Halaman

Selasa, 26 September 2017

KOROSI

Korosi (Perkaratan)
Reaksi redoks antara logam dan beberapa zat yang berada di lingkungan akan menghasilkan senyawa-senyawa lain yang tidak dikehendaki disebut korosi atau perkaratan. Pada peristiwa korosi terjadi potensial listrik yang berbeda antara zat-zat pengotor pada besi atau baja dengan permukaan normal yang tidak mengandung campuran. Permukaan besi yang mengandung zat pengotor lebih mudah menangkap elektron atau melepas elektron sehingga berfungsi sebagai katode atau anode.
Besi mengalami oksidasi dan bertindak sebagai anode.
Fe(s)         Fe2+(aq)  +  2e-                    E0 = +0,44 volt
Elektron bergerak ke bagian lain dari besi yang bertindak sebagai katode, di mana oksigen tereduksi.
O2(g)     +   4H+    +  4e-                                2H2O(l)              E0 = +1,23 volt
O2(g)           +   2H2O(l)   +  4e-                 4OH-(aq)            E0 = +0,40 volt
            Oksidasi ion Fe2+ yang terjadi di anode berlanjut membentuk Fe3+ dan besi (III) oksida yang mengikat air (Fe2O3.xH2O) sehingga hal itu disebut karat besi.
          Faktor-faktor yang mempercepat korosi sebagai berikut.
1.      Tingkat keasaman/zat terlarut pembentuk asam
Korosi akan lebih cepat terbentuk dalam lingkungan asam. Terjadi di daerah-daerah industri yang banyak menghasilkan gas CO2 dan SO2.
2.      Kontak langsung dengan senyawa elektrolit
Senyawa elektrolit mempunyai fungsi sebagai jembatan garam, sehingga pergerakan elektron semakin tinggi dan cepat terjadi korosi.
3.      Kontak dengan logam lain
Korosi dapat diperlambat atau dipercepat karena adanya kontak dengan logam lain.
4.      Kerapatan logam
Adanya celah yang dapat menangkap pengotor-pengotor lain (debu, air, dan oksigen).
5.      Adanya O2
6.      Letak logam dalam deret potensial reduksi

Beberapa cara untuk mencegah terjadinya korosi.
1.      Mengusahakan pencampuran zat-zat dalam logam tersebar homogen.
2.      Mengecat untuk mencegah kontak permukaan logam dengan udara. Cat yang biasa digunakan adalah cat yang mengandung timbal dan seng.
3.      Melumuri dengan oli atau gemuk untuk mencegah kontak dengan air.
4.      Pelapisan dengan timah (tin plating). Pelapisan dilakukan pada besi-besi yang utuh (tidak cacat) secara elektrolisis yang disebut electroplating.
5.      Penyalutan (galvanisasi). Besi disalut dengan lapisan tipis seng. E0 seng lebih kecil dari besi, sehingga seng teroksidasi membentuk lapisan ZnO pada permukaan besi.
6.      Pelapisan dengan kromium (chromium plating). Kromium dapat memberi lapisan pelindung yang mengkilap, walaupun lapisan kromium ada yang rusak.
7.      Perlindungan katodik/pengorbanan anode (sacrificial protection). Magnesium merupakan logam yang lebih aktif (mudah berkarat) daripada besi. Jika logam magnesium dikontakkan dengan besi, maka magnesium akan berkarat tetapi besi tidak. Cara ini banyak digunakan pada perlindungan pipa baja yang ditanam dalam tanah atau badan kapal laut.
Sumber: Kimia untuk SMA/MA Kelas XII Semester Gasal, Viva Pakarindo, KTSP 2006

Selasa, 22 Agustus 2017

Sejarah Singkat Pemanfaatan Batubara

Sejarah Singkat Pemanfaatan Batubara

Batubara merupakan salah satu bahan bakar disamping minyak dan gas bumi dan panas bumi. Semenjak kapan batubara dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup dan industri?
Sejarah peradaban manusia telah mengalami perjalanan yang sangat panjang. Selama hidup manusia tidak terlepas dari alam, termasuk makan dan tempat tinggal. dalam hal makanan pada awalnya mereka sangat menggantungkan pada hasil hutan, dalam hal tempat tinggal mereka menggantungkan pada keberadaan gua alam.
Pada saat itu jumlah manusia masih sedikit dan hidup secara berpindah-pindah dari satu tempat ke lain tempat. Oleh karenanya mereka menganggap belum memerlukan tempat tinggal yang tetap. Kepindahan tempat mereka sangat ditentukan oleh keberadaan bahan makanan, sedang tempat tinggal merupakan faktor yang kedua. Apabila persediaan bahan makanan sudah menipis, mereka mencari tempat baru yang terdapat bahan makanan. Sebagai tempat tinggal, mereka masih mencari gua alam. Tempat tinggal mereka harus aman, tidak mudah dijangkau oleh binatang buas. Di tempat itu semua kegiatan kehidupan berjalan secara alamiah termasuk melahirkan anak. Apabila di tempat terdapatnya bahan makanan tidak terdapat gua alam, mereka membuat rumah di atas pohon dengan cara menyatukan ranting-ranting yang ada atau membuat rumah panggung (huma) sebagai tempat berteduh sekaligus sebagai tempat tinggal. Mulai saat itu mereka memanfaatkan kayu sebagai bahan untuk tempat tinggal.
Peradaban manusia berkembang terus sesuai dengan tuntutan jaman. Pada saat itu boleh dikatakan mereka mengenal kayu sebagai senjata, antara ain dibentuk sebagai tombak. Pada saat itu mereka mulai berburu hewan untuk mendapatkan dagingnya sebagai salah satu alternative bahan makanan. Pada saat itu mereka belum mengenal api, sehingga semua makanan baik yang berbentuk daun, buah ataupun daging dimakan masih dalam keadaan mentah.
Secara biologis manusia tergolong Homo sapiens. Manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang paling cerdik, namun demikian mereka tetap merupakan salah satu unsur alam. Kecerdikan ini tampak dari kemampuannya melihat, mencermati gejala alam kemudian menirunya. Mereka mencermati peristiwa alam yang terjadi di sekitarnya. Sebagai contoh, pada saat dua batang kayu bergesekan, lama-lama akan timbul panas, pada saat dua keping batu yang berantuk satu sama lain, akan menimbulkan percikan bunga api. Berawal dari kejadian itu, kemudian mereka mengenal api.
Sesudah penemuan api, mereka memanfaatkan kayu sebagai bahan bakar untuk memanggang baging binatang hasil buruan. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila di gua dimana mereka tinggal disamping didapatkan tulang binatang yang telah mengeras dan menjadi fosil, juga sering didapatkan cangkang moluska di mana bagian dagingnya telah dimakan. Disamping itu di tempat tersebut juga didapatkan abu sisa pembakaran kayu. Hal ini menunjukkan, manusia pada saat itu telah memanfaatkan kayu sebagai bahan baku penghasil energi panas.
Siapa yang tidak mendengar petualangan Marco Polo, penjelajah dunia yang hidup pada abad 13. Marco Polo, penjelajah dunia berkebangsaan Italia, pada tahun 1271 sudah menapakkan kakinya di negeri China. Diwartakan lebih lanjut, sesudah melakukan pengembaraan selama 25 tahun, akhirnya pulang kembali ke Italia dengan membawa banyak pengalaman apa yang dilihat di China. Salah satu cerita yang menarik adalah tentang black stone. Benda yang dianggap aneh tersebut telah dimanfaatkan oleh orang-orang China sebagai bahan bakar. Diuraikan lebih lanjut oleh Marco Polo bahwa orang China telah menggali dan memanfaatkan black stone tersebut sebagai bahan bakar ratusan tahun yang lampau.
Di Inggris, black stone yang saat sekarang dikenal dengan nama batubara, telah dikenal sejak abad 9. Batubara di negara tersebut pada awal mula diambil dari singkapan batubara yang muncul di permukaan tanah. Oleh sebab itu keberadaan batubara di alam mudah dikenal. Pada awalnya pemanfaatan batubara hanya terbatas sebagai bahan bakar untuk rumah tangga dan sebagai bahan bakar pemanas ruangan pada musim dingin. Mempertimbangkan energi panas yang dihasilkan oleh batubara cukup tinggi, orang mulai memanfaatkan batu bara untuk membakar batugamping, bahan bakar pada pande besi di samping untuk menguapkan air. Demikian mudah cara mendapatkan dan memanfaatkan batubara sebagai bahan bakar penghasil panas, merupakan primadona, menggeser pemakaian kayu sebagai bahan bakar, yang pada saat itu keberadaannya mulai menipis sehingga harga kayu bakar meningkat. Boleh dikatakan sosialisasi pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar menggantikan kayu bakar sebagai bahan baku penghasil energi telah memasyarakat. Diceritakan lebih lanjut bahwa selama abad 17 di Inggris, banyak kegiatan industry yang memanfaatkan batubara untuk berbagai keperluan, sehingga pad suatu saat udara kota London dan sekitarnya tertutup oleh awan hitam, membuat lingkungan menjadi tidak nyaman. Timbul pertanyaan, mengapa dapat terjadi demikian?


Sukandarrumidi, 2006, Batubara dan Pemanfaatannya: Pengantar Teknologi Batubara Menuju Lingkungan Bersih, Yogyakarta: UGM Press.

Senin, 21 Agustus 2017

Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia

Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia

Berbicara mengenai minyak atsiri, kita tidak dapat lepas dari membahas masalah bau dan aroma, karena fungsi minyak atsiri yang paling luas dan paling umum diminati adalah sebagai pengharum, baik itu sebagai parfum untuk tubuh, kosmetik, pengharum ruangan, pengharum sabun, pasta gigi, pemberi cita rasa pada makanan maupun produk rumah tangga lainnya. Tidak begitu banyak atau hanya beberapa jenis minyak atsiri yang popular digunakan sebagai bahan terapi terhadap suatu jenis penyakit atau yang lebih populer dengan istilah terapi aroma.
Sering timbul pertanyaan mengapa minyak atsiri dari satu tumbuhan memiliki aroma yang berbeda dengan minyak atsiri dari tumbuhan lainnya. Bahkan kebanyakan minyak atsiri memiliki aroma sangat spesifik. Hal ini tidak lain karena setiap minyak atsiri memiliki komponen kimia yang berbeda. Komposisi atau kandungan masing-masing komponen kimia tersebut adalah hal yang paling mendasar dalam menentukan aroma maupun kegunaannya (sebagai bahan pengharum, kosmetik, obat, dll). Jadi, penentuan komponen penyusun dan komposisi masing-masing komponen tersebut di dalam minyak atsiri merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan kegunaan, kualitas ataupun mutu dari suatu minyak atsiri.
Namun, sifat fisik terpenting minyak atsiri adalah sangat mudah menguap pada suhu kamar sehingga sangat berpengaruh dalam menentukan metode analisis yang akan digunakan untuk menentukan komponen kimia dan komposisinya dalam minyak asal. Harus digunakan metode analisis yang dapat meminimalkan hilangnya sebagian komponen selama proses analisis berlangsung.
Sumber minyak atsiri alami
Ditinjau dari sumber alami minyak atsiri, substansi mudah menguap ini dapat dijadikan sebagai sidik jari atau ciri khas dari suatu jenis tumbuhan karena setiap tumbuhan menghasilkan minyak atsiri dengan aroma yang berbeda. Dengan kata lain, setiap jenis tumbuhan menghasilkan minyak atsiri dengan aroma yang spesifik. Memang ada beberapa jenis minyak atsiri yang memiliki aroma yang mirip, tetapi tidak persis sama, dan sangat bergantung pada komponen kimia penyusun minyak tersebut. Perlu diingat bahwa tidak semua jenis tumbuhan menghasilkan minyak atsiri. Hanya tumbuhan yang memiliki sel glandula sajalah yang bisa menghasilkan minyak atsiri.
Famili tumbuhan Lauraceae, Myrtaceae, Rutaceae, Myristicaceae, Astereaceae, Apocynaceae, Umbeliferae, Pinaceae, Rosaceae, dan Labiatae adalah famili tumbuhan yang sangat populer sebagai penghasil minyak atsiri. Indonesia dengan hutan tropik yang begitu luas menyimpan ribuan spesies tumbuhan dari berpuluh famili, termasuk famili tumbuhan yang potensial sebagai penghasil minyak atsiri. Hal ini merupakan sumber daya alam yang tidak ternilai harganya yang dimiliki oleh Indonesia.
Puluhan, bahkan ratusan, spesies tumbuhan dari famili Lauraceae hidup tersebar dari Sabang sampai Merauke. Spesies yang palin populer dari famili tumbuhan ini sebagai penghasil minyak atsiri adalah Cinnamomum burmanni atau kayu manis dengan senyawa sinemaldehida sebagai komponen utama. Jenis tumbuhan ini telah diusahakan dalam bentuk perkebunan dan merupakan komoditas ekspor Indonesia semenjak zaman kolonial Belanda. Di samping C. burmanni, dikenal juga beberapa Cinnamomum lainnya, walaupun sebagian bukan tumbuhan asli Indonesia, antara lain C. cassia, C. javanicum, C. verum, dan C. sintoc.
Litsea cubeba atau kemukus merupakan spesies yang paling populer dari genus Litsea,sedangkan dari marga Cryptocarya dikenal C. massoi dengan komponen spesifik massoi lakton. Masih banyak lagi genus lainnya dari famili tumbuhan ini yang dapat dilihat pada buku karangan Kosterman yang berjudul Bibliography of Lauraceae. Daerah sebaran Cinnamomum dan Cryptocarya di Indonesia terbagi dalam dua wilayah yang cukup menarik untuk dicermati. Daerah Indonesia bagian barat dan tengah umumnya didominasi oleh populasi Cinnamomum seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi, sedangkan Cryptocarya populasinya lebih dominan di daerah Indonesia timur, terutama Irian Jaya.
Tumbuhan dari famili Myrtaceae yang sangat populer di Indonesia adalah Melaleuca leucadendron atau kayu putih, sedangkan Eucalyptus lebih banyak tersebar di Australia. Minyak atsiri dari daun tumbuhan kayu putih, yang memiliki sineol sebagai komponen utamanya, telah dikenal sejak lama untuk mengobati berbagai jenis penyakit seperti masuk angin, keseleo, pilek, dan rematik.
Pala (Myristica ftagrans) merupakan spesies yang sangat terkenal dari tumbuhan famili Myristicaceae. Walaupun kebanyakan dari kita hanya mengenal tumbuhan asli Pulau Banda (Maluku) ini sebagai rempah, bumbu masak, atau di Bogor dibuat asinan, pala juga dapat meningkatkan aktivitas mental atau yang lebih dikenal dengan bahan psikoaktif (psikotropika). Penyebabnya adalah aktivitas senyawa safrol, terutama miristisin dan elemisin, yang terkandung pada minyak atsirinya. Wanita hamil sangat berisiko mengalami keguguran yang bisa mengakibatkan kematian jika mengkonsumsi buah pala lebih dari 9 buah.
Banyak produk rumah tangga seperti pengharum ruangan, sabun, atau yang lainnya memiliki aroma jeruk manis, jeruk nipis, lemon, dan sebagainya. aroma ini merupakan campuran minyak atsiri yang berasal dari tumbuhan famili Rutaceae. Sayangnya saat ini lebih banyak digunakan bahan sintetiknya. Limonena sering diidentikkan sebagai senyawa identitas pada minyak atsiri yang berasal dari famili Rutaceae ini karena minyak atsiri dan famili tumbuhan ini umumnya mengandung limonene, walaupun kandungannya sangat beragam.
Dalam industri parfum modern, minyak atsiri yang berasal dari bunga kenanga (Canagium odoratum) merupakan bahan dasar yang banyak dipakai pada formulasi berbagai produk yang bernilai ekonomi tinggi. Di pasar internasional, minyak ini dikenal dengan minyak ilang-ilang yang memiliki aroma menyejukkan. Sungguh sangat disayangkan, minyak kenanga asal Indonesia yang dikenal dengan minyak kenanga jawa (java cananga) termasuk ke dalam kategori minyak kelas dua, sehingga nilai jualnya pun lebih rendah dibandingkan dengan minyak asal Perancis, Comoro, dan Filipina atau negara lainnya. Hal ini sebenarnya dapat dimengerti jika ditelusuri apa yang menjadi penyebabnya. Minyak ilang-ilang asal negara lain memiliki kandungan benzil benzoat yang relative lebih tinggi dibandingkan dengan minyak kenanga jawa. Padahal, dalam formulasi parfum kelas satu, senyawa ini memiliki peranan yang sangat penting untuk membuat parfum dapat bertahan lebih lama. Begitu juga dengan kandungan β-linalool yang memiliki aroma menyegarkan, kandungannya lebih rendah pada minyak kenanga jawa.
Selanjutnya, minyak basil merupakan salah satu minyak atsiri yang banyak kegunaannya untuk tujuan terapi aroma. Minyak atsiri ini diisolasi dari selasih (Ocimum basilicum) yang merupakan salah satu tumbuhan famili Labiatae. Selain digunakan sebagai parfum, minyak yang memiliki esdragol sebagai komponen utamanya ini juga digunakan sebagai salah satu bahan untuk terapi berbagai jenis penyakit seperti asma, sakit kepala, dan batuk. Kegunaan missal basil ini dalam hal terapi aroma diuraikan secara lengkap oleh Cooksley dalam bukunya Aromatherapy.


Agusta, Andria, 2000, Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia, Bandung: Penerbit ITB.

Minggu, 20 Agustus 2017

Kualitas Hidup

Kualitas Hidup
Seringkali kita membaca atau mendengar orang menyebut kualitas hidup pada banyak kesempatan atau berbagai konteks. Tetapi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kualitas hidup? Sebenarnya berbicara mengenai kualitas hidup tidak dapat dilepaskan dari kualitas kesehatan secara keseluruhan.
Dalam konstitusinya, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization = WHO) menegaskan arti kesehatan meliputi “kesehatan fisik, mental, dan sosial secara keseluruhan”. Karena itu, pengukuran kesehatan dan perawatan kesehatan tidak hanya ditunjukkan oleh perubahan frekuensi dan beratnya penyakit, melainkan juga harus meliputi kenyamanan hidup yang dapat dinilai melalui peningkatan kualitas hidup.
WHO mengartikan kualitas hidup sebagai persepsi individu mengenai porsinya dalam kehidupan, dalam konteks kultur dan sisitem nilai dimana mereka hidup, dan dalam hubungan dengan tujuan, harapan, standar yang ada, dan perhatian mereka.
Kualitas hidup meliputi empat ranah (domain) dalam kehidupan, yaitu
1.      Ranah fisik
2.      Ranah psikososial
3.      Ranah hubungan sosial
4.      Ranah lingkungan
Setiap ranah meliputi beberapa aspek yang menentukan kualitas hidup setiap orang. Berikut semua aspek yang termasuk dalam setiap ranah.
No.
Ranah
Aspek
I
Fisik
1.      Aktivitas sehari-hari
2.      Ketergantungan pada obat
3.      Energi dan kelelahan
4.      Mobilitas
5.      Nyeri dan tidak nyaman
6.      Kapasitas kerja
7.      Tidur dan istirahat
II
Psikososial
8.      Perasaan positif
9.      Berpikir, belajar, ingatan dan konsentrasi
10.  Harga diri
11.  Citra dan penampilan tubuh
12.  Perasaan negatif
13.  Spiritualitas/agama/keyakinan pribadi
III
Hubungan sosial
14.  Hubungan pribadi
15.  Dukungan sosial
16.  Aktivitas seksual
IV
Lingkungan
17.  Keamanan dan keselamatan fisik
18.  Lingkungan rumah
19.  Sumber dana
20.  Jaminan kesehatan dan social: ketersediaan dan kualitasnya
21.  Kesempatan mendapat informasi baru dan keterampilan
22.  Partisipasi dan kesempatan untuk rekreasi/santai
23.  Lingkungan fisik (polusi/udara/lalulintas/cuaca)
24.  Transportasi
Dari duapuluh empat aspek yang termasuk dalam empat ranah di atas, tampak sebagian besar berkaitan dengan keadaan dan fungsi tubuh apakah sehat, normal, atau terganggu karena sebab tertentu. Perhatikan saja berbagai aspek ini: nyeri dan tidak nyaman, energy dan kelelahan, tidur dan istirahat, berpikir, belajar, ingatan dan konsentrasi, citra dan penampilan tubuh, mobilitas, aktivitas setiap hari, ketergantungan pada obat dan pengobatan, kapasitas kerja, aktivitas seksual, keamanan dan keselamatan fisik, jaminan kesehatan dan sosial, lingkungan fisik.
Beberapa aspek lain seperti perasaan positif, harga diri, perasaan negatif, dan hubungan pribadi, juga berkaitan erat dengan kondisi kesehatan. Demikian juga dengan partisipasi dan kesempatan untuk berekreasi. Sebagai contoh, perempuan yang mengalami menopause sehingga mengalami bebrapa keluhan, secara psikis merasa tidak seperti dulu. Akibatnya, banyak yang mengalami perasaan negatif, merasa kurang percaya diri bahkan rendah diri. Sama halnya pria yang mengalami disfungsi ereksi, misalnya karena diabetes mellitus, banyak yang merasa rendah diri.
Seseorang yang tidak sempat atau tidak mampu merasakan rekreasi akan merasakan irama hidup yang tanpa keseimbangan. Keadaan ini juga menurunkan nilai kualitas hidupnya karena kesempatan rekreasi termasuk salah satu aspek dalam ranah lingkungan.
Orang yang tidak dapat mengekspresikan agama atau keyakinan pribadinya pasti merasa terganggu, dan berdampak pada kualitas hidupnya. Karena itulah secara universal setiap orang harus dihormati dan bebas mengekspresikan agama atau keyakinan pribadinya.
Kualitas hidup yang ditentukan oleh keduapuluh empat aspek dalam empat ranah kehidupan itu dapat dipertahankan dan ditingkatkan dengan melakukan berbagai upaya memperlambat atau menunda proses penuaan.
Bila muncul berbagai kemunduran fungsi tubuh, baik kaarena penyakit maupun proses penuaan yang dibiarkan, maka kualitas hidup menurun. Sebagai contoh, kalau hormon testosteron menurun tajam, maka dorongan seksual terhambat, fungsi ereksi atau relaksasi otot polos vagina juga terhambat. Ini berarti aktivitas sosial, yang merupakan salah satu aspek dalam ranah hubungan sosial menjadi terganggu. Artinya, salah satu aspek yang menentukan nilai kualitas hidup menurun.
Contoh lain, kalau seseorang mengalami kekurangan hormon tiroid (hipotiroid), maka dia akan merasakan gejala antara lain kelelahan dan menurunnya energi. Ini berarti salah satu aspek dalam ranah fisik terganggu, sehingga nilai kualitas hidup juga turun.
Dengan memperhatikan setiap aspek di atas, semua orang dapat menilai bagaimana kualitas hidupnya. Kualitas hidup yang rendah berpengaruh terhadap kapasitas kerja, yang selanjutnya menghambat pencapaian dan kemajuan. Sebaliknya, kalau kualitas hidup baik, maka kapasitas kerja juga baik untuk mencapai hasil yang lebih baik.


Pangkahila, Wimpie, 2011, Anti-Aging Tetap Muda dan Sehat, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 

Selasa, 15 Agustus 2017

Kompetensi Kepemimpinan di Pesantren

Kompetensi Kepemimpinan di Pesantren

Para pengamat pendidikan di Indonesia mengakui bahwa pesantren telah banyak menghasilkan pemimpin. Menurut Mukti Ali, tidak sedikit pemimpin di Indonesia, baik pemimpin pemerintahan maupun bukan, besar maupun kecil, yang dilahirkan oleh pesantren.1
Kepemimpinan di pesantren selama ini pada umumnya berjalan secara alamiah.2 Baik dalam hal pengembangan sistem pendidikannya maupun dalam proses pembinaan calon pimpinannya, pesantren belum menetapkan suatu formula yang bersifat tetap dan teratur. Pembinaan dan pengembangan semacam itu diharapkan mampu menghasilkan kontinuitas kepemimpinan yang baik, namun pada kenyataannya yang terjadi tidaklah selalu menggembirakan. Akibatnya, seringkali terjadi penurunan kualitas kepemimpinan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Oleh karena itu, menyiapkan kepemimpinan yang kompeten, mutlak diperlukan oleh setiap pesantren. Kompetensi adalah kemampuan seorang pemimpin dalam menangani berbagai tugas dan memecahkan berbagai masalah dalam rangka mencapai tujuan. Kompetensi adalah benih-benih kemampuan yang harus dipupuk dengan berbagai proses pembelajaran dan pelatihan, ketekunan, kesungguhan, dan keberanian dalam mengambil risiko. Kompetensi mustahil dapat dibangun dalam waktu sehari saja karena ia tak ubahnya mata rantai dari suatu proses yang panjang.
Seorang pemimpin yang kompeten tidak lahir begitu saja, tetapi ia datang dari suatu perjalanan panjang. Kompetensi seorang pemimpin selalu berbanding searah dengan tingkat profesionalismenya. Penyebaran kompetensi secara merata di kalangan para pengikutnya akan membuat lembaga yang dipimpinnya semakin berkualitas. Itulah mengapa membangun kompetensi merupakan usaha yang tak kenal henti. Pengalaman telah membuktikan bahwa lembaga yang berhasil adalah lembaga yang dikelola oleh mereka yang kompeten dalam bidangnya masing-masing. Hal ini juga sejalan dengan salah satu sabda Rasulullah SAW., “Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya.”3
Menurut Ella Yulaelawati, kompetensi ialah sekumpulan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai sebagai kinerja yang berpengaruh terhadap peran, perbuatan, prestasi, serta pekerjaan seseorang.4 Definisi yang lain mengatakan5 bahwa kompetensi ialah karakteristik mendasar seseorang yang memiliki hubungan timbal balik dengan suatu kriteria efektif dan atau kecakapan terbaik seseorang dalam pekerjaan atau keadaan. Yang dimaksud dengan karakteristik mendasar adalah bahwa kompetensi tersebut cukup mendalam dan bertahan lama sebagai bagian dari kepribadian seseorang sehingga dapat digunakan untuk memprediksi tingkah laku orang tersebut manakala ia berhadapan dengan berbagai situasi dan tugas. Sedangkan hubungan timbal balik adalah bahwa adanya kompetensi itu dapat menyebabkan perubahan perilaku atau dapat pula digunakan untuk memprediksi perubahan perilaku itu sendiri. Sementara itu, keberadaan kriteria efektif adalah untuk menentukan dan memprediksi apakah orang tersebut akan mampu bekerja dengan baik atau tidak berdasarkan standar-standar yang spesifik.
Dari uraian singkat di atas, dapat dikatakan bahwa sekurang-kurangnya terdapat tiga ranah kompetensi yang perlu dipersiapkan sedini mungkin oleh calon pemimpin, yaitu kompetensi ilmu dan pengalaman, moralitas, dan kompetensi lainnya. Para pemimpin yang kompeten selalu merasa kurang di dalam menimba ilmu dan pengalaman. Mereka tidak memiliki perasaan gengsi atau meremehkan orang lain, betapa pun tingginya kedudukan mereka. Mereka menganggap bahwa orang yang kelihatannya biasa-biasa saja boleh jadi ia memiliki ilmu dan pengalaman yang luar biasa. Itulah mengapa setiap pemimpin yang ingin mengasah pisau kompetensinya senantiasa termotivasi untuk semakin memperluas ruang pengaruhnya dan berupaya menjalin relasi dengan semua pihak.
Hampir setiap pemimpin menaruh perhatian terbesarnya pada bidang-bidang pembelajaran, pelatihan, dan apa saja yang dinilainya dapat meningkatkan kompetensi kadernya. Namun demikian, yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang kompeten, seseorang tidaklah mutlak harus memiliki kecerdasan yang brilian. Kompetensi dibentuk karena kebiasaan dan keberanian dalam mengambil keputusan.
Dengan demikian, kompetensi menurut Prihadi tidak semata-mata menuntut hasil analisis dari suatu jawaban kepemimpinan, tetapi lebih dari itu juga harus memastikan terpenuhinya sejumlah tuntutan lain yang bersumber dari visi, misi, dan strategi organisasi, serta nilai-nilai dan berbagai budaya yang berlaku di dalam organisasi. Dalam bahasa lain, di dalam kompetensi ini terkandung beberapa dimensi, yang lazimnya dikelompokkan ke dalam sejumlah cluster (kelompok dimensi menurut kategori tertentu), seperti cluster kompetensi penalaran, cluster kompetensi interpersonal, cluster kompetensi organisasional, cluster kompetensi efektivitas pribadi, dan sebagainya.6
Dalam pandangan Islam, setiap pemimpin termasuk pemimpin pesantren, perlu menerapkan paradigma kepemimpinan Islam, seperti yang ditunjukkan oleh pola kepemimpinan Nabi Muhammad SWA. Pola ini biasanya disebut dengan paradigma “kepemimpinan STF-AI’, yaitu Shiddiq, Tabligh, Fathonah, Amanah, Istiqomah.7
Berdasarkan uraian di atas, sudah semestinya apa yang ditunjukkan oleh Nabi SWA. Dalam memimpin dapat dijadikan teladan bagi pengembangan kompetensi kepemimpinan di pesantren. Nabi SAW. sukses memimpin negara, memimpin umat, memimpin rumah tangga, dan lain sebagainya. Lebih jelasnya, kelima karakter yang sangat menonjol pada diri Nabi SAW. di atas, tidak lain merupakan atribut kompetensi yang idealnya mesti diterapkan oleh setiap pemimpin di pesantren.

1 A. Mukti Ali, “Pondok Pesantren dalam Sistem pendidikan Nasional” dalam Seminar Nasional Pembangunan Pendidikan dalam Pandangan Islam (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 1984), hlm. 18.
2 Wahid, Menggerakkan Tradisi…, hlm. 133.
3 Toto Tasmana, Spiritual Centered Leadership (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 54-55.
4 Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi, Teori, dan Aplikasi (Bandung: Pakar Raya, 2004), hlm. 13.
5 Spencer dan Spencer, Competence at Work; Model for Superior Performance (Newyork: John Willy and Sons, Inc. 1993), hlm. 9.
6 Syaiful F. Prihadi, Assessment Centre (Jakarta: PT. Gramedia, 2004), hlm. 8.
7 Siswanto Masruri, Paradigma Kepemimpinan Islam (Yogyakarta, 16 Oktober 2006).
Soebahar, Abd. Halim, 2013, Modernisasi Pesantren: Studi Transformasi Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan Pesantern, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

Selasa, 08 Agustus 2017

Demokratisasi Pendidikan

Demokratisasi Pendidikan

Terma ‘demokrasi’ berasal dari bahasa Yunani, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Jadi, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan di tangan rakyat. Dalam perkembangannya, demokrasi bermakna lebih spesifik, yaitu fungsi kekuasaan politik sebagai sarana dan prasarana untuk memenuhi kepentingan rakyat. Konsep demokrasi menumbuhkan keyakinan bahwa unsur-unsur rakyat senantiasa menjadi factor utama yang dilibatkan di dalam pemerintahan. Oleh karena itu, demokrasi mendapat sambutan yang luar biasa di hati sanubari rakyat, karena demokrasi lebih berpihak kepada rakyat. Dengan demokrasi, rakyat berharap masa depan ditentukan oleh dan untuk rakyat.
Demokratisasi artinya proses menuju demokrasi. Demokratisasi pendidikan mengandung arti, proses menuju demokrasi di bidang pendidikan. Menurut Zamroni, dalam kerangka reformasi pendidikan, demokratisasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Pasalnya, melalui proses inilah diharapkan dapat muncul manusia-manusia yang berwatak demokratis.1 Tujuan demokratisasi pendidikan adalah menghasilkan lulusan yang merdeka, berpikir kritis, dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik demokrasi. Dengan demikian, demokratisasi pendidikan berguna untuk menyiapkan peserta didik agar terbiasa untuk bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat secara bertanggung jawab; terbiasa mendengar dan menghargai pendapat orang lain; terbiasa bergaul dengan rakyat; ikut merasa memiliki; sama-sama merasakan suka-duka bersama masyarakatnya; dan mempelajari kehidupan masyarakat. Harapannya adalah, kelak jika para peserta didik – sebagai generasi penerus – menjadi pemimpin bangsa, maka ia akan tetap  berpegang pada demokratisasi pendidikan yang telah dialaminya, yang menanamkan nilai-nilai kepadanya bahwa: seorang penguasa tidak boleh tercabut dari budaya dan rakyatnya; seorang pemimpin harus senantiasa mengadakan kontak dengan rakyatnya, peka terhadap tuntutan hati nurani rakyatnya, menjalani suka dan duka bersama, menghilangkan kesedihan dan penderitaan akibat kerugian-kerugian yang dialami rakyatnya.
Demokratisasi pendidikan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu demokrasi pendidikan dan pendidikan demokrasi. Dalam pandangan Kartini Kartono, pendidikan pada hakikatnya merupakan cerminan kondisi negara dan kekuatan sosial-politik yang sedang berkuasa. Dengan demikian, pendidikan merupakan refleksi dari orde penguasa yang ada.2 Masalah pendidikan akan menjadi masalah politik apabila pemerintah ikut terlibat di dalamnya. Di negara otoriter dan negara totaliter, pemerintah akan membatasi kebebasan individu dengan mengeluarkan kebijaksanaan pendidikan yang uniform bagi semua anak didik. Bagi negara-negara semacam itu, pendidikan adalah kekuatan politik untuk mendominasi rakyat. Pemerintah secara mutlak mengatur pendidikan, sebab bagi pemerintah, tujuan pendidikan adalah menjadikan rakyat sebagai alat negara.3
Dalam rangka reformasi pendidikan, diperlukan pelaksanaan asas demokrasi dalam pendidikan, sehingga pendidikan tidak menjadi alat penguasa. Hak rakyat maupun hak masyarakat diberikan secara penuh sehingga dapat ikut serta menentukan arah dan langkah kebijakan pendidikan nasional. Semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan diharapkan dapat berpartisipasi dalam penentuan kebijakan pendidikan. Itulah yang oleh Kartini Kartono disebut sebagai demokrasi pendidikan.4 Jadi, demokrasi pendidikan lebih bersifat politis, karena menyangkut kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan di tingkat nasional.
Adapun pendidikan demokrasi berkaitan dengan bagaimana proses pendidikan dilaksanakan, baik di tingkat pusat maupun lokal. Sistem pendidikan yang selalu mengandalkan kekuasaan pendidik tanpa memperhatikan pluralism subjek didik, sudah saatnya harus diinovasi agar tercipta civil society. Dalam proses pembelajaran di kelas, pendidikan demokrasi dapat diarahkan kepada pembaruan kultur dan norma keadaban. Dalam proses pembelajaran yang demokratis, fungsi pendidik adalah sebagai fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator. Sebagai fasilitator, pendidik harus member kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan sendiri makna informasi yang diterimanya. Sebagai dinamisator, pendidik harus berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang dialogis dan berorientasi pada proses. Sebagai mediator, pendidik harus memberikan rambu-rambu atau arahan agar peserta didik bebas belajar. Sebagai motivator, pendidik harus selalu memberikan dorongan agar peserta didiknya bersemangat dalam menuntut ilmu.
Paulo Freire menyarankan bahwa untuk mencapai demokratisasi pendidikan, perlu diciptakan kebebasan interaksi antara pendidik dan peserta didiknya dalam proses belajar di kelas.5 Dalam konteks tersebut, proses belajar harus diiring agar mengarah kepada suasana dialog yang sehat dan bertanggung jawab antara pendidik dengan peserta didik. Interaksi pendidik-peserta didik ini berlangsung dalam nuansa egaliterdan setara.
Di samping unsure kebebasan dalam berinteraksi, demokratisasi pendidikan juga mensyaratkan komunikasi yang dialogis dengan dua aspek yang inheren: (i) komunikasi berlangsung ke segala arah, dan bukan hanya bersifat satu arah yaitu dari pendidik ke peserta (top-down); (ii) arus komunikasi berlangsung secara seimbang, yakni antara pendidik dan peserta didik dan juga antar peserta didik. Dari sisi pendidik, komunikasi model top-down cenderung menimbulkan kelelahan. Sedangkan dari sisi peserta didik, model ini dirasakan kurang memacu untuk lebih cepat memahami, pasif, bosan, mengantuk, dan yang lebih parah, peserta didik justru tidak mendapatkan informasi yang baru. Dalam model seperti itu, pendidik dipandang sebagai satu-satunya sumber belajar dengan otoritas yang sangat tinggi, dan cenderung menganggap otak peserta didik bak tong kosong yang siap diisi penuh dengan berbagai informasi darinya. Sebaliknya, dengan model komunikasi tiga arah (pendidik - peserta didik - antar peserta didik), maka sumber belajar bukan hanya terletak pada pendidik melainkan juga pada peserta didik.
Selama ini, proses pendidikan nasional terkesan menganut asas subject-matter oriented, yaitu bagaimana memberi peserta didik begitu banyak informasi kognitif dan motorik yang kadang-kadang justru kurang relevan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan psikologis mereka. Dengan orientasi seperti itu, memang dapat dihasilkan lulusan yang pandai, cerdas, dan terampil. Akan tetapi, sebagai akibat kurangnya perhatian pada ranah afeksi, kepandaian dan kecerdasan intelektual tersebut kurang diimbangi dengan kecerdasan emosional. Padahal ranah afeksi juga berperan penting dalam membentuk perilaku peserta didik. Oleh karenanya, untuk mendukung pelaksanaan demokratisasi pendidikan sekarang ini, kini saatnya untuk mengubah asas subject matter oriented menjadi student oriented, yakni yang lebih menekankan pada pertumbuhan, perkembangan, dan kebutuhan peserta didik secara utuh, baik lahir maupun batin. Dalam pendidikan, kecerdasan otak memang penting, tetapi kecerdasan emosional juga tidak kalah pentingnya.
Suasana pendidikan yang demokratis akan mendorong pertumbuhan iklim egalitarian (kesetaraan atau kesamaan derajat dalam kebersamaan) antar pendidik dan peserta didik. Pengajaran tidak melulu bersifat top-down, namun perlu diimbangi dengan bottom-up. Pemaksaan kehendak dari pendidik tidak perlu terjadi lagi. Yang lebih didorong adalah tawar-menawar di antara kedua belah pihak dalam menentukan tujuan, materi, media, dan evaluasi hasil belajarnya. Dengan pola komunikasi struktural dan kultural antara pendidik dan peserta didik seperti ini, maka akan terjadi interaksi yang sehat, wajar, dan bertanggung jawab. Peserta didik boleh saja berpendapat, berperasaan, dan bertindak sesuai dengan langkahnya sendiri yang mungkin saja berbeda dengan pendidiknya sepanjang hal itu didasarkan pada argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah. Peserta didik bukan saja memahami demokrasi (how to learn), tetapi juga mempraktikkannya dalam kehidupan sosial (how to live together), melalui latihan berdebat, menghargai pendapat orang lain, serta menghormati aturan hukum yang ditetapkan dengan jalan mematuhinya.
Demikianlah, upaya demokratisasi pendidikan merupakan cara yang paling strategis bagi pembentukan civil society, suatu tatanan masyarakat yang ditandai antara lain oleh penekanan kuat pada nilai-nilai demokrasi. Secara sederhana, demokratisasi pendidikan dapat diartikan sebagai proses pendidikan yang dilaksanakan sesuai dengan cita-cita dan kehendak civil society. Demokratisasi pendidikan, pada tingkat nasional maupun lokal, seyogyanya diarahkan menuju reformasi pendidikan nasional. Untuk tujuan itu, setidaknya ada empat orientasi pendidikan yang perlu diperbaiki. Pertama, peserta didik tidak lagi dipandang sebagai objek pendidikan, tapi sebagai subjek pendidikan. Kedua, fungsi pendidik tidak lagi sebagai sumber utama yang mentransfer ilmu pengetahuannya kepada anak didik. Guru harus lebih didorong untuk menjadi fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator. Ketiga, orientasi pendidikan tidak lagi difokuskan pada materi pendidikan yang justru membebani anak didik, melainkan pada problem-solving oriented, yaitu bagaimana anak didik dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Keempat, manajemen pendidikan yang semula bersifat sentralistik top-down, harus segera didorong untuk mengedepankan aspek bottom-up dalam aras desentralisasi.

1 Zamroni, Pendidikan untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society (Cet. I; Yogyakarta: Bigraf, t.t.). h. 10-11.
2 Kartini Kartono, Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional: Beberapa Kritik dan Sugesti (Cet. I; Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), h. 77.
3 Ibid., h. 78.
4 Ibid., h. 196-197.
5 Paulo Freire, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan (Cet. I; Jakarta: Gramedia, 1984), h. 24.

Idi, Abdullah dan Suharto, Toto, 2006, Revitalisasi Pendidikan Islam, Kelompok Penerbit Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.

Jumat, 21 April 2017

Tiada Mendendam

Tiada Mendendam

Aku tak lagi sanggup membendung air mataku. Kini kubiarkan air mataku menetes. Tak kutahan sama sekali. Kuijinkan ia membasahi tempat sujudku agar kelak menjadi saksi bahwa aku pernah menangisimu.
“Masih perlukah penjelasan itu?” Tanyanya suatu waktu ketika aku meminta penjelasan darinya.
Aku pun hanya terdiam. Percuma menjawab seseorang yang dari awal bertemu sudah tidak ada tanda-tanda adanya keramahan darinya.
“Iya, karena kamu belum menjawabnya.” Entah kekuatan dari mana yang menggerakkan lisan ini untuk berbicara.
“Ooo, jadi kamu mau tahu jawabannya apa mau tahu penjelasannya?” Tanyanya kembali dengan rona wajah yang semakin merah karena emosi. Tapi dengan tatapan seperti itu pun aku masih mengaguminya. Ia masih terlihat elok seperti biasanya. Tak berkurang sedikitpun.
Dari kejauhan terlihat rombongan sekawanan ayam sedang berebut padi yang baru saja dijemur di pelataran rumahku. ‘Akhirnya aku punya alasan untuk menghindar dari tatapan itu.’ Pikirku lega dalam hati.
Tanpa menghiraukan tatapan mengerikan sekaligus mempesona itu aku pun meninggalkannya mematung di bawah pohon yang biasa digunakan anak-anak kecil untuk mengikat tali layangan di waktu senja tiba dan juga ketika angin mendukung untuk menerbangkan layang-layang mereka.
“Hei, mau kemana?” Teriaknya ketika aku sudah berlari jauh darinya.
“Ke rumah bentar.” Jawabku keras hingga terdengar suara gaung yang menggema.
Semakin dekat ke arah rumah, langkah kakiku yang tadi kupaksa berlari secepat mungkin kini sudah kupelankan secara perlahan. Dengan nafas yang masih ngos-ngosan aku berjalan ke teras rumah untuk mengambil sapu ijuk yang biasa dipakai untuk mengusir ayam-ayam yang biasa berebut untuk mengambil padi yang sedang dijemur. Sebenarnya nggak tega juga mengusir ayam-ayam itu. Toh meskipun kenyatannya ayam-ayam tersebut merugikan karena mengambil padi-padi bapak, ayam-ayam tersebut juga berjasa memalingkanku dari tatapan galaknya sehingga aku punya alasan untuk menghindarinya.
Apa boleh buat, dari pada padi-padi yang dijemur bapak semakin berkurang banyak aku harus mengusir ayam-ayam itu karena memang hari itu adalah tugasku menjaga padi-padi yang dijemur sampai bapak pulang dari ladang. “Hushh, hush,” teriakku sambil menyabet-nyabetkan sapu ke arah ayam-ayam tersebut.
Dari kejauhan, masih berada di tempat semula, kulihat ia melihat ke arahku sambil mengangguk-anggukkan kepala tanda bahwa ia mafhum kenapa aku tiba-tiba pergi meninggalkannya.
Sambil duduk di teras depan rumah menunggui ayam-ayam agar tidak kembali memakan padi-padi yang dijemur, aku melihatnya lagi. Meski dari tempat yang cukup jauh darinya, aku masih bisa melihat dengan seyakin-yakinnya bahwa dia yang di sana, yang masih berada di bawah pohon tempat mengaitkan tali layangan anak-anak itu, masih mengharapkan aku untuk segera kembali menemuinya.
Setelah ayam-ayam tadi sudah menjauh dari pelataran rumahku, aku memantapkan diri untuk menemuinya lagi, berharap ia akan memberi penjelasan yang bisa membuatku lega. Meski masih agak berat rasanya kaki ini untuk melangkah cepat, tapi dengan sedikit berprasangka baik saja membuat langkah ini semakin mantap untuk menemuinya.
“Kirain mau nungguin di depan rumah sampai sore.” Katanya dengan halus.
“Nggak kok, kan aku tadi bilangnya cuma bentar.” Jawab sekenaku.
“Oh ya, tadi sampai mana ya?” Gantian aku yang bertanya padanya. Entah kenapa tiba-tiba aku bisa basa-basi yang sama sekali bukan tipeku.
“Oh, yang tadi tentang kamu yang minta penjelasan dariku. Aku juga masih belum paham dengan pertanyaanmu sih, sebenarnya kamu mau minta jawaban atau minta penjelasan.” Jawabnya santai.
“Dua-duanya. Hehe. Kalau berkenan menjawab sih.” Jawabku agak kikuk, sambil menyunggingkan senyum terbaikku.
“Jawabannya karena kurasa aku sudah menang, jadi tidak perlu membalasnya seperti yang ia lakukan kepadaku. Sebenarnya, aku bisa membalasnya, toh waktu itu peluang untuk membalasnya sangat besar sekali. Bahkan aku pun mungkin bisa membalasnya lebih dari yang ia perbuat kepadaku. Itu karena waktu itu ia hanya sendiri. Sedangkan di sampingku ada kamu dan teman-teman yang lain yang siap membantuku. Bahkan kamu dan teman-teman sepertinya sudah siap melebihi kesiapanku.” Jawabnya semakin halus.
“Tapi kenapa?” Tanyaku mendesak.
“Jika keburukan dibalas dengan keburukan, lantas bagaimana akan selesai masalahnya?” Begitu jawabnya, dan aku pun membenarkannya.
“Jadi, karena itu kamu tidak membalasnya?”Tanyaku lagi penasaran.
“Kamu pernah dengar kalimat bijak ibu kita, ibu kita Kartini?” Ia malah balik bertanya kepadaku tentang sosok yang aku hanya tahu namanya dan perjuangan utamanya sebagai tokoh yang memperjuangkan nasib kaum perempuan pribumi.
“Kalimat bijak yang mana?” Tanyaku pura-pura tahu banyak kalimat-kalimat bijak Ibu Kartini.
“Lebih banyak kita maklum, lebih kurang rasa dendam dalam hati kita. Semakin adil pertimbangan kita dan semakin kokoh dasar rasa kasih sayang. Tiada mendendam, itulah bahagia.”
Itulah yang membuatku menangisimu. Menangis karena mengagumi kebaikan hatimu, yang telah menyadarkanku bahwa tak semuanya harus dibalas sesuai porsi yang adil menurut akal. Adakalanya kita harus mengalah untuk menundukkan lawan kita nantinya, menundukkan dengan cara yang elegan dengan cara memaafkannya.


Yogyakarta, 22 April 2017