Halaman

Kamis, 24 November 2016

Tania

Tania

“Kok masih sepi ya, padahal sudah jam setengah enam pagi.” Tania bergumam dalam hati. Melihat kondisi sekitar, kiri kanannya masih sangat sepi. Hanya petugas kereta api yang terlihat. Belum terlihat bakal calon penumpang yang akan menaiki kereta.
Kini ia seorang diri berjalan menuju loket tempat pembelian tiket. Tadi sebenarnya ada teman kos yang mengantarnya, tapi tania terlalu sungkan jika temannya harus menunggunya hingga berangkat. Akhirnya ia menyuruh temannya balik terlebih dahulu. “Aku berani kok mal, tenang aja. Jangan khawatir dengan temanmu ini. Lebih baik kamu mencemaskan kalau nanti pulang tidak membawa pesanan ibu kos tadi. Hehe” seru tania pada teman kosnya sebelum akhirnya temannya itu menurut untuk balik duluan. Iya, sebenarnya tadi ibu kos mereka memang berpesan kepada mala yang mengantar tania untuk sekalian ke pasar membeli sapu ijuk untuknya.
“Pak, tiket kereta ke bandung satu ya!” Ucap tania pada petugas penjual tiket.
“Untuk pemberangkatan pagi ini mbak?” Petugas tiket bertanya dengan suara lirih. Sepertinya masih ngantuk karena petugas tersebut dapat shif jam kerja dari jam tujuh malam hingga jam tujuh pagi.
“Iya pak, untuk pemberangkatan pagi ini jam setengah tujuh. Masih ada kursi yang kosong kan pak?”
“Masih mbak. Kebetulan sekali ini masih ada satu tiket. Penumpang-penumpang sekarang jarang sekali yang membeli tiket pada hari-H saat mereka mau berangkat mbak. Umumnya mereka memesan tiket jauh-jauh hari sebelum keberangkatan, dan pembeliannya pun sudah jarang pula yang datang langsung ke loket ini. Zaman sudah canggih mbak. Pembelian tiketnya bisa pakai HP sekarang.
“Syukurlah kalau gitu pak.” Balas tania sambil menyodorkan uang dan mengambil tiketnya. “Pantesan saja pak dari tadi saya lihat kok masih sepi, saya kira ada masalah dengan dengan jadwal keberangkatan kereta pagi ini.” lanjut tania.
“Untuk jadwal pemberangkatannya tetap mbak, cuma biasanya penumpang-penumpang sekarang datangnya mepet-mepet waktu kereta sudah mau berangkat. Umumnya stasiun ini ramai lima belas menit sebelum kereta berangkat.” Jelas petugas tiket.
Tanpa terasa, obrolan antara petugas tiket dengan tania pun menjadi semakin asyik, sehingga tanpa sadar ternyata sebentar lagi adalah jam kereta siap untuk berangkat. Penumpang-penumpang yang tadi tidak kelihatan, stasiun yang melompong kini terhihat begitu ramai. Suara peringatan petugas untuk para penumpang agar segera masuk ke dalam kereta juga sudah terdengar. Saat itu, obrolan tania dan petugas tiket terpaksa berhenti.
Ini adalah kali pertama tania naik kereta. Setelah belajar satu semester di kota pelajar, liburan semester ini ia ingin pulang untuk menikmati liburan bersama keluarga dan teman-teman lama di tanah kelahirannya, bandung. Tercatat sebagai mahasiswa yang berani mengambil resiko. Itulah tania. Dalam catatan sejarah perjalanannya hingga ke kota pelajar tersebut, tania hanya mengandalkan satu jurus, yaitu mau.
Tania duduk bersebelahan dengan ibu-ibu yang membawa anaknya yang masih sangat kecil, kira-kira umur 2 tahun. “Pagi Bu.” Sapa tania pada ibu tersebut. “Pagi dek.” Jawab ibu itu halus. “Itu anaknya ya bu?” Tania bertanya lagi sambil senyum-senyum pada anak ibu tersebut. “Iya dek, ini anak saya.”
“Lucu sekali bu anaknya, boleh saya gendong?” Pinta tania.
“Boleh dek, tapi apa malah tidak merepotkan?” Ibu itu sedikit ragu.
“Nggak kok bu, saya malah senang. Anak ibu seperti adek saya. Nggemesin kalau punya adek sekecil ini.”
“Umurnya berapa dek?”
“Dua tahun bu.”
“Wah, seumuran berarti dek. Anak saya ini juga dua tahun umurnya.”
Sepertinya tania sudah begitu mahir menggendong anak kecil. Anak ibu itu dibuat ketawa terus dengan godaan tania. Pengalaman mempunyai adek yang seumuran dengan anak kecil itu menjadikan tania terbiasa bagaimana menangani anak kecil.
“Sudah kayak ibu saja kamu dek. Sepertinya sudah cocok jadi ibu.” Goda ibu tersebut pada tania. “Saya masih kecil bu, umur saya saja baru 18 tahun. Masih sekolah juga bu, masak sudah pantas jadi ibu?” Tania mengelak dengan jawaban sekenanya. “Dek, menjadi ibu yang baik itu bukan masalah umur. Umur yang matang tak menjamin ia akan menjadi ibu yang dewasa, yang terpenting ada pada seorang ibu itu sendiri, apakah ia sudah siap apa belum. Banyak yang sudah menikah dek, tapi banyak pula yang belum siap jadi ibu.”
“Maksudnya siap bagaimana bu?”
“Suatu saat kamu akan tahu dek. Untuk sekarang ibu hanya bisa memberi pesan, belajarlah yang rajin untuk calon anak-anakmu besok agar darimu terlahir generasi pembelajar sejati. Juga latihlah dirimu, agar mempunyai hati yang lapang. Agar jika terjadi masalah padamu dan keluargamu, kau tak mudah berkeluh kesah pada orang lain.” Ibu itu menunduk, sambil menyeka air mata tipis yang hampir menetes.
“Iya bu. Tapi ibu kenapa malah menangis?”
Ibu itu masih terdiam.
Tania tidak berani bertanya lagi, namun akhirnya ibu itu menjawab.
“Maaf dek, sebenarnya pesan itu untuk diriku sendiri. Harusnya pesan itu ku pegang seteguh-teguhnya. Namun kini seakan tiada gunanya bagiku. Semua telah terlanjur terjadi. Jadi saya pesankan pada adek agar adek tidak mempunyai nasib yang sama denganku.” Kini isak ibu itu semakin menjadi.
Tania masih tidak mengerti. Ibu itu juga tidak melanjutkan penjelasannya hingga kereta berhenti di stasiun tujuan akhir.


Yogyakarta, 25 November 2015

Rabu, 23 November 2016

Presipitimetri

Presipitimetri

Presipitimetri ialah cara titrasi dimana terjadi endapan (presipitat = precipitate = endapan). Contoh yang mudah ialah:
AgNO3   +   NaCl   →   AgCl ↙   +   NaNO3
Makin kecil kelarutan garam yang terbentuk, makin sempurna reaksinya. Dalam pembicaraan di sini hanya akan dibahas “ARGENTOMETRI” yakni titrasi-titrasi yang menyangkut penggunaan larutan AgNO3.
         Argentometri dimana terbentuk endapan (ada juga argentometri yang tergolong pembentukan kompleks) dibedakan menjadi tiga macam cara berdasar indikator yang dipakai untuk penentuan titik akhir:

1.      CARA MOHR (1856): indikator K2CrO4, titrant ialah AgNO3. Terutama untuk menentukan garam klorida dengan titrasi langsung, atau menentukan garam perak dengan titrasi kembali setelah ditambah larutan baku NaCl berlebih. pH harus diatur agar tidak terlalu asam maupun terlalu basa (antara 6 dan 10).
2.      CARA VOLHARD: indikator Fe3+, titrant KSCN atau NH4SCN. Untuk menentukan garam perak dengan titrasi langsung, atau garam-garam klorida, bromide, iodide, tiosianat, dengan titrasi kembali setelah ditambah larutan baku AgNO3 berlebih; juga untuk anion-anion yang lebih mudah larut dari AgSCN, tetapi dengan usaha khusus. pH harus cukup rendah, kira-kira 0,3 M H+ , agar Fe3+ tidak terhidrolisa.
3.      CARA FAJANS: indikator ialah salah satu indikator adsorpsi menurut macam anion yang diendapkan oleh Ag+, titrant AgNO3; pH tergantung dari macam anion dan indikator yang dipakai.

Jadi dalam tiga cara tersebut titrant masing-masing tertentu, indkator dan pH untuk cara Mohr dan Volhard tertentu, sedangkan dalam cara Fajans indikator tidak harus tertentu dan Ph harus disesuaikan dengan indikator.


Harjadi, W., 1990, Ilmu Kimia Analitik Dasar, Penerbit PT Gramedia, Jakarta

Minggu, 20 November 2016

Meski Tanpa Sepatah Kata

Meski Tanpa Sepatah Kata

 “Tentang Dokter Kecilku”
Pagi masih sangat dingin kala itu. Tapi mentari sudah mulai tampak gagah dengan semburatnya. Anak-anak se-sekolahan kami pun masih sibuk dengan rutinitas di rumah mereka masing-masing. Ada yang membantu orang tua menyapu rumah, ada yang memberi makan ayam piaraannya, ada yang menyiapkan mainan untuk bermain di sekolah, dan ada pula yang mencuci sepeda untuk persiapan balapan di jam istirahat sekolah. Di antara mereka belum ada satupun yang bersiap-siap untuk mandi atau sarapan. Berbeda dengan kami, pukul 06.00 kami sudah rapi, sudah siap untuk berangkat.
Di antara kalian mungkin lebih bangga jika berangkat ke sekolah diantar oleh orang tua dengan motor atau mobil. Pagi itu, kami pun sangat senang. Namun, bukan karena akan diantar dengan mobil atau pun motor. Kami senang karena kami akan berangkat dengan menggunakan dokar. Dokar merupakan alat transportasi tradisional yang menggunakan kuda sebagai penariknya. Di antara kalian ada yang belum pernah naik dokar? Ah, sayang sekali kalau belum.
Mungkin dokar bagi umumnya orang dianggap sebagai alat transportasi kuno dan jadul. Tapi apalah artinya jadul dan kuno bagi kami yang waktu itu baru memasuki kelas 5 SD. Kuno dan jadul bukanlah jadi masalah. Bagi anak sekecil kami yang penting sesuatu itu menyenangkan. Bahkan bagi kami waktu itu naik dokar menjadi sangat menarik dan sangat cocok bagi kami, anak desa. Bukankah untuk merasakan kesenangan tak ada syarat harus menggunakan fasilitas yang mewah atau pun modern? Fasilitas hanyalah piranti, karena sesungguhnya kesenangan itu tergantung bagaimana kita dapat menikmati fasilitas itu.
“Sudah siap berangkat? Tidak ada barang yang tertinggal kan?” Kepala sekolah memastikan tidak ada perlengkapan yang tertinggal. “Siap Pak.” Kami pun menjawab dengan semangat. “Kalau gitu, hati-hati ya di sananya. Ingat, kalian nanti ada di sekolah lain, jangan bikin polah aneh-aneh dan jangan bikin ribut!” Pesan pak kepala sekolah kami setelah kami berpamitan menyalami beliau. Sambil cengar-cengir dan saling lirik kami pun mengiyakan pesan beliau. “Ok Pak.”
“Sudah cocok jadi dokter belum? Hehe” Rendi bertanya sambil bergaya ala dokter. “Cocok. Cocok banget. Jadi pasien yang siap disuntik.” Selvi menjawab dengan asal, dan spontan kami pun tertawa.
Pagi itu kami memakai seragam yang tidak biasa. Kami memakai seragam serba putih. Atasan putih, bawahan juga putih. Hari itu adalah hari pertama kami tidak berangkat ke sekolah kami sendiri. Kami bertiga berangkat ke sekolah SMP di dekat kecamatan. Kami bertiga ditunjuk pihak sekolah untuk menjadi delegasi sekolah untuk mengikuti kegiatan orientasi dokter kecil bersama dengan anak-anak sekolah lain se-kecamatan.
Meski kita tahu bahwa dokar jalannya tidak bisa secepat motor atau alat transportasi modern lainnya, tapi setidaknya kita bisa sampai di tempat tujuan tepat waktu, tidak telat. Selama perjalanan kita juga bisa mengobrol santai sambil mengamati sekeliling.
Sampai di sekolah tempat orientasi dokter kecil tersebut, kami diminta oleh petugas presensi untuk mengisi daftar hadir terlebih dahulu dan setelah itu kami diarahkan ke kelas kami. Saat kami masuk, kelas sudah sangat ramai. Tapi masih tersisa beberapa tempat duduk kosong. Aku duduk bersama rendi, sedangkan selvi duduk bersama anak dari sekolah lain. Kelasnya sangat padat. Dua kelas digabung menjadi satu. Kalau dihitung, mungkin kira-kira jumlah siswa-siswi yang ikut orientasi jumlahnya kurang lebih 150 anak.
“Man, banyak banget ya siswa yang ikut. Pasti mereka anak-anak pinter semua.” Sambil melihat sekeliling rendi berkata demikian. “Iya, ren. Kayak mau konser.” Aku pun asal menimpali, padahal belum pernah nonton konser. Setelah bangku penuh, acara pembukaan pun dimulai. Tepat pukul 07.30 acara dimulai. Setelah acara pembukaan, acara selanjutnya yaitu acara inti, yakni materi. Materi diberikan oleh dokter yang biasa bertugas di puskesmas kecamatan. Masing-masing dokter memberikan materi sesuai topik tertentu yang berbeda-beda.
“Aku capek sekali man dari tadi nulis terus.”Ucap rendi.
Aku belum menanggapinya.
“Man..” kini dia menyikutku karena dia tidak kutanggapi.
“Ada ada ren?”
“Hayo, lihat siapa?” Ternyata rendi malah mengalihkan pembicaraan.
“Jadi gara-gara itu to?” Rendi mulai penasaran. Sambil menunjuk seseorang.
“Eh, itu siapa?” Tanyanya lagi.
“Nggak tahu ren.” Aku berpura-pura acuh atas pertanyaannya, sambil pura-pura menulis apa yang disampaikan Bu Dokter. Waktu itu materinya tentang bagaimana cara memberi penanganan pertama jika terjadi kecelakaan.
Waktu istirahat tiba. Setiap siswa sebenarnya boleh jajan sesukanya. Namun, karena dari pihak penyelenggara acara sudah menyediakan snack, jadinya mereka banyak yang tidak jajan. Snack yang diberikan sudah cukup banyak soalnya. Aku pun masih belum terlepas dari teman-temanku, rendi dan selvi. Kami bertiga masih bersama hingga jam istirahat. Belum berani berpisah  meskipun di antara kita sebelumnya sudah mengenal beberapa siswa/siswi dari sekolah lain. Tapi entah kenapa kami masih enggan untuk berpisah untuk menemui kenalan-kenalan kami.
Astaga. Ketika waktu istirahat tinggal lima menit lagi aku pun melihatnya. Si dia yang disebut-sebut rendi di kelas. Ah, rasanya tidak karuan. Antara senang dan grogi, ketika seorang anak ingusan kelas 5 SD melihat lawan jenisnya yang mulai menarik perhatiannya.
Entah karena apa ia mulai menarik perhatianku. Ada sesuatu yang disebut daya pikat dari dirinya  mungkin. Pandanganku dulu, sebagai anak kecil yang masih sangat picisan, seorang wanita idaman adalah wanita yang cantik, baik dan pintar. Dan itu ada pada dirinya. Meski kata orang-orang cantik itu relatif dan bisa dimanipulasi, baik itu kadang tipuan, dan pintar/kepandaian itu bisa diasah. Bagiku, cantiknya khas bukan buatan (make up), kebaikannya juga alamiah dan pintarnya itu memang sudah dari sananya. Dan, bagiku, waktu 3 hari cukup untuk membuktikan semua itu. Sekedar mengenalnya tanpa sepatah kata yang terlontar dariku untuknya.

Sejak hari pertama mengenalmu, ada gemuruh yang menggebu-gebu
Meski tanpa sepatah kata,
Hari kedua aku semakin ingin mengenalmu, ada tabir yang terungkap darimu
Meski tanpa sepatah kata,
Hari ketiga pun aku semakin ingin mengenalmu lagi, ada yang harus merelakanmu
Meski tanpa sepatah kata.

Di hari ketiga, haruskah kubilang itu sebagai suatu perpisahan? Bukankah kita tak pernah berpisah? Bukankah tak pernah ada tali yang mengikat? Perpisahan raga tak lebih menyakitkan dari pada perpisahan rasa. Semoga kita dapat bertemu kembali dengan rasa yang sama.

Yogyakarta, 21 November 2016

Kamis, 17 November 2016

Mas, Bagaimana Jika Di Antara Kita Ada yang Mendua?

Mas, Bagaimana Jika Di Antara Kita Ada yang Mendua?

“Mas, boleh adik bertanya?” ucap sang istri kepada suaminya, mengawali perbincangan di sore hari dengan gerimis yang tak kunjung reda sedari siang. “Boleh Dik, mau nanya apa Dik?” jawabnya. Suasana hening selama beberapa menit. Tak ada balasan dari Ayuk, sang istri yang mengawali percakapan tadi. “Tadi katanya mau bertanya sesuatu pada mas, Dik, kok belum ada pertanyaan yang keluar dari adik? Mas udah nunggu dari tadi lho” sang suami sepertinya begitu memahami suasana, ia ingin mengetahui apa yang akan dikatakan istrinya kepadanya. Ia meletakkan koran yang dibaca dari sebelum istrinya datang menemuinya di teras. Ia menatap istrinya dengan penuh keingintahuan, dengan tatapan kesederhanaan, sambil menyuguhkan senyum yang biasa ia berikan khusus kepada istrinya. Berbeda dengan senyum yang ia berikan kepada orang lain. Sang istri pun akhirnya memulai dengan menyapa suaminya. “Mas.. .” begitulah sapaan yang ia tak pernah lupa sebelum berbicara dengan suaminya. “Iya Dik.. .” sang suami juga selalu menanggapi sapaannya dengan kata yang sama seperti halnya saat mereka menjadi sepasang suami-istri yang sah.
            “Jika di antara kita ada orang ketiga bagaimana Mas?” Dengan tatapan yang lebih serius istrinya bertanya, namun masih dengan nada yang lembut. “Maksud adik orang ketiga yang bagaimana?”. Masih dengan ketenangan sang suami menanggapi pertanyaan istrinya. “yang adik maksud bukan ada yang mendua di antara kita kan?” sang suami mencoba menebak apa maksud istrinya tadi. “iya mas, di antara kita tentunya nanti akan ada yang mendua dan merasa diduakan”. Kini dengan sedikit pura-pura terkejut sang suami mendengarnya. “Bukankah dulu kita pernah berjanji untuk saling mengikat dan mengucap ikrar untuk setia menjadi pasangan suami-istri hingga maut memisahkan kita?”. “Iya Mas, tapi.. .”. kalimat ayuk terpotong oleh suaminya seketika. Zaenal, suami ayuk kini merasa istrinya sudah tertarik pada pria lain. “Tapi apa Dik?” masih dengan sapaan yang khas ia bertanya, meski dengan keadaan yang sudah tidak setenang tadi.
            “Tok.. . tokk.. . tokkk.. .” suara kentongan di poskamling dipukul dengan keras. Semua warga beramai-ramai menuju lokasi poskamling, tempat dipukulnya kentongan tersebut. Seperti biasa, solidaritas warga di dusun tempat zaenal dan istrinya tinggal sangat tinggi. Dalam hal ini misalnya, jika terjadi sesuatu yang penting mendadak, misalnya ada pencurian, perampokan atau hal buruk lainnya, maka salah satu warga yang mengetahui kejadian tersebut akan segera memberitahu warga yang lain agar ikut membantu dengan cara memukul kentongan yang ada di poskamling dusun. “Ada apa mang udin?” sontak semua warga datang merapat dan bertanya penuh antusias. “anu.. . bapak-bapak, ibu-ibu.. . ada pasangan muda-mudi yang lagi berduaan di gubuk sawah pak mardi”. Pak mardi yang namanya disebut sontak kaget lantas berjalan menuju ke arah mang udin. “Apa mang udin? Gubuk sawah saya dipakai buat pacaran maksud bapak?”. Dengan agak geram pak mardi mengepalkan tangannya. Seakan siap bertarung dengan lawan main seperti petinju yang sudah tak sabar bertemu dengan lawan mainnya. “sepertinya begitu pak, soalnya saya juga tidak kenal mereka berdua.” Jawab mang udin. Di desa tempat zaenal dan warga lainnya tinggal ini terbilang cukup bagus dalam menjaga tradisi yang diajarkan nenek moyang mereka. Khususnya hubungan antara pria dan wanita yang bukan muhrim. Tidak ada aturan tertulis dalam hal ini, namun akan menjadi suatu celaan/aib untuk mereka yang berani berjalan berduaan, apalagi berlama-lama di suatu tempat tanpa ada muhrim yang menemani.
“Sudah-sudah, dari pada kita ribut di sini, mending kita langsung ke gubuk sawah pak mardi, biar jelas penjelasan mang udin tadi dan kita juga bisa menginterogasi langsung pasangan muda-mudi tersebut.” Pak RT menengahi warga, lanjut memimpin warga berjalan menuju gubuk sawah pak mardi.
“Selamat sore mas, mbak.” Dengan sopan pak RT menyapa sepasang muda-mudi yang sedang berduaan di gubuk sawah mag udin. “Sore pak,” Si cowok membalas sapaan pak RT dengan agak terkejut. “eh, maaf ada apa ya pak, kok rame-rame menemui kami?”. “ya ampun, ini salim dan salma bukan ya?” zaenal dan isterinya yang semenjak mendengar kentongan tadi juga ikut berkumpul bersama warga terkejut melihat dua sejoli yang sepertinya sudah tidak asing lagi bagi mereka berdua. “iya Pak Lik, Bu Lik. Saya salim dan ini adik saya, salma.” Si cowok menjawab sambil menunjuk adiknya.
Kerumunan warga bubar beberapa menit kemudian setelah mengetahui bahwa muda-mudi tersebut hanyalah adik kakak yang ternyata keponakan zaenal. Mereka berniat menyambangi pamannya tersebut setelah sekian lama tidak bertemu karena mereka berdua  sibuk melanjutkan studi di negeri seberang. Paling setahun sekali mereka pulang, dan waktu pulang tersebut mereka belum tentu dapat bertemu dengan pamannya karena waktu liburan yang singkat sekali. Apalagi rumah bapak-ibu mereka terbilang cukup jauh dari rumah pamannya. Butuh waktu kurang lebih dua jam untuk mengunjungi pamannya dari rumahnya.
“Pak Lik, kok rumah pak lik tidak ada perubahan sama sekali ya, masih sama seperti tiga tahun yang lalu waktu kita kemari.” Salim masih terkagum dengan penataan rumah Pak Liknya. “Iya Pak Lik, masih seperti yang dulu. Pokoknya rumah Pak Lik selalu bikin kita betah, juga orang lain mungkin juga betah banget kalau tinggal di sini.” Salma balas melanjutkan komentar kakaknya terkait rumah Pak Liknya yang tidak banyak berubah. “Masa iya tidak ada perubahan sama sekali nang? Kau coba tengok bagian itu” Pak Lik menjawab sambil menunjuk ke arah teras depan rumah. Salim kini sibuk mengamati bagian yang ditunjuk Pak Liknya dengan seksama. “Bukan main indahnya penataan bunga-bunga ini. Tambah segar rasanya dan terkesan lebih natural teras Pak Lik.hehe.”
“Begitulah yang namanya kesederhanaan Le, Nduk,” zaenal berhenti sejenak, kemudian melanjutkan kata-katanya, “jika dengan tatanan yang dulu sudah cukup menentramkan dan membuat  nyaman, mengapa perlu ada yang diubah?” tambah zaenal sambil melirik istrinya. “Benar juga sih pak lik, kebanyakan orang selalu merasa tidak cukup dengan yang sudah ada, sehingga cenderung mengada-ada agar terkesan punya seperti orang lain. Orang lain punya ini, ia juga berusaha agar punya ini, orang lain punya itu, ia juga berusaha agar punya itu. Lupa bahwa sebenarnya yang mereka cari cudah mereka dapatkan.” Salma memberi komentar bijaknya. “tumben kok adik bijak sekali, hehe” tungkas salim yang merasa aneh dengan kata-kata yang tiba-tiba keluar dari adiknya. “yee, apaan sih mas.” Balas adiknya.
Matahari sudah mulai enggan menampakkan wujudnya. Perlahan menghilang bersama irama waktu hingga terdengar sayup-sayup suara adzan maghrib. Suara keributan antara adik-kakak salma dan salim pun tiba-tiba terhenti ketika terdengar adzan maghrib berkumandang. Rasanya ada hawa sejuk yang telah lama menghilang kini hadir secara tiba-tiba tanpa ijin untuk kembali terlebih dahulu. “Mas, mau jama’ah di rumah apa di masjid?” Ayuk berkata santun pada suaminya. “Jama’ah di masjid aja yukk!” seru zaenal kepada kedua keponakannya, juga untuk menjawab pertanyaan istrinya tadi. “Yukk.” Ketiganya pun kompak setuju.
“Assalamu’alaikum.” Tetangga zaenal memberi salam terlebih dahulu kepada rombongan zaenal. “wa’alaikumsalam.”mereka berempat pun kompak menjawab salam. “Ini keponakan mas zaenal yang tadi kita temui di gubuk sawah itu ya mas?”. Tanyanya untuk mengawali perbincangan di perjalanan menuju masjid. “iya dik, ini keponakan saya. Mereka mau menikmati liburan di desa ini katanya. Maklum dik, sudah lama tinggal di kota, katanya kangen dengan suasana desa, jadinya mereka pengen menikmati liburan di sini.” Perbincangan pun tidak berlangsung lama karena jarak rumah zaenal ke masjid cukup dekat, hanya sekitar 50 meter.
Sampai di rumah, salma mengikuti Bu Liknya ke dapur. “Bu Lik mau masak ya? Saya bantuin ya.” Salma terlihat semangat ingin membantu Bu Liknya masak. “Tentu boleh, salma. Tante mau masak sup jagung dan nila goreng kesukaan kalian.” Salma pun semakin terlihat semangat mendengar Bu Liknya akan memasak makanan kesukaannya. “Salma bantuin Bu Lik nyiapin ikan sama penggorengannya ya, biar Bu Lik yang nyiapin bumbunya.”
“Oke, siap laksanakan Bu Lik.”
Di ruang tamu, Pak Lik Zaenal duduk sambil berbincang-bincang dengan salim, ngobrol ngalor-ngidul, mengenai kuliah, teman-teman di negeri perantauan, dan juga kehidupan sosial di tempat ia merantau. Di tengah asyiknya ngobrol, salma mengagetkan keduanya, “Tara, makan malam sudah siap, masakan spesial ala salma dan Bu Lik.” Salma membawa ikan nila serta nasi, sedangkan Bu Liknya membawa piring dan sup jagung. Dengan lahap mereka menyantap menu makan malam tersebut. Hanya menyisakan tulang ikan nila untuk kucing tetangga yang biasanya lewat.
“Pak Lik, Bu Lik, sebenarnya kami datang kemari selain untuk liburan juga karena disuruh Bapak dan Ibu untuk menemui Pak Lik dan Bu Lik.” Zaenal dan ayuk pun saling tatap mendengar salim menjelaskan maksud kedatangan dirinya dan adiknya ke tempat mereka. “Bapak dan Ibu ingin salah satu dari kita menjadi anak angkat Pak Lik dan Bu Lik.” Salim melirik ke arah adiknya, kemudian melanjutkan, “Kata Bapak dan Ibu, sebagai pancingan agar Pak Lik dan Bu Lik segera mendapatkan keturunan. Dan Bapak Ibu berpesan agar Pak Lik dan Bu Lik memilih di antara kami untuk menjadi anak angkat Pak Lik dan Bu Lik.” Air mata pun menetes di antara pelupuk mata zaenal dan ayuk. “Sungguh benar demikian Le, Nduk? Masyaaallah.” Ayuk menatap kedua keponakannya dengan air mata bahagia.
Zaenal dan ayuk adalah sepasang suami istri yang selalu dibilang serasi oleh tetangga, kerabat dan juga keluarganya. Namun, mereka belum dikaruniai seorang buah hati hingga usia 5 tahun pernikahan mereka. Inilah yang membuat mereka berdua sedikit resah. Menurut adat jawa, ada solusi yang agak ganjil dan mungkin hanya segelintir orang yang tahu agar mereka dapat segera mempunyai momongan, yaitu dengan mengangkat anak dari saudara kandungnya. Oleh karena itu, Bapak-Ibu salim dan salma yang peduli akan kegelisahan saudaranya memutuskan demikian. Dan kedua anaknya pun setuju. Bahkan mereka berebut untuk menjadi anak angkat Pak Lik dan Bu Liknya. Toh masalah anak hanya masalah status. Statusnya menjadi anak angkat Pak Lik dan Bu Liknya, tapi hakikatnya tetap menjadi anak kandung Bapak-Ibunya.
“Mas…”
“Iya, Dik…”
“Mimpi itu benar mas. Ternyata di antara kita benar-benar akan ada yang mendua.”
“Maksudnya siapa yang akan mendua dik?”
“Ini tentang mimpi yang ingin aku ceritakan dan aku tanyakan kepada Mas sebelum terjadi keributan tadi sore mas, dan akhirnya mimpi yang hendak kusampaikan tadi sore itu terjawab. Entah Mas, entah aku, entah kita berdua, akan mendua. Mendua dengan calon anak kita Mas. Kasih sayang kita akan terbagi karena sebentar lagi kita mempunyai buah hati, Mas.”
Dan, mereka berdua pun larut dalam syukur.

Yogyakarta, 18 November 2016


Rabu, 16 November 2016

Hidup Itu Sendiri Adalah Bukti, Bukan untuk Dibuktikan Lagi

“Man, akan kukatakan sebuah rahasia mumpung aku masih sempat mengatakannya!”
Hardiman mendengarkan.
Mboh Pah pun melanjutkan, “Kami, kaum ibu, dalam hubungannya dengan anak, diciptakan secara berbeda dibandingkan dengan kaum ayah. Kami memiliki sesuatu yang tidak dimiliki kaummu. Sesuatu itu ada dalam hati kami. Hati kami memberikan kekuatan kepada kami untuk bisa mandiri dalam mengasuh dan merawat anak-anak kami. Coba kau renungkan. Dulu, semasa perjuangan membela tanah air, kaum laki-laki banyak turun ke medan laga, berperang melawan penjajah. Para istri ditinggal dengan hati yang pilu sembari hatinya selalu menjeritkan do’a agar suaminya selamat di medan tempur dan kembali ke rumah mereka.  Di antara suami itu, memang ada yang pulang kembali. Tetapi, banyak pula yang gugur. Demi bangsa dan negara. Apa pernah kau pikir, bagaimana perasaan istri ketika suaminya tak pulang dari medan laga, sedangkan anak-anaknya selalu bertanya tentang ayahnya? Ketahuilah, Man. Kenyataan menjadi seorang ibu yang bisa membesarkan anak-anaknya sendiri tanpa suami di sisinya adalah kenyataan sejarah. Sejarah bangsa sendiri. Sejarah kami, kaum ibu! Apakah sejarah memaksanya?  Tidak, Man! Bahkan, merekalah yang memaksa sejarah hingga tunduk kepada mereka. Karena itu, Man. Menjadi orang tua tunggal bila orang tua itu adalah seorang ibu lebih niscaya dilakukan dibanding seorang ayah. Engkau, Man, pada akhirnya tetap membutuhkan seorang istri. Dan, kedua anakmu membutuhkan seorang ibu. Tetapi bila yang meninggal itu adalah engkau, istrimu tak membutuhkan seorang suami lagi. Istrimu bisa memerankan diri sebaik-baiknya sebagai ayahnya. Itulah, Le, rahasia yang harus kau ketahui, kau camkan baik-baik.”
Dan, ternyata, apa yang dikatakan Mbok Pah itu memancing perbincangan yang hangat di pagi setelah subuh itu. Sembari Mbok Pah menyalakan tungku dapurnya, si mungil Imran terlelap di keranjang tidurnya, sedangkan Pras mengayun-ayunkan keranjang tidur adiknya yang terbuat dari kayu, Mbok Pah terus berbicara. Membuat Hardiman diam sembari berpikir keras.
“Jangan berpikir bahwa seorang istri tak bisa bekerja seperti suaminya. Kau salah bila berpikir seperti itu, Man. Kalau istri tak bisa bekerja, bagaimana ia akan menghidupi anak-anak yang ditinggal mati ayahnya di medan laga itu? Kau benar, kekuatan seorang istri tak sebanding dengan seorang suami. Tetapi, untuk apa kekuatan itu? Untuk bekerjakah? Untuk mengumpulkan uang banyakkah? Oh, Man, anak-anak tak membutuhkan uang yang banyak. Mereka membutuhkan uang yang cukup. Hidup sederhana. Dan Allah meletakkan kemampuan pada diri seorang ibu untuk melakukan hal seperti itu. Orang berkata bahwa akal seorang separuh dari akal laki-laki. Mungkin itu benar. Tetapi, mungkin juga tak benar. Tetapi, mengasuh dan merawat anak tak semata-mata persoalan akal, Man. Bahkan, lebih dari itu, seseorang memerlukan hati yang diberkahi cinta kasih dan ketulusan untuk bisa mengasuh dan merawat anak dengan sebaik-baiknya. Hati yang seperti itu hanya dimiliki seorang ibu, yang kaummu menyebutnya sebagai makhluk ‘separuh akal’ itu. Dengan akal, seorang ayah memang bisa membuat anaknya cerdas, pintar, dan mendapatkan ranking di sekolah. Tetapi, dengan hati, seorang ibu bisa mendekatkan anak-anaknya kepada Tuhan yang Maha Cinta dan Maha Kasih.”
“Karena itu, Man,” Mbok Pah melanjutkan, “tanggung jawabmu sekarang berat. Ke depannya, lebih berat lagi. Keputusan itu ada di tanganmu sendiri, apakah kau akan menikah lagi atau tidak. Mbokmu ini hanya bisa berkata-kata seperti itu. Kuharap, kau sudi mempertimbangkannya.”
Seakan tak punya kemampuan untuk membantah, Hardiman hanya diam saja. Ada bagian-bagian pada perkataan Mbok Pah yang tidak ia setujui sebenarnya. Ia ingin mengatakan ketidaksetujuannya. Tetapi, apa? Di mana?
“Kita buktikan saja, Mbok.” Akhirnya, Hardiman hanya bisa berkata seperti itu.
“Buktikan apa?”
“Bahwa saya mampu, Mbok.”
“Kau ingin membuktikan kepada siapa? Apakah persoalan ini soal bukti-membukti, Man?”
Hardiman diam lagi.
“Buka begitu, Le,” Mbok Pah berkata lagi. “Untuk apa bukti, padahal ini soal hidup? Hidup itu sendiri adalah bukti, bukan untuk dibuktikan lagi. Apa kau berpikir bahwa kau ingin membuktikan mampu mengasuh dan merawat kedua anakmu tanpa kehadiran istri lagi di sampingmu, lalu kau katakan bahwa kau adalah laki-laki terhebat di dunia ini, Man? Oh, jangan berpikir seperti itu. Aku tak berkata bahwa kau tak akan mampu, Man. Aku hanya mengatakan bahwa tanggung jawabmu lebih berat dibanding-misalnya-kau tiada sedang istrimu masih ada. Aku hanya mengatakan, seorang istri tak terlalu membutuhkan suami lagi, sekaligus sosok seorang ayah bagi anak-anaknya. Berbeda dengan kau. Kau lebih membutuhkan kehadiran istri lagi, dan anak-anakmu membutuhkan sosok ibu. Itu saja, Man.”
“Aku sayang Kas, Mbok. Mengertilah. Aku terlalu mencintainya kini. Walaupun cintaku tak bisa dilihat dan dirasakannya lagi.”
“Iya, iya. Aku tahu.”
“Ketika masih hidup, aku telah menyia-nyiakan cintanya, Mbok. Pahamilah. Aku tak ingin menyia-nyiakan cintanya lagi, walau ia sudah tak mendampingiku.”
Kali ini, Mbok Pah yang terdiam.
Pras masih mengayun-ayunkan keranjang tidur adiknya.
Di luar sana, matahari semakin menyembul dari balik pepohonan.


Kutipan dari sebuah novel “Kerling si Janda” karya Taufiqurrahman al-Azizy.