Halaman

Senin, 26 Desember 2016

Penghujung Desember

Penghujung Desember

Telah tersampaikan dengan jelas pesan seseorang pada sahabatnya. Bukan dengan bahasa yang mudah dieja menurut aturan tata bahasa, baik bahasa ibu ataupun bahasa lainnya. Mungkin juga, bahasa itu multi arti bagi yang lainnya. Tapi tidak bagi keduanya, yang telah bersama-sama entah sudah berapa lamanya tanpa mengikrarkan ikatan sebagai sahabat ataupun ikatan yang lebih karib lagi, seperti halnya saudara. Hanya dengan bahasa tanda, yang hanya mereka berdua yang bisa membacanya.
Dengan penerangan seadanya, di gubuk yang biasa dan tak beralaskan apapun kecuali anyaman dari bambu mereka berdua saling membicarakan hal-hal yang menurut mereka layak dan perlu dibicarakan. Namun, lagi-lagi, pembicaraan mereka mungkin bagi orang lain adalah pembicaraan yang aneh bin ajaib. Mereka berbicara tentang bulan.
“Yok, kau tahu tak apa artinya pertemanan?” Antok mengawali obrolan malam itu.
“Tahu lah awak. Pertemanan itu hubungan antara dua orang. Betul tak?” Yoyok menjawab santai sambil membuka bungkus permen kesukaannya.
“Menurut kau bulan-bulan itu berteman nggak?”
“Apa maksud kau ini? Bulan kan cuma satu, mana mungkin dia punya teman.”
“Eh maksudku bukan bulan yang itu, Yok.”
“Terus bulan yang mana lagi, kita kan hidup di bumi, cuma ada satu bulan Ntok di bumi ini.”
“Maksudku bulan-bulan yang ada di kalender Yok. hehe” Antok menjawabnya sambil mringis.
“Ealah, kalau bulan itu tentu saja berteman. Kan mereka sudah digolongkan dan disatukan menjadi nama-nama yang jika kesemuanya lengkap berarti disebut satu tahun.”Jawaban Yoyok sedikit matematis.
“Keren banget Yok, jawabanmu. Nggak salah ya kalau kamu dulu ngambil jurusan matematika. Ternyata bisa menyambung-nyambungkan suatu hal dengan bidangmu.”Antok memuji Yoyok.
“Ah, bisa saja kau kalau memuji Ntok. Ada apa dengan pertemanan bulan-bulan itu?” Tanya Yoyok penasaran.
“Gini, desember dan januari tak pernah berkenalan, tapi mereka disatukan atas nama bulan yang menyusun tahun. Desember sering disebut akhir bulan atau penutup tahun, sedangkan januari disebut sebagai  awal bulan atau pembuka tahun. Selalu saja ada yang dinanti-nanti dari keduanya. Tapi aku masih ragu apakah mereka benar-benar berteman atau tidak?” Antok menjelaskan keraguannya.
Seperti biasanya, sebagai ahli matematika, Yoyok menjawab dengan rumus silogismenya, jika x maka y. “Pertemanan selalu saja diawali dengan perkenalan, yang lebih awal lagi umumnya diawali dengan pertemuan atau perjumpaan. Kata orang-orang dari dulu, “tak kenal maka tak sayang” adalah kata-kata pengantar untuk memulai perkenalan. Bisa untuk candaan, pun bisa juga untuk acara perkenalan yang lebih serius lagi seperti halnya ketika seorang lelaki yang ingin mengkhitbah perempuan yang disukainya, biasanya dari masing-masing perwakilan wali menuturkan tentang putra/putrinya.”
“Jadi?” Antok masih belum paham.
“Jadi, kebolehjadian mereka memang berteman, dan kebolehjadian yang lain mereka tidak berteman.” Lagi-lagi Yoyok menjawab ala ahli matematika, ia menjawab seperti halnya menjawab soal peluang.
“Kau malah tambah mebuatku bingung Yok.” Jawab Antok.
“Coba kita kupas satu-satu ya, Ntok. Pertama, kemungkinan mereka benar-benar berteman. Hal ini didasarkan pada bukti yang ada, desember dan januari masuk dalam daftar kelompok bulan. Nah, biasanya kalau sudah masuk dalam satu lingkup itu umumnya adalah karena mereka satu, mereka sepaham, berteman.”
“Lha, kalau musuh dalam selimut?” Antok bertanya kritis.
“Kalau itu beda lagi. Sementara kita positive thinking dulu kalau yang satu rumpun biasanya satu hati, satu tujuan.”
“Emm, Oke. Lanjut yang kedua?”
“Kedua, kemungkinan mereka tidak saling berteman. Namun bisa juga mereka dikatakan saling berteman namun sebenarnya tidak saling mengenal.”
“Lha kok gitu Yok?”
“Desember kan posisinya di akhir, dalam keseharian disebut sebagai penghujung bulan, kondisinya berarti dapat dianggap kondisi penentu, berhasil, gagal ataukah kritis? Tutup bulan biasanya dilakukan dengan introspeksi diri, apakah rencana-rencana yang disusun di permulaan tahun sudah tercapai semua atau belum? Apakah sudah tercapai dengan baik atau belum? Sedangkan januari adalah permulaan bulan yang biasanya dimaknai sebagai permulaan untuk menyusun rencana  ke depan, memulai perbaikan kalau di tahun sebelumnya banyak hal-hal yang masih jauh dari harapan atau target awal.”
Pertanyaan tentang apakah bulan-bulan itu saling berteman atau tidak awalnya hanya pertanyaan asal dari Antok yang ingin memulai obrolan di malam itu. Hanya saja, kini dia malah merasa seperti salah bertanya pada sahabatnya itu. Dia berhenti membahasnya dengan langsung ganti topik pembicaraan yang lain agar obrolan terus berlanjut.
Tanpa disangka, obrolan kembali lagi ke topik awal, yakni mengenai bulan. Ah, entah siapa tadi yang memulai. Mungkin karena sebentar lagi akan ada perayaan yang biasanya dirayakan di akhir tahun, perayaan malam tahun baru.
“Jadi, kesimpulannya apakah desember dan januari berteman atau tidak tergantung si desembernya, apakah ia menutupnya dengan hasil sesuai rencana si januari atau tidak. Kalau iya, berarti desember telah jadi teman baik januari.”Yoyok menyimpulkan.
Dari percakapan itu Antok mengerti bahwa pertemanan adalah tentang kecocokan untuk sama-sama berjuang menggapai tujuan. Silahkan berteman dengan siapa saja, asal tujuan baikmu tetap dapat terpenuhi dengannya, bukan malah merusak tujuan baikmu, membelokkanmu ke fasa kritis, bahkan yang lebih fatal lagi.

Yogyakarta, 27 Desember 2016

Rabu, 21 Desember 2016

Ketika Cinta Berbuah Surga

Ketika Cinta Berbuah Surga

Di tanah Kurdistan, ada seorang raja yang adil dan shalih. Dia meiliki putra; seorang anak laki-laki yang tampan, cerdas, dan pemberani. Saat-saat paling menyenangkan bagi sang raja adalah, ketika dia mengajari anaknya itu membaca Al-Qur’an. Sang raja juga menceritakan kepadanya kisah-kisah kepahlawanan para panglima dan tentaranya di medan pertempuran. Anak raja yang bernama Said itu, sangat gembira mendengar penuturan kisah ayahnya. Si kecil Said akan merasa jengkel jika di tengah-tengah ayahnya bercerita, tiba-tiba ada orang yang memutuskannya.
Terkadang, ketika sedang asyik mendengarkan cerita ayahnya, tiba-tiba pengawal masuk dan memberitahukan bahwa ada tamu penting yang harus ditemui oleh raja. Sang raja tahu apa yang dirasakan anaknya.
Maka, dia memberi nasihat kepada anaknya, “Said, Anakku, sudah saatnya kau mencari teman sejati yang setia dalam suka dan duka. Seorang teman baik, yang akan membantumu untuk menjadi orang baik. Teman sejati yang bisa kau ajak bercinta untuk surga.”
Said tersentak mendengar perkataan ayahnya.
“Apa maksud Ayah dengan teman yang bisa diajak bercinta untuk surga?” tanyanya dengan nada penasaran.
“Dia adalah teman sejati yang benar-benar mau berteman denganmu, bukan karena derajatmu, tetapi karena kemurnian cinta itu sendiri, yang tercipta dari keikhlasan hati. Dia mencintaimu karena Allah. Dengan dasar itu, kau pun bisa mencintainya dengan penuh keikhlasan, karena Allah. Kekuatan cinta kalian akan melahirkan kekuatan dahsyat yang membawa manfaat dan kebaikan. Kekuatan cinta itu juga akan bersinar dan membawa kalian masuk surga.”
“Bagaimana cara mencari teman seperti itu, Ayah?” Tanya Said.
Sang raja menjawab, “Kamu harus menguji orang yang hendak kau jadikan teman. Ada sebuah cara menarik untuk menguji mereka. Undanglah siapa pun yang kau anggap cocok, untuk menjadi temanmu saat makan pagi di sini, di rumah kita. Jika sudah sampai di sini, ulurlah dan perlamalah waktu penyajian makanan. Biarkan mereka semakin lapar. Lihatlah apa yang kemudian mereka perbuat. Saat itu, rebuslah tiga butir telur. Jika dia tetap bersabar, hidangkanlah tiga telur itu kepadanya. Lihatlah, apa yang kemudian mereka perbuat! Itu cara yang paling mudah bagimu. Syukur, jika kau bisa mengetahui perilakunya lebih dari itu.”
Said sangat gembira mendengar nasihat ayahnya. Dia pun mempraktikkan cara mencari teman sejati yang cukup aneh itu. Mula-mula, dia mengundang anak-anak pembesar kerajaan satu per satu. Sebagian besar dari mereka marah-marah karena hidangannya tidak keluar-keluar. Bahkan, ada yang pulang tanpa pamit dengan hati kesal, ada yang memukul-mukul meja, ada yang melontarkan kata-kata tidak terpuji,; memaki-maki karena terlalu lama menunggu hidangan.
Di antara teman anak raja itu, ada seorang yang bernama Adil. Dia anak seorang menteri. Said melihat, sepertinya Adil anak yang baik hati dan setia. Maka, dia ingin mengujinya. Diundanglah Adil untuk makan pagi. Adil memang lebih sabar dibandingkan anak-anak sebelumnya. Dia menunggu keluarnya hidangan dengan setia. Setelah dirasa cukup, Said mengeluarkan sebuah piring berisi tiga telur rebus.
Melihat itu, Adil berkata keras, “Hanya ini sarapan kita? Ini tidak cukup mengisi perutku!”
Adil tidak mau menyentuh telur itu. Dia pergi begitu saja meninggalkan Said sendirian. Said diam. Dia tidak perlu meminta maaf kepada Adil karena meremehkan makanan yang telah dia rebus dengan kedua tangannya. Dia mengerti bahwa Adil tidak lapang dada dan tidak cocok untuk menjadi teman sejatinya.
Hari berikutnya, dia mengundang anak saudagar terkaya. Tentu saja, anak saudagar itu sangat senang mendapat undangan makan pagi dari anak raja. Malam harinya, sengaja dia tidak makan dan melaparkan perutnya agar paginya bisa makan sebanyak mungkin. Dia membayangkan, makanan anak raja pasti enak dan lezat.
Pagi-pagi sekali, anak saudagar kaya itu telah datang menemui Said. Seperti anak-anak sebelumnya, dia harus menunggu waktu yang lama sampai makanan keluar. Akhirnya, Said membawa piring dengan tiga telur rebus di atasnya.
“Ini makanannya, saya ke dalam dulu mengambil air minum.” Kata Said seraya meletakkan piring itu di atas meja.
Lalu Said masuk ke dala. Tanpa menunggu lagi, anak saudagar itu langsung melahap satu per satu telur itu. Tidak lama kemudian, Said keluar membawa dua gelas air putih. Dia melihat ke meja ternyata tiga telur itu telah lenyap.
“Mana telurnya?” Tanya Said pada anak saudagar.
“Telah aku makan.”
“Semuanya?”
“Ya, habis aku lapar sekali.”
Melihat hal itu Said langsung tahu bahwa anak saudagar itu juga tidak bisa dijadikan teman setia. Dia tidak setia. Tidak bisa merasakan suka dan duka bersama. Sesungguhnya, Said juga belum makan apa-apa.
Said merasa jengkel kepada anak-anak di sekitar istana. Mereka semua mementingkan diri sendiri. Tidak setia kawan. Mereka tidak pantas dijadikan teman sejatinya. Akhirnya, dia meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mencari teman sejati.
Akhirnya, Said berpikir untuk mencari teman di luar istana. Kemudian, mulailah Said berpetualang melewati hutan, ladang, sawah, dan kampung-kampung untuk mencari seorang teman yang baik.
Sampai akhirnya, di suatu hari yang cerah, dia bertemu dengan anak seorang pencari kayu yang berpakaian sederhana. Anak itu sedang memanggul kayu bakar. Said mengikutinya diam-diam sampai anak itu tiba di gubuknya. Rumah dan pakaian anak itu menunjukkan bahwa dia sangat miskin. Namun, wajah dan sinar matanya memancarkan tanda kecerdasan dan kebaikan hati. Anak itu mengambil air wudhu, lalu shalat dua rakaat. Said memerhatikannya dari balik pepohonan.
Selesai shalat, Said datang dan menyapa, “Kawan, kenalkan namaku Said. Kalau boleh tahu, namamu siapa? Kau tadi shalat apa?” “Namaku Abdullah. Tadi itu shalat dhuha.”
Lalu, Said meminta anak saudagar itu agar bersedia bermain dengannya, dan menjadi temannya.
Namun, Abdullah menjawab, “Kukira kita tidak cocok menjadi teman. Kau anak seorang kaya, malah mungkin anak bangsawan. Sedangkan aku, anak miskin. Anak seorang pencari kayu bakar.”
Said menyahut, “Tidak baik kau mengatakan begitu. Mengapa kau membeda-bedakan orang? Kita semua adalah hamba Allah. Semuanya sama, hanya takwa yang membuat orang mulia di sisi Allah. Apa aku kelihatan seperti anak yang jahat sehingga kau tidak mau berteman denganku? Mengapa tidak kita coba beberapa waktu dulu? Kau nanti bisa menilai, apakah aku cocok atau tidak menjadi temanmu.”
“Bailkah kalau begitu, kita berteman. Akan tetapi, dengan syarat, hak dan kewajiban kita sama, sebagai teman yang seia-sekata.”
Said menyepakati syarat yang diajukan oleh anak pencari kayu itu. Sejak hari itu, mereka bermain bersama; pergi ke hutan bersama-sama, memancing bersama, dan berburu kelinci bersama. Anak tukang kayu itu mengajarinya berenang di sungai, menggunakan panah, dan memanjat pohon di hutan. Said sangat gembira sekali berteman dengan anak yang cerdas, rendah hati, lapang dada, dan setia. Akhirnya, dia kembali ke istana dengan hati gembira.
Hari berikutnya, anak raja itu berjumpa lagi dengan teman barunya. Anak pencari kayu itu langsung mengajak makan di gubuknya. Dalam hati, Said merasa kalah, sebab sebelum dia mengundang makan, dia telah diundang makan.
Di dalam gubuk itu, mereka makan seadanya. Sepotong roti, garam, dan air putih. Namun, Said makan dengan sangat lahap. Ingin sekali dia minta tambah kalau tidak mengingat, siapa tahu anak pencari kayu ini sedang mengujinya. Oleh karena itu, Sais merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya.
Selesai makan, Said mengucapkan hamdalah dan tersenyum. Setelah itu, mereka kembali bermain. Said banyak menemukan hal-hal baru di hutan, yang tidak dia dapatkan di dalam istana. Oleh temannya itu, dia diajari untuk mengenali dan membedakan jenis dedaunan dan buah-buahan di hutan; antara daun dan buah yang bisa dimakan, yang bisa dijadikan obat, serta yang beracun.
“Dengan mengenali jenis buah dan dedaunan di hutan secara baik, kita tidak akan repot jika suatu kali tersesat. Persediaan makanan ada di sekitar kita. Inilah keagungan Allah!” kata anak pencari kayu.
Seketika itu, Said tahu bahwa ilmu tidak hanya dia dapat dari madrasah seperti yang ada di ibu kota kerajaan. Ilmu ada di mana-mana. Bahkan, di hutan sekalipun. Hari itu, Said banyak mendapatkan pengalaman berharga.
Ketika matahari sudah condong ke Barat, Said berpamitan kepada sahabatnya itu untuk pulang. Tidak lupa, Said mengundangnya makan di rumahnya besok pagi. Lalu, dia memberikan secarik kertas pada temannya itu.
“Pergilah ke ibu kota, berikan kertas ini kepada tentara yang kau temui di sana. Dia akan mengantarkanmu ke rumahku,” kata Said sambil tersenyum.
Insya Allah aku akan datang,” jawab anak pencari kayu itu.
Pagi harinya, anak pencari kayu itu sampai juga ke istana. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Said adalah anak raja. Mulanya, dia ragu untuk masuk ke istana. Akan tetapi, jika mengingat kebaikan dan kerendahan hati Said selama ini, dia berani masuk juga.
Said menyambutnya dengan hangat dan senyum gembira. Seperti anak-anak sebelumnya yang telah hadir di ruang makan itu, Said pun menguji temannya ini. dia membiarkannya menunggu lama sekali. Namun, anak pencari kayu bakar itu sudah terbiasa lapar. Bahkan, dia pernah tidak makan selama tiga hari. Atau, terkadang makan daun-daun mentah saja. Selama menunggu, dia tidak memikirkan makanan sama sekali. Dia hanya berpikir, seandainya semua anak bangsawan bisa sebaik anak raja ini, tentu dunia akan tenteram.
Selama ini, dia mendengar bahwa anak-anak pembesar kerajaan, senang hura-hura. Namun, dia menemukan seorang anak raja yang santun dan shalih.
Akhirnya, tiga butir telur masak pun dihidangkan. Said mempersilahkan temannya untuk memulai makan. Anak pencari kayu bakar itu mengambil satu. Lalu, dia mengupas kulitnya pelan-pelan. Sementara itu, Said mengupas dengan cepat dan menyantapnya. Kemudian, dengan sengaja Said mengambil telur yang ketiga. Dia mengupasnya dengan cepat, dan melahapnya. Temannya selesai mengupas telur. Said ingin melihat apa yang akan dilakukan temannya dengan sebutir telur itu, apakah akan dimakannya sendiri, atau…?
Anak miskin itu mengambil pisau yang ada di dekat situ. Lalu, dia membelah telur itu jadi dua; yang satu dia pegang, dan yang satunya lagi, dia berikan kepada Said. Tidak ayal lagi, Said menangis terharu.
Lalu, Said pun memeluk anak pencari kayu bakar itu erat-erat seraya berkata, “Engkau teman sejatiku! Engkau teman sejatiku! Engkau temanku masuk surga.”
Sejak itu, keduanya berteman dan bersahabat dengan sangat akrab. Persahabatan mereka melebihi saudara kandung. Mereka saling mencintai dan saling menghormati karena Allah SWT.
Karena kekuatan cinta itu, mereka bahkan sempat bertahun-tahun mengembara bersama-sama untuk belajar dan berguru kepada para ulama yang tersebar di Turki, Syiria, Irak, Mesir, dan Yaman.
Setelah berganti bulan dan tahun, akhirnya keduanya tumbuh dewasa. Raja yang adil; ayah Said, meninggal dunia. Akhirnya, Said diangkat menjadi raja untuk menggantikan ayahnya. Menteri yang pertama kali dia pilih adalah Abdullah, anak pencari kayu itu. Abdullah pun benar-benar menjadi teman seperjuangan dan penasihat raja yang tiada duanya.
Meskipun telah menjadi raja dan menteri, keduanya masih sering shalat tahajud dan membaca Al-Qur’an bersama. Kecerdasan dan kematangan jiwa keduanya mampu membawa kerajaan itu maju, makmur, dan jaya; baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

Dari buku antologi kisah Ketika Cinta Berbuah Surga, karya Habiburrahman El Shirazy.


Selasa, 20 Desember 2016

Gadis Cerdas, Gadis Impian

Gadis Cerdas, Gadis Impian

Ada seorang pemuda Arab yang tampan, shalih, dan sangat cerdas. Dia ingin menikah dengan seorang gadis shalihah dan cerdas seperti dirinya. Maka, mulailah dia mengembara dari satu kabilah ke kabilah lain, untuk mencari gadis impiannya.
Suatu ketika, dia berjalan menuju kabilah di Yaman. Di tengah perjalanan, dia berjumpa dengan seorang lelaki. Akhirnya, dia berjalan bersama lelaki itu.
Pemuda itu menyapa, “Hai Tuan, apakah kau bisa membawaku dan aku membawamu?”
Spontan lelaki itu menjawab, “Hai bodoh, kau ini bagaimana? Aku menunggang kuda dan kau juga menunggang kuda. Bagaimana kita bisa saling membawa?”
Pemuda itu diam saja mendengar jawaban lelaki itu.
Kemudian, keduanya melanjutkan perjalanan. Lalu, mereka melewati sebuah kampung. Kampung itu yang dikelilingi oleh kebun yang sudah tiba masa panennya.
Pemuda itu bertanya, “Menurutmu, buah-buahan itu sudah dimakan oleh pemiliknya, atau belum, ya?”
Seketika, lelaki itu menjawab, “Pertanyaan itu aneh sekali! Kamu sendiri melihat dengan mata dan kepalamu, buah-buahan itu masih ada di pohonnya dan belum dipanen, kok kamu bertanya, apakah buah-buahan itu sudah dimakan oleh pemiliknya atau belum?”
Pemuda itu hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan lelaki itu.
Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan. Baru sebentar perjalanan, mereka bertemu dengan orang-orang yang sedang mengiring jenazah.
Pemuda itu berkata, “Menurutmu, yang diiring dalam keranda itu masih hidup atau sudah mati, ya?”
Lelaki itu menjawab, “Aku semakin tidak paham denganmu. Aku tidak pernah menemukan pemuda yang lebih bodoh darimu. Ya, jelas! Jenazah itu akan dibawa untuk dikuburkan. Tentu dia sudah mati.”
Pemuda itu kembali diam dan tidak menjawab sepatah kata pun atas komentar lelaki itu. Akhirnya, keduanya sampai di rumah lelaki itu. Dia mengajak pemuda itu menginap di rumahnya. Dia merasa kasihan, sebab pemuda itu terlihat sudah sangat letih.
Lelaki itu memiliki seorang gadis yang sangat cantik
Begitu ada seorang tamu menginap, anak gadisnya itu bertanya, “Ayah, siapa dia?”
“Dia itu pemuda paling bodoh yang pernah aku temukan,” jawab ayahnya.
Anak gadisnya itu malah penasaran. Dia mengejar dengan pertanyaan berikutnya, “Bodoh bagaimana?”
Ayahnya langsung menceritakan awal pertemuannya dengan pemuda itu dan dengan segala perkataan serta pertanyaannya.
Mendengar cerita ayahnya, anak gadis itu berkata, “Ayah ini bagaimana? Dia itu tidak bodoh. Justru dia sangat cerdas dan pandai. Kata-katanya mengandung makna tersirat. Ketika dia mengatakan, ‘Apakah kau bisa membawaku dan aku membawamu?’, sebenarnya maksudnya adalah, ‘Apakah kita bisa saling berbincang-bincang sehingga bisa membawa kita pada suasana yang lebih akrab?’ Ketika dia mengatakan, ‘Buah-buahan itu sudah dimakan oleh pemiliknya atau belum?’ Ia memaksudkan, ‘Apakah pemiliknya sudah menjualnya ketika sebelum dipanen, atau belum?’ Sebab, jika telah menjualnya, pemiliknya tentu menerima uangnya dan membelanjakannya untuk makan dia dan keluarganya. Kemudian, ketika dia bertanya, ‘Apakah jenazah di dalam keranda itu masih hidup atau sudah mati?’ Maksudnya, ‘Apakah jenazah itu memiliki anak yang bisa melanjutkan perjuangannya atau tidak?’
Setelah mendengarkan apa yang dikatakan putrinya, lelaki itu keluar menemui pemuda itu. Dia meminta maaf atas perkataannya yang membodoh-bodohkan pemuda itu. Keduanya lalu berbincang-bincang.
Lelaki itu berkata, “Sekarang aku baru tahu apa maksud pertanyaan-pertanyaanmu dalam perjalanan tadi.”
Lalu, dia menjelaskan seperti yang dikatakan putrinya.
Mendengar itu, sang pemuda bertanya, “Saya yakin itu bukan lahir dari pikiranmu sendiri dan bukan perkataanmu, demi Allah, katakanlah padaku siapa yang mengatakannya?”
“Yang mengatakan hal itu adalah putriku,” jawab lelaki itu.
Spontan pemuda itu berkata, “Apakah kau mau menikahkan aku dengan putrimu?”
“Ya.”
Begitulah, setelah melalui pengembaraan panjang, akhirnya pemuda itu menemukan pendamping hidup yang dia impikan.


Dari buku antologi kisah Ketika Cinta Berbuah Surga, karya Habiburrahman El Shirazy.

Minggu, 18 Desember 2016

Kapan Lagi Aya Dorong Motor?

Kapan Lagi Aya Dorong Motor?

Masih belum ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Namun aya tak berkecil hati, ia terus mencoba mengetuk pintu barangkali papa atau mamanya mau membukakan dan mau mendengarkan alasan kenapa ia terlambat pulang ke rumah.
“Pa, mama mau  bukain pintunya untuk aya. Boleh ya? Kasihan dia dari jam sepuluh  menunggu di luar. Sebentar lagi hujan pa, udah mendung banget soalnya.” Mendung memang sudah menggelayut, menyelimuti malam yang tak biasanya terlihat lebih gelap sebelum waktunya, pertanda hujan akan segera turun, padahal sudah masuk musim kemarau.
“Nggak usah repot-repot bukain pintu untuk anak yang tidak bisa menepati janji ma.”
“Tapi pa?”
Mengingat dirinya sebagai istri yang harus selalu berperan sebagai istri yang baik dan berbakti pada suami, ia urungkan niatnya untuk membantah lebih lanjut suaminya. Begitu kiranya mama aya dibesarkan oleh keluarganya. Sebagai seorang istri ia harus menurut pada suami. Tapi sebagai seorang ibu, ia juga punya naluri keibuan yang amat hebat terhadap anaknya. Ia takut kalau aya sampai sakit kalau harus tidur di luar.
“Pa, ma, bukain pintunya, please! Aya kapok pa, ma. Aya janji tidak akan mengulanginya lagi.” Suara aya terdengar lebih keras dari luar, suaranya kini terdengar lebih memelas. Ibunya sudah tidak kuasa menahan tangisnya. Kini ibunya langsung masuk ke dalam kamar untuk menghindari suara aya. Ia tak kuasa mendengar suara memelas anaknya yang ia tak bisa memenuhi permintaan anaknya. Berbeda dengan sang suami. Suaminya dibesarkan sebagai seorang yang terdidik dengan kedisplinan tingkat tinggi, ia tetap keukeuh dengan keputusan awalnya. Sekali melanggar, harus berani menerima konsekuensi dan bertanggung jawab atas tindakannya. Begitu ia menerapkan kedisiplinan pada aya, anak satu-satunya.
“Tak adakah kata maaf untuk anaknya sendiri?” Kiranya begitu yang mama aya tanyakan pada batinnya sendiri. Ia hanya patuh sebagai istri. Ia tak ingin membuat masalah lebih genting lagi dengan ia membantah suaminya. Sepertinya diam adalah benar-benar emas baginya ketika ia harus rela mengalah untuk tidak mendebat suaminya atas aturan yang sudah disepakati bersama.
Tepat saat adzan subuh berkumandang, aya terbangun. Malam itu aya terpaksa tidur di kursi teras depan rumah. Tak ada dispensasi dari papanya sehingga ia tetap tak diberikan ijin masuk rumah malam itu. Dengan segera aya bersiap untuk menuju musholla dekat rumahnya, meninggalkan tas yang penuh dengan buku.
“Untung tadi malam tidak hujan.” Aya bersyukur dalam hati. Tak ada setetes pun air hujan yang turun malam itu. Hanya ada bekas embun yang terlihat membasahi daun-daun yang karenanya kini pagi menjadi terlihat lebih sejuk dan segar. Selama perjalanan pulang, aya sudah memikirkan dengan runtut bagaimana ia akan menjelaskan semuanya pada papa-mamanya kenapa ia telat pulang ke rumah. “Semoga papa-mama mengerti.” Ucap aya lirih pada dirinya sendiri. Aya terlihat lebih girang ketika ia mendapati pintu rumahnya sudah terbuka setelah ia pulang dari musholla.
 “Aya, adakah yang lebih romantis dari pada penantian seorang ibu yang ingin mendekap anak satu-satunya?” Tanya papa aya setelah aya memeluk ibunya yang telah menunggunya di teras tempat aya tidur semalam.
“Ma, papa jahat ma. Tega sekali papa.” Aya tak menjawab pertanyaan gurauan papanya.
Sebenarnya pagi itu adalah kebahagiaan baru bagi aya. Dalam hati aya berterima kasih pada papanya karena dengan adanya hukuman itu ia lebih mengerti betapa ibunya amat menyayanginya.
“Pa, ma, aya mau jelasin kenapa tadi malam aya pulang telat.” Suasana sarapan terkondisikan jadi lebih serius ketika aya mulai menatap papa-mamanya satu per satu secara bergantian. Kesalahan ini terhitung sebagai kesalahan besar yang pernah aya lakuin. Tidak biasanya aya pulang ke rumah hingga jam sepuluh malam. Biasanya kalaupun belajar di rumah temannya paling-paling cuma sampai jam delapan malam. Kesalahan besar sebelumnya adalah saat aya menyembunyikan handphone papanya. Saat itu, aya menyembunyikan handphone ayahnya semalaman. Ia hanya ingin benar-benar menikmati suasana kebahagiaan keluarga kecilnya seperti dahulu sebelum papanya benar-benar sibuk dengan urusan pekerjaannya. Bahkan saat di rumah pun papanya masih sibuk dengan handphone yang katanya untuk menjalankan pekerjaannya. Geram karena semakin lama aya semakin merasa tidak mendapat perhatian papanya, akhirnya aya memutuskan untuk menyembunyikan handphone papanya. Atas perbuataannya tersebut, aya dihukum tidak diberi uang saku selama seminggu. Tapi aya tidak menyesal akan perbuatannya tersebut, meskipun kata papanya akibat ulah aya papanya jadi kehilangan kesempatan mendapatkan tender yang besar dari client-nya. Tidak lain adalah karena setelah ulah aya tersebut papa aya mulai mempertimbangkan dan mengatur waktu kerjanya agar urusan kerjanya lancar dan urusan keluarga kecilnya juga tetap harmonis seperti yang dulu. Akhirnya, aya mendapatkan papanya yang dulu, yang selalu punya waktu untuk keluarga , khususnya untuk aya.
“Nggak usah dijelasin ay.” Kini papanya menjawab lebih dulu.
“Kenapa pa?” Aya balik bertanya.
“Mamamu sudah menjelaskan kepada papa semuanya.”
“Tadi saat kamu mandi, mayang nelpon ke rumah. Mamamu yang angkat telponnya. Mayang cuma memastikan kamu sudah sampai rumah atau belum. Ia menyesal dan meminta maaf karena tadi malam lupa ngasih tahu kalau motor yang dipinjemin ke kamu ternyata bensinnya udah sangat nipis.”
“Ya ampun, pantesan saja. Bener-bener mayang kalau udah lupa, lupanya kelewatan. Aku kira motornya mogok pa, ma. Mau ke bengkel tapi aya nggak bawa uang. Jadi tadi malem aya terpaksa mendorong motornya sampai rumah.”
“Hush.. jangan ngomong gitu ay. Mayang udah berbaik hati lho minjemin motornya untuk kamu dorong. Kapan lagi aya dorong motor?  Iya kan pa?” Tawa papa-mama aya memenuhi ruang makan ukuran 3x4 meter itu, menghilangkan seluruh prasangka yang ada.


Yogyakarta, 19 Desember 2016

Kamis, 08 Desember 2016

Catatan Najwa : Melawan Negara

Melawan Negara

Rakyat biasa harus lancang berperkara,
membela diri sendiri menjadi pengacara.

Saat negara menginjak hak hidup mereka,
orang-orang bersahaja dipaksa berperkara.

Memilih jalur hukum membela nasib,
walau dunia hukum sepenuhnya asing.

Tak ada pengacara yang membela,
mungkin karena mereka bukan siapa-siapa.

Sebutlah mereka melek hak kewargaaan,
atau kezaliman sudah teramat keterlaluan.

Mereka mengetuk pintu peradilan dengan keras,
saat hak yang paling dasar telah dirampas.

Kenyataannya sebagian mereka berhasil,
mengoreksi wajah negara yang tidak adil.

Setiap orang-orang kecil bertindak,
kita melihat wajah negara terkoreksi lebih bijak.

Jangan pernah takut membela hak anda,
sebab keadilan bukan soal siapa tetapi apa dan bagaimana.


Rabu, 07 Desember 2016

Catatan Najwa : Dibui Tanpa Jeruji

Dibui Tanpa Jeruji

Ribuan anak muda pergi belajar ke luar negeri,
 dikirim oleh pemerintah Indonesia yang resmi.

Setelah Presiden Sukarno tumbang,
banyak yang tak bisa kembali pulang.

Tak jelas apa dosa dan kesalahan,
kewarganegaraan dicabut tanpa melalui pengadilan.

Hanya bisa pasrah di tanah pengasingan,
sembari menahan rindu yang tak tertanggungkan.

Ribuan orang dipisah paksa dari keluarga,
banyak yang meninggal tanpa sempat lagi bersua.

Indonesia sebenarnya juga merugi,
kehilangan ribuan sarjana yang berpotensi.

Orang-orang terpelajar yang disia-siakan,
karena transisi politik yang mematikan.

Zaman sudah banyak berubah,
namun kebencian belum sepenuhnya enyah.

Mereka hanya ingin bebas untuk kembali,
 mungkin ingin dikubur di negeri sendiri.

Indonesia adalah Tanah Air kita,
dan Indonesia juga tumpah darah mereka.


Bagaimana Air Mematikan Api?

Bagaimana Air Mematikan Api?



Kita paling senang kalau naik gunung ada acara api unggunnya. Kita juga sering membakar sampah di halaman rumah. Akan tetapi, pernahkah ita berpikir mengapa kertas surat terbakar? Apa yang terjadi dalam proses pembakaran itu? Mengapa ketika kita guyur api itu dengan air yang cukup, apinya menjadi padam?
Sebenarnya, penyebab kertas atau apapun yang kita bakar menjadi terbakar itu ada tiga. Sebab-sebab itu adalah adanya oksigen, adanya bahan yang terbakar, dan adanya panas yang cukup untuk membakar bahan itu. Jika salah satu dari ketiga sebab itu tidak ada, maka kertas itu tidak akan terbakar.
Api biasanya padam oleh guyuran air karena panas bahan yang dibakar berkurang. Guyuran air pertama yang menyentuh bahan terbakar akan berubah menjadi uap. Energi untuk mengubah air menjadi uap ini diambil dari panas yang terdapat di dalam bahan terbakar. Ketika guyuran air semakin diperbanyak, energi yang diserap semakin banyak pula. Akhirnya, suhu bahan itu semakin turun sampai di bawah titik reaksi pembakaran dan api pun padam.
Proses pembakaran dan pemadaman api itu merupakan satu dari sekian proses kimia. Itulah sebabnya belajar lmu kimia itu sangat penting bagi kita. Nah, selamat memasuki dunia kimia, yang sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan kita.

Mengenal Kimia
Nurul Kamilati

Disadur dari: Materi dan Kimia, Hamparan Dunia Ilmu Time-Life

Senin, 05 Desember 2016

MAULID AL-‘AZAB

MAULID AL-‘AZAB
(Terjemah Bagian Pertama)


Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan
dari nur-Nya, yang dengan nur itu alam telah diliputi petunjuk


Telah mendahului (oleh nur itu) dalam keberadaan alam semesta dengan rahasianya
maka segala sesuatu menurut kenyataan berasal dari nur itu


Yang aku maksud adalah nur orang yang telah menguasai makhluk
dan telah suci unsur-unsurnya lagi mulia asal-usulnya


(yaitu) Nabi yang terpilih sebaik-baik para makhluk, orang yang namanya
telah melambung tinggi derajatnya di atas bintang kekuasaan


Semoga Allah melimpahkan rahmat dan kesejahteraan kepadanya, serta
keluarga dan sahabatnya selama bintang menampakkan gemerlapnya


Nabi Muhammad adalah pembawa rahmat dan nikmat untuk alam semesta
maka telah meliputi atas semua makhluk dengan ajakannya


Ini harapanku kepada Allah dari karunianya
akan pertolongan atas pembuatan syair ini bagi masa kelahiran Nabi yang terpuji


Agar supaya menjadi sejuk jiwa-jiwa ketika mendengarnya
dan telah dihiasi pendengaran dengan untaian permata


Ya Tuhanku harumilah dengan rahmat akan kuburnya (Nabi Muhammad SAW)
dan kekalkanlah kepadanya akan keselamatan dari sisi-Mu selama-lamanya


Syi’ir Ula Maulid al-‘Azab
Syaikh Muhammad al-‘Azab Rahimahullahu Ta’ala

Pendekatan Termodinamis dan Kinetis dalam Reaksi Kimia

Pendekatan Termodinamis dan Kinetis dalam Reaksi Kimia

Dalam mengkaji reaksi kimia para ahli kimia melakukan dua pendekatan yaitu pendekatan termodinamis dan pendekatan kinetis. Pendekatan termodinamis disusun berdasarkan keadaan awal dan keadaan akhir reaksi, sedangkan pendekatan kinetis disusun berdasarkan jalannya proses. Dalam pendekatan termodinamis jalannya proses selama reaksi berlangsung tidak menjadi perhatian untuk dikaji. Sehingga kesimpulan yang diambil dalam pendekatan termodinamis hanya bergantung pada struktur dan sifat senyawa pada keadaan awal dan keadaan akhir dan kesimpulan ini dinamakan kesimpulan termodinamis. Misal dalam reaksi di antara reaktan AB dan CD menjadi produk AC dan BD. Dalam reaksi ini terjadi perubahan sifat dan struktur dari AB dan CD menjadi AC dan BD. Pendekatan termodinamis didasarkan atas pendekatan tentang keadaan awal dan keadaan akhir reaksi. Dalam hal ini kajian madya didasarkan atas sifat dan struktur AB dan CD sebagai reaktan dan sifat dan struktur AC dan BD sebagai produk. Perubahan kimia atau reaksi kimia akan terjadi jika sifat dan struktur reaktan tidak sama dengan sifat dan struktur produk. Sifat dan struktur reaktan dan produk ditentukan oleh beberapa besaran fisis, missal temperatur (T), tekanan (P), energi dalam (ΔE), energi panas (ΔH), energi bebas (ΔG), entropi (ΔS), dan tetapan kesetimbangan (K), besaran-besaran tersebut dikenal sebagai besaran termodinamis.
AB   +   CD   →   AC   +   BD
Secara termodinamis syarat reaksi akan berlangsung jika secara kualitatif produk memiliki tingkat kestabilan yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat kestabilan reaktannya. Sedangkan secara kuantitatif syarat reaksi akan berlangsung jika energy bebas reaksi (ΔGreaksi) bernilai negative atau ΔGr < 0. Harga ΔGr ditentukan oleh sifat alamiah dari reaktan dan produk (the nature of reactant and product) dimana sifat ini ditentukan oleh energi dalam (ΔE), energi panas (ΔH), dan entropi (ΔS) dari masing-masing senyawa yang terlibat dalam reaksi baik sebagai reaktan maupun sebagai produk. Pendekatan termodinamis dapat dilakukan tanpa melakukan kajian di laboratorium dan biasanya pendekatan ini dilakukan pada awal perancangan suatu reaksi. Para ahli kimia merancang apakah suatu reaksi dapat berlangsung atau tidak berdasarkan sifat-sifat termodinamis dari reaktan yang terlibat dan produk yang akan dihasilkan dalam reaksi. Pendekatan termodinamis dapat menjelaskan mengapa reaksi mudah dilakukan dalam fasa larutan dari pada reaksi dalam fasa padatan. Proses pelarutan reaktan menjadi penting agar reaksi lebih mudah dilakukan, termasuk diperlukannya proses pemanasan dalam reaksi.
Secara termodinamis reaksi kimia digambarkan sebagai reaksi satu tahap yang juga dikenal sebagai reaksi sederhana (simple reaction atau elementary reaction).
Reaksi akan terjadi bila sejumlah energi ditambahkan dalam sistem reaksi. Penambahan energi akan dilakukan sampai tingkat energi tertentu yang disebut dengan barrier energy atau energi teraktivasi (activated energy), yang merupakan energi minimum yang diperlukan untuk berlangsungnya suatu reaksi. Pada tingkat energi ini senyawa reaktan akan mengalami keadaan teraktivasi sebelum berubah menjadi produk. Pada keadaan teraktivasi senyawa dalam keadaan tidak stabil, tidak berstruktur dan tidak dapat diukur atau ditentukan, orang sering menyebut  sebagai senyawa imajiner atau senyawa abstrak tetapi energi aktivasinya secara eksperimental dapat diukur dan ditentukan. Dalam reaksi termodinamis reaksi kimia digambarkan hanya terdiri dari dua spesies, yaitu spesies reaktan dan spesies produk yang memiliki tingkat kestabilan lebih tinggi dari kompleks teraktivasi. Reaktan dan produk memiliki tingkat kestabilan lebih tinggi dari kompleks teraktivasi. Reaktan dan produk memilki waktu kestabilan yang lebih tinggi dari waktu kestabilan kompleks teraktivasi.
Dalam reaksi kimia disamping pendekatan termodinamis dikenal pendekatan lain yaitu pendekatan kinetis. Pendekatan yang didasarkan atas jalannya proses. Dalam pendekatan kinetis yang dikaji tidak hanya sifat dan struktur senyawa pada keadaan awal dan akhir, tetapi juga ditentukan oleh hasil-hasil kajian yang diperoleh selama berlangsungnya proses. Keberhasilan kajian kinetis dalam suatu reaksi ditandai dengan keberhasilan mengisolasi atau mengidentifikasi keberadaan senyawa antara atau madya yang terjadi sebelum senyawa produk terbentuk. Senyawa produk merupakan hasil peruraian dari senyawa madya. Sehingga dalam pengertian reaksi kinetis adalah reaksi yang memiliki spesies tidak hanya reaktan dan produk tetapi juga memiliki spesies lain yang disebut dengan zat antara atau madya. Spesies reaktan dan spesies produk memiliki tingkat kestabilan lebih tinggi dari madya, dimana madya memiliki tingkat kestabilan yang juga lebih tinggi dibanding dengan tingkat kestabilan kompleks teraktivasi. Reaktan dan produk memiliki waktu kestabilan yang lebih tinggi dari waktu kestabilan madya dan kompleks teraktivasi, treaktan, tproduk, > tmadya > tkompleks teraktivasi. Reaksi kinetis sering disebut sebagai reaksi yang berlangsung dalam beberapa tahap atau disebut sebagai reaksi rumit (complex reaction).
Zat antara (madya) merupakan senyawa yang terbentuk selama berlangsungnya proses reaksi, senyawa tersebut memiliki waktu kestabilan yang lebih tinggi dari kompleks teraktivasi sehingga dapat diisolasi dan memiliki struktur senyawa yang jelas (riil) bukan abstrak (imajiner) seperti yang terjadi pada kompleks teraktivasi. Walaupun demikian madya akan segera terdissosiasi menjadi senyawa produk. Jumlah tahapan reaksi yang terbentuk selama reaksi tergantung pada jumlah madya yang terbentuk, makin banyak jumlah madya yang mampu terisolasi selama proses reaksi tahapan reaksi yang terjadi juga semakin banyak. Keberhasilan pendekatan kinetis sangat bergantung pada fakta-fakta eksperimental yang diperoleh selama mengkaji suatu reaksi dan ini sangat tergantung pada teknologi isolasi dan teknologi identifikasi dan karakterisasi senyawa madya yang biasanya memiliki waktu stabilitas yang lebih pendek dari senyawa produk. Reaksi kimia yang telah berhasil dikaji secara kinetis diartikan sebagai reaksi yang telah memiliki mekanisme reaksi atau tahapan reaksi dan sering disebut sebagai reaksi lambat, sedangkan reaksi yang belum berhasil dikaji mekanismenya disebut dengan reaksi cepat. Contoh reaksi lambat adalah reaksi penyulihan ligan pada senyawa kompleks logam, contoh reaksi cepat adalah reaksi asam-basa. Dalam kajian dengan melalui pendekatan kinetis akan dihasilkan fakta-fakta eksperimental yang dikenal sebagai besaran kinetis, yaitu r (laju reaksi), k (tetapan laju reaksi), t (waktu reaksi), t1/2 (waktu paroh reaksi), waktu hidup madya (madya life time). Dengan berkembangnya teknologi identifikasi dan karakterisasi senyawa dari waktu ke waktu memberikan arti pula pada perkembangan keberhasilan para ahli kimia dalam mengungkap mekanisme suatu reaksi, sehingga reaksi yang pada masa-masa lalu dikenal sebagai reaksi cepat akan berubah sebutannya menjadi reaksi lambat karena mekanismenya telah berhasil diungkap.
Dalam kajian dengan pendekatan termodinamis, kesimpulan termodinamis suatu reaksi disusun atas besaran termodinamis yang dimiliki oleh senyawa sebelum dan sesudah reaksi. Sedangkan dalam kajian dengan pendekatan kinetis, kesimpulan kinetis dari suatu reaksi disusun atas besaran kinetis yang dimiliki reaksi dimana besaran-besaran kinetis ini biasanya juga ditentukan oleh besaran-besaran termodinamis yang dimiliki oleh senyawa sebelum dan sesudah reaksi. Karena sifat besaran termodinamis dan kinetis yang berbeda maka kesimpulan-kesimpulan termodinamis yang dimiliki oleh suatu reaksi tidak otomatis berbanding lurus dengan rumusan kesimpulan kinetis begitu pula sebaliknya.
Laju reaksi merupakan besaran kinetis yang dimaknai sebagai cepat atau lambatnya suatu senyawa untuk bereaksi, laju reaksi cepat berarti senyawa tersebut mudah bereaksi atau senyawa tersebut adalah labil (labile) dan jika lambat bereaksi disebut lembam (inert). Istilah labil dan lembam merupakan istilah yang bersifat kinetis atau disebut sebagai besaran kinetis. Labilitas sering juga disebut sebagai stabilitas kinetik. Sedangkan tetapan kesetimbangan yang merupakan besaran termodinamis yang memberikan gambaran tentang sifat stabilitas suatu senyawa. Senyawa stabil (harga K yang besar) adalah senyawa yang tidak mudah bereaksi, dan senyawa tak stabil (harga K yang kecil) adalah senyawa yang mudah untuk bereaksi. Senyawa stabil atau stabilitas suatu senyawa adalah istilah termodinamis, sedangkan derajat kemudahan reaksi atau labilitas adalah istilah kinetis. Kesimpulan kinetis belum tentu tepat hasilnya jika dibangun hanya oleh besaran termodinamis dan sebaliknya. Oleh karena itu, kesimpulan kinetis sebaiknya hanya dibangun oleh besaran-besaran kinetis.


Arryanto, Yateman, 2013, Seri Reaksi Anorganik Mekanisme Reaksi Anorganik, Penerbit Gala Ilmu Semesta, Yogyakarta

Jumat, 02 Desember 2016

Masih Seperti yang Dulu

Masih Seperti yang Dulu

Keributan kecil seringkali terjadi di masa-masa sekolah. Seperti halnya kejadian siang itu di kantin sekolah. Ketika amel dan teman-temannya sedang berjalan menuju kantin sekolah, amel dan teman-temannya kaget bukan kepalang karena tidak seperti biasanya tempat duduk yang biasa mereka duduki pada jam istirahat kini telah diisi oleh seseorang.
Amel berkacak pinggang di depan anak yang duduk di bangku yang biasa ia pakai. Teman-teman geng amel yang lain juga mengikuti, ikut berkacak pinggang. “Eh, lo berani-beraninya ya duduk di tempat ini!” Amel mengucapkannya dengan nada seperti mengancam. “Siapa sih lo? Anak baru? Tidak tahu siapa kita?” Lanjut amel. “Maaf mbak, saya gilang. Anak kelas dua ipa. Iya saya anak baru di sini mbak.” Jawab gilang tanpa ada ekspresi kaget apalagi bersalah. Memang seharusnya mengapa mesti merasa bersalah padahal dia kan duduk ditempat yang memang kosong sebelumnya, yang salah itu kalau dia duduk dengan memaksa orang lain untuk pindah. Itu yang salah. Begitu pikir gilang.
“Pertanyaan terakhirku belum kamu jawab. Kamu tidak tahu siapa kita?” teman-teman geng amel heran mendengar pertanyaan amel tadi. Sejak kapan amel memanggil seseorang yang sebaya dengannya dengan sebutan kamu? Biasanya amel aksen banget dengan logat gaulnya. Kenapa tiba-tiba ia jadi agak sedikit sopan? Teman-temannya masih belum tahu alasannya kenapa amel tiba-tiba berubah. “Maaf mbak, saya belum tahu dan belum kenal siapa mbak. Silahkan duduk dulu mbak biar enak ngobrolnya.” Gilang menjawab dengan santai. Tak ada gurat kecemasan pada wajahnya, padahal sebenarnya amel dan teman-temannya ingin mendampratnya habis-habisan.
“Kenalin, aku amel, dan mereka ini teman-temanku.” Akhirnya amel menyalami gilang dengan memperkenalkan namanya, kemudian diikuti oleh teman-temannya yang masih belum paham kenapa tiba-tiba amel jadi berubah 180 derajat dari yang awalnya ingin melabrak anak itu kini ia malah berkenalan dengannya.
“Amel lagi kesambet kali ya?” Bisik dina pada rina, teman satu geng amel. “Mungkin juga. Tapi lebih tepatnya mungkin amel lagi kesengsem sama cowok itu.” Jawab rina. Amel, dina, dan rina adalah geng trio yang cukup terkenal di sekolah. Mereka terkenal karena sering berbuat nakal pada teman-temnannya yang suka usil atau membuat keributan di sekolah. Meskipun mereka bertiga cewek, jangan ditanya berani atau tidak mereka memberi peringatan atau melawan lawan jenisnya.
Awalnya perkenalan amel dan teman-temannya dengan gilang biasa saja, namun entah semenjak kapan amel jadi berubah. Menurut dina dan rina, amel berubah jadi semakin dekat dengan gilang. Seperti cerita lama, cinta kadang bisa menomorduakan pertemanan. Begitu mungkin yang dina dan rina pikirkan. Tapi dina dan rina merasa tidak merasa perlu bertanya pada amel. Mereka berdua ingin amel sendiri yang menjelaskannya, tanpa mereka bertanya terlebih dahulu apalagi tahu dari teman-teman yang lain. Bagi mereka yang sudah berteman dari SMP hingga kelas 2 SMA, rasa penasaran akan satu dengan yang lain kadang memang harus menunggu waktunya untuk baru mendapat jawabannya. Prinsip pertemanan mereka adalah kejujuran.
“Maaf ya din, rin, kalian pasti nunggu lama. Gue tadi habis nyari buku di perpus.” Jelas amel saat menemui dina dan rina di kantin. “Iya, gakpapa mel. Lo pasti sibuk ke perpus dengan si gilang kan?” Akhirnya rina menjawab sekaligus bertanya, agak sebal. “Nah lho, kalian pasti ngira yang aneh-aneh antara aku dan gilang.” Amel berusaha menjelaskan dan kemudian melanjutkan, “Aku dan gilang tidak ada apa-apa. Catat itu baik-baik ya. Aku hanya ada keperluan sama dia. Tidak lebih dari sebatas teman.” “Buktinya kalau tidak ada apa-apa apa mel?” Kini gantian dina yang bertanya. Amel mematung. Ia tak dapat menjelaskan semuanya waktu itu juga.
Sudah beberapa hari dina dan rina mengasingkan amel. Setiap kali mereka bertemu dengan amel, keduanya selalu menghindar untuk dekat-dekat dengan amel. Sampai pada waktunya, amel memaksa mereka untuk berterus terang, meminta kejelasan kedua temannya tersebut. Padahal sebenarnya dina dan rina lah yang mestinya dapat penjelasan terlebih dahulu. “Oke. Gue akan jelasin semuanya, dari pada kita salah paham terus menerus.” Akhirnya amel menyerah untuk kebaikan. Ia harus menceritakan semuanya sebelum akhirnya masalah tambah runyam.
Amel menarik napas dalam-dalam, bersiap menjelaskan.
“Sebenarnya gilang itu saudaraku.”
“Hah. Apa maksudmu mel?” Dina terbelalak.
“Iya, gilang itu saudara kandungku. Tepatnya saudara satu bapak.”
“Bapakmu punya dua istri mel? Kok gue baru tahu.” Kini rina yang terbelalak heran, masih tidak percaya dengan apa yang diucapkan amel barusan.
“Sebentar ya, aku ke toilet bentar. Penjelasan lanjutan dan lengkapnya nanti setelah pulang sekolah kalian langsung ke rumahku ya.”
“Yah, amel terlalu. Kebiasaan selalu buat kita penasaran.”
Amel tidak peduli dengan gerutuan dina dan rina. Kini ia sudah berlari menuju toilet. Dina dan rina pun paham. Mereka akan menuntut penjelasan lanjutan dari amel langsung setelah pulang sekolah. Amel memang tidak biasa menceritakan hal yang kiranya sangat penting untuk diceritakan di sekolah. Bahaya kalau didengar orang lain. Begitu kata amel.
Tok. Tokk. Tokkk.
Tak menunggu lama, pintu pun terbuka. Tapi bukan amel yang membuka pintunya, tapi gilang. “Amelnya ada?” Rina pun langsung to the point. Gilang bilang kalau amel lagi makan. Dina dan rina saling lirik setelah mereka dipersilahkan masuk oleh gilang.
Akhirnya amel pun muncul dengan dandanan seperti biasanya. Pakai celana santai dan mengenakan kaos kesukaannya, kaos dengan gambar menara Eiffel. Namun, tiba-tiba beberapa orang satu per satu muncul di belakang amel secara periodik. Dina dan rani hanya mengenali ayah dan ibu amel, serta gilang. Mereka tidak mengenali dua orang yang lain.
“Din, rin. Kenalin ini ibunya gilang dan ini adiknya.” Amel memperkenalkan dua orang yang belum mereka kenali tadi. Amel melanjutkan, “Ini keluarga lengkapku din, rin.”
“Beberapa hari terakhir, saat gue sama kalian nemuin gilang di kantin, kita sama-sama sebal dan marah karena berani-beraninya ia menduduki tempat duduk yang biasa kita pakai. Gue berubah jadi yang awalnya pengen marah jadi seperti itu karena waktu itu gue lagi mengingat-ingat, soalnya sepertinya aku pernah bertemu dengan gilang sebelumnya. Dan ternyata benar. Setelah gilang memperkenalkan namanya, aku pun yakin seyakin-yakinnya kalau itu memang dia. Saudaraku yang terpisah oleh keadaan.” Amel menjelaskan dengan haru.
“Benar kata amel dek. Setelah kejadian itu amel bilang ke bapak kalau dia bertemu dengan gilang. Waktu itu, bapak langsung mencari info tempat tinggal keluarga gilang. Akhirnya ketemu. Gilang itu anak kandung bapak dari pernikahan siri bapak dengan ibunya gilang. Mereka tiba-tiba menghilang begitu saja ketika ada masalah keluarga antara bapak dengan keluarga mertua bapak, keluarga dari ibunya amel.” Jelas bapak amel.
“Maaf ya din, rin. Gara-gara aku kalian jadi menyangka yang aneh-aneh pada amel. Aku jadi menyita waktu kebersamaan kalian. Tapi ada satu hal yang ingin aku sampaikan pada kalian. Amel tidak berubah. Ia tetap menjadi anak nakal seperti kalian. Haha” gelak tawa pun akhirnya membahana setelah gilang bersuara. “Ia baik padaku karena ia merasa aku dulu sering berbuat baik padanya. Karena katanya dulu ia tak sempat membalasnya, kini ia ingin membalasnya. Itu yang kusuka dari adikku yang nakal ini. Ia tidak berubah.” Jelas gilang lagi.
“Nakal boleh kan kak, asal pada batas sewajarnya. Amel kan nakalnya masih pada batas wajar. Hehe. Yang nggak boleh itu nakalin orang yang berbuat baik pada kita kak.” Jawab amel menjelaskan, mencoba meluruskan perkataan kakaknya tadi.


Yogyakarta, 03 Desember 2016 

Kamis, 24 November 2016

Tania

Tania

“Kok masih sepi ya, padahal sudah jam setengah enam pagi.” Tania bergumam dalam hati. Melihat kondisi sekitar, kiri kanannya masih sangat sepi. Hanya petugas kereta api yang terlihat. Belum terlihat bakal calon penumpang yang akan menaiki kereta.
Kini ia seorang diri berjalan menuju loket tempat pembelian tiket. Tadi sebenarnya ada teman kos yang mengantarnya, tapi tania terlalu sungkan jika temannya harus menunggunya hingga berangkat. Akhirnya ia menyuruh temannya balik terlebih dahulu. “Aku berani kok mal, tenang aja. Jangan khawatir dengan temanmu ini. Lebih baik kamu mencemaskan kalau nanti pulang tidak membawa pesanan ibu kos tadi. Hehe” seru tania pada teman kosnya sebelum akhirnya temannya itu menurut untuk balik duluan. Iya, sebenarnya tadi ibu kos mereka memang berpesan kepada mala yang mengantar tania untuk sekalian ke pasar membeli sapu ijuk untuknya.
“Pak, tiket kereta ke bandung satu ya!” Ucap tania pada petugas penjual tiket.
“Untuk pemberangkatan pagi ini mbak?” Petugas tiket bertanya dengan suara lirih. Sepertinya masih ngantuk karena petugas tersebut dapat shif jam kerja dari jam tujuh malam hingga jam tujuh pagi.
“Iya pak, untuk pemberangkatan pagi ini jam setengah tujuh. Masih ada kursi yang kosong kan pak?”
“Masih mbak. Kebetulan sekali ini masih ada satu tiket. Penumpang-penumpang sekarang jarang sekali yang membeli tiket pada hari-H saat mereka mau berangkat mbak. Umumnya mereka memesan tiket jauh-jauh hari sebelum keberangkatan, dan pembeliannya pun sudah jarang pula yang datang langsung ke loket ini. Zaman sudah canggih mbak. Pembelian tiketnya bisa pakai HP sekarang.
“Syukurlah kalau gitu pak.” Balas tania sambil menyodorkan uang dan mengambil tiketnya. “Pantesan saja pak dari tadi saya lihat kok masih sepi, saya kira ada masalah dengan dengan jadwal keberangkatan kereta pagi ini.” lanjut tania.
“Untuk jadwal pemberangkatannya tetap mbak, cuma biasanya penumpang-penumpang sekarang datangnya mepet-mepet waktu kereta sudah mau berangkat. Umumnya stasiun ini ramai lima belas menit sebelum kereta berangkat.” Jelas petugas tiket.
Tanpa terasa, obrolan antara petugas tiket dengan tania pun menjadi semakin asyik, sehingga tanpa sadar ternyata sebentar lagi adalah jam kereta siap untuk berangkat. Penumpang-penumpang yang tadi tidak kelihatan, stasiun yang melompong kini terhihat begitu ramai. Suara peringatan petugas untuk para penumpang agar segera masuk ke dalam kereta juga sudah terdengar. Saat itu, obrolan tania dan petugas tiket terpaksa berhenti.
Ini adalah kali pertama tania naik kereta. Setelah belajar satu semester di kota pelajar, liburan semester ini ia ingin pulang untuk menikmati liburan bersama keluarga dan teman-teman lama di tanah kelahirannya, bandung. Tercatat sebagai mahasiswa yang berani mengambil resiko. Itulah tania. Dalam catatan sejarah perjalanannya hingga ke kota pelajar tersebut, tania hanya mengandalkan satu jurus, yaitu mau.
Tania duduk bersebelahan dengan ibu-ibu yang membawa anaknya yang masih sangat kecil, kira-kira umur 2 tahun. “Pagi Bu.” Sapa tania pada ibu tersebut. “Pagi dek.” Jawab ibu itu halus. “Itu anaknya ya bu?” Tania bertanya lagi sambil senyum-senyum pada anak ibu tersebut. “Iya dek, ini anak saya.”
“Lucu sekali bu anaknya, boleh saya gendong?” Pinta tania.
“Boleh dek, tapi apa malah tidak merepotkan?” Ibu itu sedikit ragu.
“Nggak kok bu, saya malah senang. Anak ibu seperti adek saya. Nggemesin kalau punya adek sekecil ini.”
“Umurnya berapa dek?”
“Dua tahun bu.”
“Wah, seumuran berarti dek. Anak saya ini juga dua tahun umurnya.”
Sepertinya tania sudah begitu mahir menggendong anak kecil. Anak ibu itu dibuat ketawa terus dengan godaan tania. Pengalaman mempunyai adek yang seumuran dengan anak kecil itu menjadikan tania terbiasa bagaimana menangani anak kecil.
“Sudah kayak ibu saja kamu dek. Sepertinya sudah cocok jadi ibu.” Goda ibu tersebut pada tania. “Saya masih kecil bu, umur saya saja baru 18 tahun. Masih sekolah juga bu, masak sudah pantas jadi ibu?” Tania mengelak dengan jawaban sekenanya. “Dek, menjadi ibu yang baik itu bukan masalah umur. Umur yang matang tak menjamin ia akan menjadi ibu yang dewasa, yang terpenting ada pada seorang ibu itu sendiri, apakah ia sudah siap apa belum. Banyak yang sudah menikah dek, tapi banyak pula yang belum siap jadi ibu.”
“Maksudnya siap bagaimana bu?”
“Suatu saat kamu akan tahu dek. Untuk sekarang ibu hanya bisa memberi pesan, belajarlah yang rajin untuk calon anak-anakmu besok agar darimu terlahir generasi pembelajar sejati. Juga latihlah dirimu, agar mempunyai hati yang lapang. Agar jika terjadi masalah padamu dan keluargamu, kau tak mudah berkeluh kesah pada orang lain.” Ibu itu menunduk, sambil menyeka air mata tipis yang hampir menetes.
“Iya bu. Tapi ibu kenapa malah menangis?”
Ibu itu masih terdiam.
Tania tidak berani bertanya lagi, namun akhirnya ibu itu menjawab.
“Maaf dek, sebenarnya pesan itu untuk diriku sendiri. Harusnya pesan itu ku pegang seteguh-teguhnya. Namun kini seakan tiada gunanya bagiku. Semua telah terlanjur terjadi. Jadi saya pesankan pada adek agar adek tidak mempunyai nasib yang sama denganku.” Kini isak ibu itu semakin menjadi.
Tania masih tidak mengerti. Ibu itu juga tidak melanjutkan penjelasannya hingga kereta berhenti di stasiun tujuan akhir.


Yogyakarta, 25 November 2015