setelah pulang sekolah. Amel memang tidak biasa menceritakan hal yang kiranya sangat penting untuk diceritakan di sekolah. Bahaya kalau didengar orang lain. Begitu kata amel.
Tok. Tokk. Tokkk.
Tak menunggu lama, pintu pun terbuka. Tapi bukan amel yang membuka pintunya, tapi gilang. “Amelnya ada?” Rina pun langsung to the point. Gilang bilang kalau amel lagi makan. Dina dan rina saling lirik setelah mereka dipersilahkan masuk oleh gilang.
Akhirnya amel pun muncul dengan dandanan seperti biasanya. Pakai celana santai dan mengenakan kaos kesukaannya, kaos dengan gambar menara Eiffel. Namun, tiba-tiba beberapa orang satu per satu muncul di belakang amel secara periodik. Dina dan rani hanya mengenali ayah dan ibu amel, serta gilang. Mereka tidak mengenali dua orang yang lain.
“Din, rin. Kenalin ini ibunya gilang dan ini adiknya.” Amel memperkenalkan dua orang yang belum mereka kenali tadi. Amel melanjutkan, “Ini keluarga lengkapku din, rin.”
“Beberapa hari terakhir, saat gue sama kalian nemuin gilang di kantin, kita sama-sama sebal dan marah karena berani-beraninya ia menduduki tempat duduk yang biasa kita pakai. Gue berubah jadi yang awalnya pengen marah jadi seperti itu karena waktu itu gue lagi mengingat-ingat, soalnya sepertinya aku pernah bertemu dengan gilang sebelumnya. Dan ternyata benar. Setelah gilang memperkenalkan namanya, aku pun yakin seyakin-yakinnya kalau itu memang dia. Saudaraku yang terpisah oleh keadaan.” Amel menjelaskan dengan haru.
“Benar kata amel dek. Setelah kejadian itu amel bilang ke bapak kalau dia bertemu dengan gilang. Waktu itu, bapak langsung mencari info tempat tinggal keluarga gilang. Akhirnya ketemu. Gilang itu anak kandung bapak dari pernikahan siri bapak dengan ibunya gilang. Mereka tiba-tiba menghilang begitu saja ketika ada masalah keluarga antara bapak dengan keluarga mertua bapak, keluarga dari ibunya amel.” Jelas bapak amel.
“Maaf ya din, rin. Gara-gara aku kalian jadi menyangka yang aneh-aneh pada amel. Aku jadi menyita waktu kebersamaan kalian. Tapi ada satu hal yang ingin aku sampaikan pada kalian. Amel tidak berubah. Ia tetap menjadi anak nakal seperti kalian. Haha” gelak tawa pun akhirnya membahana setelah gilang bersuara. “Ia baik padaku karena ia merasa aku dulu sering berbuat baik padanya. Karena katanya dulu ia tak sempat membalasnya, kini ia ingin membalasnya. Itu yang kusuka dari adikku yang nakal ini. Ia tidak berubah.” Jelas gilang lagi.
“Nakal boleh kan kak, asal pada batas sewajarnya. Amel kan nakalnya masih pada batas wajar. Hehe. Yang nggak boleh itu nakalin orang yang berbuat baik pada kita kak.” Jawab amel menjelaskan, mencoba meluruskan perkataan kakaknya tadi.


Yogyakarta, 03 Desember 2016 

Tidak ada komentar: