Mas, Bagaimana Jika Di Antara Kita
Ada yang Mendua?
“Mas, boleh adik bertanya?” ucap
sang istri kepada suaminya, mengawali perbincangan di sore hari dengan gerimis
yang tak kunjung reda sedari siang. “Boleh Dik, mau nanya apa Dik?” jawabnya. Suasana
hening selama beberapa menit. Tak ada balasan dari Ayuk, sang istri yang
mengawali percakapan tadi. “Tadi katanya mau bertanya sesuatu pada mas, Dik,
kok belum ada pertanyaan yang keluar dari adik? Mas udah nunggu dari tadi lho”
sang suami sepertinya begitu memahami suasana, ia ingin mengetahui apa yang akan
dikatakan istrinya kepadanya. Ia meletakkan koran yang dibaca dari sebelum
istrinya datang menemuinya di teras. Ia menatap istrinya dengan penuh
keingintahuan, dengan tatapan kesederhanaan, sambil menyuguhkan senyum yang
biasa ia berikan khusus kepada istrinya. Berbeda dengan senyum yang ia berikan
kepada orang lain. Sang istri pun akhirnya memulai dengan menyapa suaminya. “Mas..
.” begitulah sapaan yang ia tak pernah lupa sebelum berbicara dengan suaminya. “Iya
Dik.. .” sang suami juga selalu menanggapi sapaannya dengan kata yang sama
seperti halnya saat mereka menjadi sepasang suami-istri yang sah.
“Jika
di antara kita ada orang ketiga bagaimana Mas?” Dengan tatapan yang lebih
serius istrinya bertanya, namun masih dengan nada yang lembut. “Maksud adik
orang ketiga yang bagaimana?”. Masih dengan ketenangan sang suami menanggapi
pertanyaan istrinya. “yang adik maksud bukan ada yang mendua di antara kita
kan?” sang suami mencoba menebak apa maksud istrinya tadi. “iya mas, di antara
kita tentunya nanti akan ada yang mendua dan merasa diduakan”. Kini dengan
sedikit pura-pura terkejut sang suami mendengarnya. “Bukankah dulu kita pernah
berjanji untuk saling mengikat dan mengucap ikrar untuk setia menjadi pasangan
suami-istri hingga maut memisahkan kita?”. “Iya Mas, tapi.. .”. kalimat ayuk
terpotong oleh suaminya seketika. Zaenal, suami ayuk kini merasa istrinya sudah
tertarik pada pria lain. “Tapi apa Dik?” masih dengan sapaan yang khas ia
bertanya, meski dengan keadaan yang sudah tidak setenang tadi.
“Tok..
. tokk.. . tokkk.. .” suara kentongan di poskamling dipukul dengan keras. Semua
warga beramai-ramai menuju lokasi poskamling, tempat dipukulnya kentongan
tersebut. Seperti biasa, solidaritas warga di dusun tempat zaenal dan istrinya
tinggal sangat tinggi. Dalam hal ini misalnya, jika terjadi sesuatu yang
penting mendadak, misalnya ada pencurian, perampokan atau hal buruk lainnya,
maka salah satu warga yang mengetahui kejadian tersebut akan segera memberitahu
warga yang lain agar ikut membantu dengan cara memukul kentongan yang ada di
poskamling dusun. “Ada apa mang udin?” sontak semua warga datang merapat dan bertanya
penuh antusias. “anu.. . bapak-bapak, ibu-ibu.. . ada pasangan muda-mudi yang
lagi berduaan di gubuk sawah pak mardi”. Pak mardi yang namanya disebut sontak
kaget lantas berjalan menuju ke arah mang udin. “Apa mang udin? Gubuk sawah
saya dipakai buat pacaran maksud bapak?”. Dengan agak geram pak mardi
mengepalkan tangannya. Seakan siap bertarung dengan lawan main seperti petinju
yang sudah tak sabar bertemu dengan lawan mainnya. “sepertinya begitu pak,
soalnya saya juga tidak kenal mereka berdua.” Jawab mang udin. Di desa tempat
zaenal dan warga lainnya tinggal ini terbilang cukup bagus dalam menjaga
tradisi yang diajarkan nenek moyang mereka. Khususnya hubungan antara pria dan
wanita yang bukan muhrim. Tidak ada aturan tertulis dalam hal ini, namun akan
menjadi suatu celaan/aib untuk mereka yang berani berjalan berduaan, apalagi
berlama-lama di suatu tempat tanpa ada muhrim yang menemani.
“Sudah-sudah, dari pada kita ribut
di sini, mending kita langsung ke gubuk sawah pak mardi, biar jelas penjelasan
mang udin tadi dan kita juga bisa menginterogasi langsung pasangan muda-mudi
tersebut.” Pak RT menengahi warga, lanjut memimpin warga berjalan menuju gubuk
sawah pak mardi.
“Selamat sore mas, mbak.” Dengan
sopan pak RT menyapa sepasang muda-mudi yang sedang berduaan di gubuk sawah mag
udin. “Sore pak,” Si cowok membalas sapaan pak RT dengan agak terkejut. “eh,
maaf ada apa ya pak, kok rame-rame menemui kami?”. “ya ampun, ini salim dan
salma bukan ya?” zaenal dan isterinya yang semenjak mendengar kentongan tadi
juga ikut berkumpul bersama warga terkejut melihat dua sejoli yang sepertinya
sudah tidak asing lagi bagi mereka berdua. “iya Pak Lik, Bu Lik. Saya salim dan
ini adik saya, salma.” Si cowok menjawab sambil menunjuk adiknya.
Kerumunan warga bubar beberapa
menit kemudian setelah mengetahui bahwa muda-mudi tersebut hanyalah adik kakak
yang ternyata keponakan zaenal. Mereka berniat menyambangi pamannya tersebut
setelah sekian lama tidak bertemu karena mereka berdua sibuk melanjutkan studi di negeri seberang. Paling
setahun sekali mereka pulang, dan waktu pulang tersebut mereka belum tentu
dapat bertemu dengan pamannya karena waktu liburan yang singkat sekali. Apalagi
rumah bapak-ibu mereka terbilang cukup jauh dari rumah pamannya. Butuh waktu
kurang lebih dua jam untuk mengunjungi pamannya dari rumahnya.
“Pak Lik, kok rumah pak lik tidak
ada perubahan sama sekali ya, masih sama seperti tiga tahun yang lalu waktu
kita kemari.” Salim masih terkagum dengan penataan rumah Pak Liknya. “Iya Pak Lik,
masih seperti yang dulu. Pokoknya rumah Pak Lik selalu bikin kita betah, juga
orang lain mungkin juga betah banget kalau tinggal di sini.” Salma balas
melanjutkan komentar kakaknya terkait rumah Pak Liknya yang tidak banyak
berubah. “Masa iya tidak ada perubahan sama sekali nang? Kau coba tengok bagian
itu” Pak Lik menjawab sambil menunjuk ke arah teras depan rumah. Salim kini
sibuk mengamati bagian yang ditunjuk Pak Liknya dengan seksama. “Bukan main
indahnya penataan bunga-bunga ini. Tambah segar rasanya dan terkesan lebih
natural teras Pak Lik.hehe.”
“Begitulah yang namanya kesederhanaan
Le, Nduk,” zaenal berhenti sejenak, kemudian melanjutkan kata-katanya, “jika
dengan tatanan yang dulu sudah cukup menentramkan dan membuat nyaman, mengapa perlu ada yang diubah?”
tambah zaenal sambil melirik istrinya. “Benar juga sih pak lik, kebanyakan
orang selalu merasa tidak cukup dengan yang sudah ada, sehingga cenderung
mengada-ada agar terkesan punya seperti orang lain. Orang lain punya ini, ia
juga berusaha agar punya ini, orang lain punya itu, ia juga berusaha agar punya
itu. Lupa bahwa sebenarnya yang mereka cari cudah mereka dapatkan.” Salma memberi
komentar bijaknya. “tumben kok adik bijak sekali, hehe” tungkas salim yang
merasa aneh dengan kata-kata yang tiba-tiba keluar dari adiknya. “yee, apaan
sih mas.” Balas adiknya.
Matahari sudah mulai enggan
menampakkan wujudnya. Perlahan menghilang bersama irama waktu hingga terdengar sayup-sayup
suara adzan maghrib. Suara keributan antara adik-kakak salma dan salim pun
tiba-tiba terhenti ketika terdengar adzan maghrib berkumandang. Rasanya ada
hawa sejuk yang telah lama menghilang kini hadir secara tiba-tiba tanpa ijin
untuk kembali terlebih dahulu. “Mas, mau jama’ah di rumah apa di masjid?” Ayuk
berkata santun pada suaminya. “Jama’ah di masjid aja yukk!” seru zaenal kepada kedua
keponakannya, juga untuk menjawab pertanyaan istrinya tadi. “Yukk.” Ketiganya pun
kompak setuju.
“Assalamu’alaikum.” Tetangga zaenal
memberi salam terlebih dahulu kepada rombongan zaenal. “wa’alaikumsalam.”mereka
berempat pun kompak menjawab salam. “Ini keponakan mas zaenal yang tadi kita
temui di gubuk sawah itu ya mas?”. Tanyanya untuk mengawali perbincangan di
perjalanan menuju masjid. “iya dik, ini keponakan saya. Mereka mau menikmati
liburan di desa ini katanya. Maklum dik, sudah lama tinggal di kota, katanya
kangen dengan suasana desa, jadinya mereka pengen menikmati liburan di sini.” Perbincangan
pun tidak berlangsung lama karena jarak rumah zaenal ke masjid cukup dekat,
hanya sekitar 50 meter.
Sampai di rumah, salma mengikuti Bu
Liknya ke dapur. “Bu Lik mau masak ya? Saya bantuin ya.” Salma terlihat
semangat ingin membantu Bu Liknya masak. “Tentu boleh, salma. Tante mau masak
sup jagung dan nila goreng kesukaan kalian.” Salma pun semakin terlihat
semangat mendengar Bu Liknya akan memasak makanan kesukaannya. “Salma bantuin Bu
Lik nyiapin ikan sama penggorengannya ya, biar Bu Lik yang nyiapin bumbunya.”
“Oke, siap laksanakan Bu Lik.”
Di ruang tamu, Pak Lik Zaenal duduk
sambil berbincang-bincang dengan salim, ngobrol ngalor-ngidul, mengenai kuliah, teman-teman di negeri perantauan,
dan juga kehidupan sosial di tempat ia merantau. Di tengah asyiknya ngobrol,
salma mengagetkan keduanya, “Tara, makan malam sudah siap, masakan spesial ala
salma dan Bu Lik.” Salma membawa ikan nila serta nasi, sedangkan Bu Liknya
membawa piring dan sup jagung. Dengan lahap mereka menyantap menu makan malam
tersebut. Hanya menyisakan tulang ikan nila untuk kucing tetangga yang biasanya
lewat.
“Pak Lik, Bu Lik, sebenarnya kami datang
kemari selain untuk liburan juga karena disuruh Bapak dan Ibu untuk menemui Pak
Lik dan Bu Lik.” Zaenal dan ayuk pun saling tatap mendengar salim menjelaskan
maksud kedatangan dirinya dan adiknya ke tempat mereka. “Bapak dan Ibu ingin
salah satu dari kita menjadi anak angkat Pak Lik dan Bu Lik.” Salim melirik ke
arah adiknya, kemudian melanjutkan, “Kata Bapak dan Ibu, sebagai pancingan agar
Pak Lik dan Bu Lik segera mendapatkan keturunan. Dan Bapak Ibu berpesan agar
Pak Lik dan Bu Lik memilih di antara kami untuk menjadi anak angkat Pak Lik dan
Bu Lik.” Air mata pun menetes di antara pelupuk mata zaenal dan ayuk. “Sungguh
benar demikian Le, Nduk? Masyaaallah.” Ayuk menatap kedua keponakannya dengan
air mata bahagia.
Zaenal dan ayuk adalah sepasang
suami istri yang selalu dibilang serasi oleh tetangga, kerabat dan juga
keluarganya. Namun, mereka belum dikaruniai seorang buah hati hingga usia 5
tahun pernikahan mereka. Inilah yang membuat mereka berdua sedikit resah. Menurut
adat jawa, ada solusi yang agak ganjil dan mungkin hanya segelintir orang yang
tahu agar mereka dapat segera mempunyai momongan, yaitu dengan mengangkat anak
dari saudara kandungnya. Oleh karena itu, Bapak-Ibu salim dan salma yang peduli
akan kegelisahan saudaranya memutuskan demikian. Dan kedua anaknya pun setuju. Bahkan
mereka berebut untuk menjadi anak angkat Pak Lik dan Bu Liknya. Toh masalah
anak hanya masalah status. Statusnya menjadi anak angkat Pak Lik dan Bu Liknya,
tapi hakikatnya tetap menjadi anak kandung Bapak-Ibunya.
“Mas…”
“Iya, Dik…”
“Mimpi itu benar mas. Ternyata di
antara kita benar-benar akan ada yang mendua.”
“Maksudnya siapa yang akan mendua
dik?”
“Ini tentang mimpi yang ingin aku ceritakan
dan aku tanyakan kepada Mas sebelum terjadi keributan tadi sore mas, dan
akhirnya mimpi yang hendak kusampaikan tadi sore itu terjawab. Entah Mas, entah
aku, entah kita berdua, akan mendua. Mendua dengan calon anak kita Mas. Kasih sayang
kita akan terbagi karena sebentar lagi kita mempunyai buah hati, Mas.”
Dan, mereka berdua pun larut dalam
syukur.
Yogyakarta, 18 November 2016