Halaman

Selasa, 15 Agustus 2017

Kompetensi Kepemimpinan di Pesantren

Kompetensi Kepemimpinan di Pesantren

Para pengamat pendidikan di Indonesia mengakui bahwa pesantren telah banyak menghasilkan pemimpin. Menurut Mukti Ali, tidak sedikit pemimpin di Indonesia, baik pemimpin pemerintahan maupun bukan, besar maupun kecil, yang dilahirkan oleh pesantren.1
Kepemimpinan di pesantren selama ini pada umumnya berjalan secara alamiah.2 Baik dalam hal pengembangan sistem pendidikannya maupun dalam proses pembinaan calon pimpinannya, pesantren belum menetapkan suatu formula yang bersifat tetap dan teratur. Pembinaan dan pengembangan semacam itu diharapkan mampu menghasilkan kontinuitas kepemimpinan yang baik, namun pada kenyataannya yang terjadi tidaklah selalu menggembirakan. Akibatnya, seringkali terjadi penurunan kualitas kepemimpinan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Oleh karena itu, menyiapkan kepemimpinan yang kompeten, mutlak diperlukan oleh setiap pesantren. Kompetensi adalah kemampuan seorang pemimpin dalam menangani berbagai tugas dan memecahkan berbagai masalah dalam rangka mencapai tujuan. Kompetensi adalah benih-benih kemampuan yang harus dipupuk dengan berbagai proses pembelajaran dan pelatihan, ketekunan, kesungguhan, dan keberanian dalam mengambil risiko. Kompetensi mustahil dapat dibangun dalam waktu sehari saja karena ia tak ubahnya mata rantai dari suatu proses yang panjang.
Seorang pemimpin yang kompeten tidak lahir begitu saja, tetapi ia datang dari suatu perjalanan panjang. Kompetensi seorang pemimpin selalu berbanding searah dengan tingkat profesionalismenya. Penyebaran kompetensi secara merata di kalangan para pengikutnya akan membuat lembaga yang dipimpinnya semakin berkualitas. Itulah mengapa membangun kompetensi merupakan usaha yang tak kenal henti. Pengalaman telah membuktikan bahwa lembaga yang berhasil adalah lembaga yang dikelola oleh mereka yang kompeten dalam bidangnya masing-masing. Hal ini juga sejalan dengan salah satu sabda Rasulullah SAW., “Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya.”3
Menurut Ella Yulaelawati, kompetensi ialah sekumpulan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai sebagai kinerja yang berpengaruh terhadap peran, perbuatan, prestasi, serta pekerjaan seseorang.4 Definisi yang lain mengatakan5 bahwa kompetensi ialah karakteristik mendasar seseorang yang memiliki hubungan timbal balik dengan suatu kriteria efektif dan atau kecakapan terbaik seseorang dalam pekerjaan atau keadaan. Yang dimaksud dengan karakteristik mendasar adalah bahwa kompetensi tersebut cukup mendalam dan bertahan lama sebagai bagian dari kepribadian seseorang sehingga dapat digunakan untuk memprediksi tingkah laku orang tersebut manakala ia berhadapan dengan berbagai situasi dan tugas. Sedangkan hubungan timbal balik adalah bahwa adanya kompetensi itu dapat menyebabkan perubahan perilaku atau dapat pula digunakan untuk memprediksi perubahan perilaku itu sendiri. Sementara itu, keberadaan kriteria efektif adalah untuk menentukan dan memprediksi apakah orang tersebut akan mampu bekerja dengan baik atau tidak berdasarkan standar-standar yang spesifik.
Dari uraian singkat di atas, dapat dikatakan bahwa sekurang-kurangnya terdapat tiga ranah kompetensi yang perlu dipersiapkan sedini mungkin oleh calon pemimpin, yaitu kompetensi ilmu dan pengalaman, moralitas, dan kompetensi lainnya. Para pemimpin yang kompeten selalu merasa kurang di dalam menimba ilmu dan pengalaman. Mereka tidak memiliki perasaan gengsi atau meremehkan orang lain, betapa pun tingginya kedudukan mereka. Mereka menganggap bahwa orang yang kelihatannya biasa-biasa saja boleh jadi ia memiliki ilmu dan pengalaman yang luar biasa. Itulah mengapa setiap pemimpin yang ingin mengasah pisau kompetensinya senantiasa termotivasi untuk semakin memperluas ruang pengaruhnya dan berupaya menjalin relasi dengan semua pihak.
Hampir setiap pemimpin menaruh perhatian terbesarnya pada bidang-bidang pembelajaran, pelatihan, dan apa saja yang dinilainya dapat meningkatkan kompetensi kadernya. Namun demikian, yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang kompeten, seseorang tidaklah mutlak harus memiliki kecerdasan yang brilian. Kompetensi dibentuk karena kebiasaan dan keberanian dalam mengambil keputusan.
Dengan demikian, kompetensi menurut Prihadi tidak semata-mata menuntut hasil analisis dari suatu jawaban kepemimpinan, tetapi lebih dari itu juga harus memastikan terpenuhinya sejumlah tuntutan lain yang bersumber dari visi, misi, dan strategi organisasi, serta nilai-nilai dan berbagai budaya yang berlaku di dalam organisasi. Dalam bahasa lain, di dalam kompetensi ini terkandung beberapa dimensi, yang lazimnya dikelompokkan ke dalam sejumlah cluster (kelompok dimensi menurut kategori tertentu), seperti cluster kompetensi penalaran, cluster kompetensi interpersonal, cluster kompetensi organisasional, cluster kompetensi efektivitas pribadi, dan sebagainya.6
Dalam pandangan Islam, setiap pemimpin termasuk pemimpin pesantren, perlu menerapkan paradigma kepemimpinan Islam, seperti yang ditunjukkan oleh pola kepemimpinan Nabi Muhammad SWA. Pola ini biasanya disebut dengan paradigma “kepemimpinan STF-AI’, yaitu Shiddiq, Tabligh, Fathonah, Amanah, Istiqomah.7
Berdasarkan uraian di atas, sudah semestinya apa yang ditunjukkan oleh Nabi SWA. Dalam memimpin dapat dijadikan teladan bagi pengembangan kompetensi kepemimpinan di pesantren. Nabi SAW. sukses memimpin negara, memimpin umat, memimpin rumah tangga, dan lain sebagainya. Lebih jelasnya, kelima karakter yang sangat menonjol pada diri Nabi SAW. di atas, tidak lain merupakan atribut kompetensi yang idealnya mesti diterapkan oleh setiap pemimpin di pesantren.

1 A. Mukti Ali, “Pondok Pesantren dalam Sistem pendidikan Nasional” dalam Seminar Nasional Pembangunan Pendidikan dalam Pandangan Islam (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 1984), hlm. 18.
2 Wahid, Menggerakkan Tradisi…, hlm. 133.
3 Toto Tasmana, Spiritual Centered Leadership (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 54-55.
4 Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi, Teori, dan Aplikasi (Bandung: Pakar Raya, 2004), hlm. 13.
5 Spencer dan Spencer, Competence at Work; Model for Superior Performance (Newyork: John Willy and Sons, Inc. 1993), hlm. 9.
6 Syaiful F. Prihadi, Assessment Centre (Jakarta: PT. Gramedia, 2004), hlm. 8.
7 Siswanto Masruri, Paradigma Kepemimpinan Islam (Yogyakarta, 16 Oktober 2006).
Soebahar, Abd. Halim, 2013, Modernisasi Pesantren: Studi Transformasi Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan Pesantern, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

Tidak ada komentar: